17 Desember 2007

Fikih Kesehatan

Menguak Tren Jual-Beli Ginjal

Oleh: Husamah
(Ketua Forum Diskusi Ilmiah Unmuh Malang)



Beberapa bulan terakhir ini media ramai memberitakan fenomena jual-beli ginjal. Berbagai motif telah melatarbelakangi fakta unik ini, tetapi yang paling banyak adalah faktor ekonomi alias uang.

Sebuah televisi swasta nasional berhasil menginvestigasi seseorang yang rela menjual ginjalnya untuk membayar utang. Di kolom surat pembaca harian ini (SURYA-red) suatu ketika dimuat surat seseorang yang bersedia menjual ginjalnya karena kesulitan ekonomi. Ada lagi yang bersedia menjual ginjalnya untuk mengembangkan sebuah perpustakaan. Tentunya masih banyak lagi kasus serupa yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap kita menghadapi masalah ini? Bagaimana pula agama (dalam hal ini Islam) menanggapinya? Setelah lama mencari akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut saya temukan di sebuah buku yang berjudul Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View karya Dr. Abul Fadl Mohsin Ebrahim dan diterbitkan The Islamic Fondation (Leicester , 2001). Edisi Indonesia buku ini berjudul Fikih Kesehatan: Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan. Diterbitkan oleh penerbit Serambi (Jakarta, Agustus 2007, 200 halaman).

Sebelum membahas penjualan organ, perlu kiranya kita mengetahui pandangan ulama kontemporer tentang transplantasi (pemindahan) organ. Menurut Guru Besar Studi Islam pada Universitas Durban Westville-Afrika Selatan ini, sejauh mengenai transplantasi organ, para fukaha (ahli fikih) telah mempertimbangkan masalah ini dan memberikan pedoman fiqhiyyah tertentu yang didasarkan deduksi ajaran dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sebagaimana lazimnya terjadi pada semua masalah yang tidak dibahas dalam kedua sumber hukum tersebut, perbedaan pendapat selalu terjadi di kalangan fukaha. Ulama yang menentang berdasarkan tiga prinsip: 1) kesuciaan hidup/tubuh manusia, 2) tubuh manusia adalah amanah, 3) bahwa praktik tersebut dapat disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material.

Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ berpendapat bahwa ini harus dipahami sebagai satu bentuk layanan altrulistik bagi sesama muslim. Al-Qur’an dan Sunah menganjurkan untuk memperkuat tali silaturahmi.

Dengan demikian, berdasarkan ajaran di atas, tindakan seseorang yang masih hidup untuk mendonorkan salah satu organ tubuhnya kepada orang membutuhkan harus dipandang sebagai altruisme. Mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang dimiliki dan bermanfaat bagi orang lain. Organ tersebut merupakan jalan satu-satunya (tidak ada cara lain) untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Namun, jangan sampai pendapat di atas dijadikan dalih untuk menjualbelikan ginjal atau organ lainnya. Sebab sejauh mengenai penjualan organ tubuh manusia, ulama sepakat bahwa praktik seperti itu hukumnya bathil (tidak sah) bahkan haram. Pertimbangannya, seseorang tidak boleh menjual benda-benda yang bukan miliknya. Tubuh manusia, baik ia masih hidup maupun sudah mati, hanyalah milik Allah.
Biodata:
Husamah
Mahasiswa Semester VII Unmuh Malang (NIM:04330058)
Alamaty: jl. Notojoyo 53 malang 65152
telp:464733 HP: 085649218214

Tidak ada komentar: