20 Desember 2007

Hak Anak, Mencari Kota Layak Anak



(Dimuat Di Harian Surya (kolom Citizen Journalism) Wednesday, 19 December 2007)

Oleh
Husamah
Mahasiswa Biologi Unmuh Malang
usya_bio@yahoo.com


Kota kebanyakan berkembang dengan mengabaikan kepentingan sosial budaya masyarakat, sekaligus cenderung merusak keseimbangan ekosistem. Banyak orang yang tidak mengerti tentang kota layak anak (KLA). KLA adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota harus menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal.

Marjinalisasi hak anak bisa dilihat dari semakin hilangnya lahan bermain anak. Tak terwujudnya sebuah taman bermain di setiap wilayah bahkan hanya sebatas tingkat kelurahan. Tahun 2006, Jatim menjadi pilot project penerapan KLA. Jelas tidak mudah karena dengan penerapan KLA maka kebijakan pemerintah daerah harus pro-anak.

Inilah momen untuk menunjukkan posisi pemerintah. Apakah berpihak kepada masyarakat dalam hal ini anak beserta keluarganya ataukah berpihak kepada pemilik modal dan kekuasaan. Tentunya sangat krusial karena dunia telah sepakat sepakat bahwa anak merupakan aset masa depan.

Pengakuan itu bahkan telah ditetapkan oleh PBB yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak dan diratifikasi oleh Indonesia sehingga lahirlah UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Agar "mimpi" KLA dapat terwujud di Jatim dan tidak hanya sebatas utopia maka harus dilakukan promosi hidup sehat. Ini bisa melalui upaya kebersihan lingkungan kota, sekolah, dan pemukiman. Namun inti yang paling penting adalah pengubahan orientasi pembangunan kota yang nyatanya masih memanjakan nafsu primitif. Jangan hanya mengedepankan booming economy tetapi lebih pada penciptaan kota yang manusiawi (humanopolis) dan kota yang bersahabat dengan lingkungan (ecopolis).

Prof Ir eko Budiharjo Msc dalam pengantar buku Kota dan Lingkungan (LP3ES, 2003) menyatakan di lapangan menunjukkan kota kebanyakan berkembang dengan mengabaikan kepentingan sosial budaya masyarakat, sekaligus cenderung merusak keseimbangan ekosistem. Kondisi ini diperparah manakala ruang publik dikuasai oleh segelintir kelompok elite yang seolah menjadi hak prerogatif kaum berpunya semata seperti membangun pusat perbelanjaan.

Penyediaan pendidikan berkualitas dapat dilakukan dengan penyediaan anggaran sesuai amanat UUD 1945. Agar pendidikan dapat dinikmati oleh semua kalangan, termasuk si miskin, maka pendidikan murah bahkan gratis mutlak diperlukan. Sarana dan prasarana memadai harus pula diperhatikan.

Dengan terlaksananya dua amanat tersebut besar kemungkinan masa depan kota-kota Jawa Timur tidak akan menjadi kota-kota yang menyedihkan atau menyengsarakan bagi anak dan kita semua.

Tidak ada komentar: