5 Desember 2007

Gerakan Perlawanan Guru


(telah di muat di harian banjarmasin post Minggu, 13 Agustus 2006)
Buku

Gerakan Perlawanan Guru

Judul : Guru:"Mendidik Itu Melawan"
Penulis : Eko Prasetyo
Cetakan : I/Mei 2006
Tebal : xii+207 halaman
Penerbit : Resist Book
Peresensi : Husamah

Permasalahan menyangkut dunia guru memang seakan tak pernah ada ujungnya. Boleh dikatakan bahwa setiap permasalahan pendidikan tentu merupakan permasalah guru juga. Sedemikian rumitnya sehingga terkadang memunculkan keputusasaan untuk mencari solusinya.

Bukan hal yang baru manakala kita melihat guru "nyambi" ngojek untuk mengepulkan asap rumah tangganya karena gaji dan tunjangan hidup yang sangat rendah bahkan tidak wajar. Bukan hal yang baru pula ketika guru harus tergusur menjadi profesi kelas dua, jauh dibawah dokter, notaries, arsitek, konsultan hukum, wartawan dan profesi lainnya.

Seorang pengamat pendidikan pernah menulis, dalam negara yang beradab biasanya guru sangat dihormati, diberi peran yang besar, dan tentunya memiliki posisi yang strategis dalam pencerdasan. Di negara Jepang misalnya, seorang konglomerat akan menunduk hormat ketika berpapasan dengan guru anaknya.

Di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam guru bisa menikmati liburan di negara lain karena negaranya memberi gaji yang cukup. Merekapun dimudahkan untuk mengkredit kendaraan seperti mobil.

Kondisi guru di negara tersebut di atas sangat jauh berbeda dengan realita ôoemar bakriö di Indonesia. Guru compang-camping karena gajinya kecil dan diberi penghormatan ala kadarnya bahkan sering tidak dihormati. Suatu waktu seorang guru berkata ôapalah artinya saya, saya kan hanya seorang guruö. Ironis tentunya.

Guru harus melakukan perlawanan. Guru harus melakukan revolusi. Sudah saatnya guru harus menunjukkan kekuatannya. Kesabaran guru pasti ada batasnya. Itulah kira-kira semangat yang disebarkan oleh Eko Prasetyo dalam bukunya Guru: Mendidik Itu Melawan! ini.

Di awal bukunya, Eko Prasetyo menyoroti tentang profesi guru yang selalu di bawah intimidasi dan pengawasan. Profesi guru dianggap membahayakan kepentingan pemerintah dalam hal keamanan. Maka terbentuklah Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang semuanya punya mandat: mengawasi guru.

Wadah guru seperti PGRI yang sedianya mengakomodir perlindungan terhadap guru dalam menjalankan profesinya serta penyalur kepentingan guru ternyata hanya menjadi penyalur kebijakan pemerintah. PGRI yang konon katanya sebagai forum guru ternyata hanya mubazir dan sama sekali tidak ada perannya.

Penulis memberi contoh kasus bagaimana semangatnya pemerintah dalam meringkus peran guru. Nur Laila harus rela diturunkan pangkatnya bahkan dipecat oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, karena menolak bangunan sekolah diubah menjadi tempat usaha. Ternyata mempertahankan gedung sekolah dianggap sebuah pelanggaran.

Buruknya birokrasi pendidikan tidak luput dari bidikan buku ini. Kebobrokan birokrasi ini dapat terlihat dari kebijakan yang diterapkan untuk profesi guru. Pertama kreativias guru dipasung dan dikontrol oleh kurikulum yang sifatnya sangat terpusat. Otonomi pendidikan, otonomi sekolah dan otonomi guru ternyata sama sekali tidak memudahkan guru untuk mengajar sesuai dengan potensi dan kreativitasnya.

Kedua, sudah barang tentu lenyapnya hak-hak dasar politik yang seharusnya dimiliki oleh guru. Profesi guru menjadi kerja administrasi manakala hak-hak politiknya seperti berserikat dan berkumpul diabaikan.

Ketiga, tentu terjadi perubahan makna mengajar. Antara mendidik dan menumpahi informasi tidak bisa dibedakan. Begitu antusiasnya para guru untuk menciptakan murid-murid yang kepintarannya melebihi usianya. Sangat mencemaskan melihat murid dipaksa untuk mengikuti ambisi gurunya.*


http://www.indomedia.com/bpost/082006/13/ragam/ragam9.htm

Tidak ada komentar: