5 Desember 2007

Pelayaran Kebangsaan VII , Dari Istana sampai Pengungsi Atapupu

(DIMUAT DI HARIAN SURYA 02 OKTOBER 2007)

Oleh: Husamah
Unmuh Malang
usya_bio@yahoo.com

Dari begitu banyak pengalaman dalam hidup, Pelayaran Kebangsaan VII yang paling berkesan. Ini merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan Dirjen Dikti bekerja sama dengan TNI AL. Pelayaran ini diikuti 150 mahasiswa berprestasi dan aktivis, perwakilan PTN dan PTS seluruh Indonesia. Ikut pula wartawan media cetak dan elektronika. Saya utusan dari Universitas Muhammadiyah Malang.

Menggunakan kapal terbaru yang dimiliki Komando Armada Timur (Koarmatim), KRI Makassar 590 melalui rute Jakarta-Kupang-Atambua-Surabaya pada 11-21 Juni 2007. Tema yang diangkat Bangun Kemaritiman Indonesia dan Infrastruktur Pulau Terluar menuju Negara Kepulauan. Mahasiswa yang berasal dari berbagai suku, adat-istiadat, agama, dan latar belakang berbaur menjadi satu.

Kegiatan dimulai dengan kunjungan ke Istana Wakil Presiden. Sayang, Jusuf Kalla sedang berkunjung ke Tiongkok dan akhirnya diberi wejangan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Mendiknas Bambang Sudibyo. Seorang teman punya kenangan atas istana itu, “Istana Wapres banyak nyamuknya.”

Kapal melepas jangkar dari Tanjung Priok ke Kupang, NTT yang membutuhkan waktu lima hari. Hari-hari dilalui dengan diskusi, seminar, role playing, pemutaran film tematik, dan ice breaker yang berkait dengan kemaritiman Indonesia dan daerah perbatasan.

Hari pertama, peserta antusias mengikuti rentetan acara. Mulailah mencari kenalan, tebar pesona, cari perhatian, obral nomor ponsel, dan mencari jaringan. Hari kedua sampai kelima, peserta mulai berguguran karena mabuk laut. Setibanya di Kupang, rombongan bersilaturahmi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT serta DPRD. Rombongan juga menyelenggarakan temu akrab dengan mahasiswa dan pemuda lokal. Praktis kami seakan menjadi artis atau pejabat yang mendapat pengawalan aparat keamanan.

Dua hari di Kupang, kapal bergerak ke Atambua. Peserta berdialog dengan pengungsi eks Timor Timur (Timor Leste) yang sudah memilih menjadi WNI. Saya mendapat bagian mengunjungi Kelurahan Silawan Kecamatan Tastim Feto Timur, Atapupu. Keadaan mereka sangat memperihatinkan. Satu rumah, atau tepatnya gubuk dihuni 2-4 kepala keluarga. Tidak ada batas jelas antara tempat tinggal dengan kandang babi. Air bersih sangat minim, bahan makanan langka. Praktis penyakit yang banyak diidap pengungsi adalah penyakit pernapasan seperti TBC.

Meski begitu, mereka begitu semangat bercerita. Satu hal yang membuat saya bangga, mereka bersumpah untuk tetap memilih Indonesia. “Hidup kami adalah Indonesia. Kami tidak mau kembali ke Timor Leste meskipun nanti di sana aman,” begitu kata mereka.
Kata-kata dan semangat mereka masih tersimpan dalam memori sampai akhirnya saya terpilih menjadi Tim Perumus Pelayaran ataupun ketika KRI Makassar berlabuh di Surabaya.

Tidak ada komentar: