20 Desember 2007
Islam dan Kearifan Lingkungan
(Dimuat di Koran Kompas Jawa Timur Edisi Friday September 30, 2005)
Oleh: Drs. Wahyu Prihanta,M.Kes* dan Husamah**
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kobaran api kembali
melahap berjuta-juta hektar hutan dan lahan di
beberapa pulau Indonesia. Daerah yang terbakar jumlah
masih akan terus bertambah karena beberapa bulan
kedepan di Indonesia memasuki musim kemarau. Dapat
dihitung berapa besarnya kerugian yang diderita baik
nyawa, kehilangan harta, kehilangan pekerjaan dan
kesehatan. Dampak lain lagi, negara-negara jiran
seperti Malaysia, Singapura dan Brunei berang karena
wilayahnya terserang kabut “kiriman” sehingga otomatis
kegiatan belajar mengajar diliburkan bahkan sampai
mengganggu aktivitas penerbangan.
Kerugian akibat lahapan si jago merah tahun ini bisa
jadi akan menyamai rekor tahun 1997/98 lalu.
Kesimpulan ini semata-mata karena indikasi bagaimana
lambannya penanganan kebakaran hutan sekaligus
banyaknya masyarakat “tak berwawasan” yang mebuka
lahan secara sembarangan. Tidak pernah disangka bahwa
hampir 20 juta orang yang ada di kawasan Asia Tenggara
terkena dampaknya. Menurut laporan analisa Tacconi
(2003) kerugian materi disebabkan kebakaran tahun
1997/98 senilai1,62-2,7 miliar dollar AS. Tentu saja
angka ini belum termasuk dengan hancurnya
keanekaragaman hayati yang melanda 17 kawasan lindung
dan taman nasional yang angka kerugiannya pasti tak
terhitung. Sayangnya dampak ekologis yang disebabkan
kebakaran hutan seringkali tidak pernah
diperhitungkan. Saat api memuncak maka sebuah
ekosistem dan tentu mata rantainya akan hancur. Hewan
liar termasuk binatang langka yang dilindungi ikut
punah terbakar (Fachruddin, 2005).
Data di atas sebenarnya hanya kita hitung dari akibat
kebakaran hutan. Faktanya, selain kebakaran faktor
lain yang sangat berpengaruh terhadap degradasi
keanekaragaman hayati kita adalah pertambangan liar,
penebangan liar (illegal logging) dan perburuan liar
didarat serta penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia atau bahan peledak di laut. Terumbu karang
yang menjadi rumah makhluk hidup laut musnah,
anak-anak ikan ikut mati.
Ironis dan memalukan sekali sebab Indonesia dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia “mulai, telah, dan
terus” mencatat sejarah kehancuran alamnya. Pastilah
dalam benak kita sebagai orang yang mau berfikir
muncul perasaan penasaran. Apakah Islam memberikan
cara pandang yang salah terhadap persoalan lingkungan?
Inilah sebenarnya perlu kita renungi. Syariat Islam
yang tertuang dalam Kitabullah Al-Qur’an dan Sunnah
shahih Nabi sebenarnya tidak hanya menyuruh manusia
untuk semata-mata sholat, puasa, zakat dan haji. Ada
wilayah lain yang telah dititipkan bahkan diamanatkan
oleh Allah Swt yaitu kelestarian alam (konservasi).
Dikotomi bahwa untuk menjadi orang yang “saleh” harus
meninggalkan urusan keduniaan yang fana karena tidak
ada pertalian dengan alam ukhrawi telah membawa
bencana bagi bumi. Padahal syariat yang diwariskan
melingkupi setiap jengkal kehidupan muslim.
Allah Yang Maha Kuasa menyediakan alam dan isinya yang
harmonis sejalan dengan keseimbangan ekosistem yang
telah terjadi secara alamiah. Manusia dilarang untuk
merusak anugerah ini sesuai dengan firman-Nya.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi
sesudah Allah memperbaikinya. Dan berdo’alah
kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.”(Q.S. Al-A’raf,(7):30)
Dominasi manusia terhadap alam memang menjadi suatu
fitrah. Oleh karenanya sebagai penangkal terhadap
terjadinya berbagai penyimpangan, kekuasaan dominan
itu manusia harus mempunyai garis pembatas yang jelas
berupa tangung jawab. Amanat berupa tanggung jawab
manusia menjaga kelangsungan hidup makhluk itulah
kiranya yang mendasari Rasulullah SAW untuk
mencadangkan lahan-lahan yang masih asli (hima). Nabi
pun memeberikan teladan yang baik untuk tidak membunuh
binatang dengan cara menganiaya, berburu binatang
dengan cara yang tidak semestinya, bahkan mengharamkan
hewan sebagai sasaran permainan (hadist riwayat
Muslim).Keteladanan ini telah Islam contohkan satu
setengah abad yang lalu.
Penting juga untuk disadari bahwa para ahli hukum
Islam (fuqaha) telah menghasilkan sistem yang
dituangkan dalam jurisprudensi Islam yang dikenal
dengan fiqh dalam memelihara kelestarian lingkungan.
Umat Islam di dunia pada umumnya dan Indonesia
khususnya telah diwarisi khasanah keadilan Syariat
Islam (hukum Islam) dalam menata lingkungan dan
ekosistem di bumi. Islam dengan konsep rakhmatan
lil’alamin tentu mencakup segala aspek kehidupan
termasuk kelestarian lingkungan hidupnya.
Penataan ekosistem dan perilaku manusia harus
dilandasi dengan adanya empat pilar-sebagaimana
menurut Fachruddin Manunjaya (2003)- yang dapat
digambarkan menjadi akar semua pemecahan masalah
ekologi secara Islami. Pertama, pemahaman Tauhid
berarti memberikan toleransi dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada ciptaan Allah. Dengan
demikian manusia akan sadar dengan tanggung jawabnya
atas konservasi lingkungan. Kedua, khilafah adalah
salah satu sarana strategis dalam penataan dan
pemeliharaan lingkungan. Penyelenggaraan khilafah ini
harus berlaku seadil-adilnya, termasuk dalam penegakan
hukum dan penataan sumber daya alam. Ketiga, istishlah
atau mementingkan kemaslahatan umat merupakan salah
satu syarat dalam pertimbangan memelihara lingkungan.
Kepentingan ini harus berlangsung untuk hari ini dan
masa mendatang. Keempat, halal-haram berarti
hukum-hukum yang akan mengendalikan perilaku manusia
agar tidak merusak tatanan teratur dalam ekosistem dan
tata kehidupan masyarakat.
Akhirnya tibalah pada kesimpulan yang tegas bahwa
Islam memiliki rambu-rambu yang jelas mengenai
penangan sekaligus konservasi alam. Manusia dengan
kelebihan dari makhluk lain berupa akal memiliki andil
besar untuk menjaga kesinambungan alam. Bencana alam
berupa banjir bandang, kebakaran hutan dan ladang,
tanah longsor, pencemaran udara, tanah dan air, laut
sekaligus kepunahan (threatened to extiction) dan
kelangkaan (endangered species) adalah manifestasi
janji Allah Swt dalam Al-Qur’an ( Yunus: 100). Allah
akan menimpakan kemurkaan terhadap orang-orang yang
tidak mau menggunakan akalnya.
Sesungguhnya Allah Swt telah memetakan dan
menggambarkan akibat dari kedurhakaan manusia terhadap
syariat. Manusia hanya bisa menguras dan menggali isi
bumi tanpa menyadari disana berlaku rambu-rambu
“sunnatullah”. Bencana adalah akibat ulah campur
tangan manusia.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
(disebabkan) karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”. (Ar-Ruum(30):44)
*Drs. Wahyu Prihanta, M.Kes.
Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) dan Peneliti pada Tim Ekspedisi Biokonservasi -FKIP-Universitas Muhammadiyah Malang
**Husamah
Peneliti Muda Tim Ekspedisi Biokonservasi (TEB)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar