29 Desember 2008
Mendulang Berkah di Balik Tarif Murah
(Kabar Baik di Saat Krisis Ekonomi Bangsa)
Oleh: Husamah
Flashback
Dalam sebuah seminar di bulan Agustus 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan sebuah fakta yang sangat menakjubkan. Ternyata, merokok dan mengirim pesan singkat SMS (short message service) menjadi konsumsi terbesar bagi kalangan bawah atau kelompok miskin.
Meminjam data Elisawati (2008) dalam sebuah artikel berjudul Masyarakat Miskin Menopang Industri Rokok dan Seluler?, dengan total pelanggan selular yang diperkirakan mencapai 125 juta pada semester 1 tahun 2008, maka penetrasi telepon seluler (ponsel) boleh dikatakan sudah mencapai 50% lebih. Sesuai dengan piramida pasar, tentunya golongan miskin ini memang mewakili prosentase terbesar. Sehingga wajar juga ketika pangsa pasar seluler tumbuh dan membesar, maka golongan inilah yang disasar. Itu artinya kontribusi kalangan bawah terhadap pertumbuhan industri seluler cukup besar.
Semua orang tahu bahwa saat ini kalangan bawah atau rumah tangga kelompok miskin adalah lapisan yang paling terkena dampak dari naiknya berbagai harga kebutuhan pokok sebagai efek krisis ekonomi bangsa dan krisis global. Namun di balik krisis tersebut muncul sebuah anomali yang cukup mencengangkan sekaligus menggembirakan. Saat ini masyarakat bawah atau miskin menikmati penurunan tarif telekomunikasi yang dipicu oleh keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi. Asumsi itu kita ambil minimal dengan berpijak pada data di atas. Tarif telekomunikasi murah yang disediakan oleh hampir semua operator ini, membuat masyarakat sedikit bernafas lega karena berkurangnya pos biaya telekomunikasi yang dikeluarkan.
Berkah Telekomunikasi
Hemat di saat krisis sungguhlah suatu pesona tersendiri, di sisi lain harga bahan kebutuhan pokok semakin membakar justru tarif selular menjadi oase di tengah padang pasir, penyegar bagi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah kebawah. Bisa jadi akan muncul sejuta asa masyarakat yang hendak digapai di balik krisis bangsa saat ini. Simak saja hasil perhitungan Ryo Kusumo (2008) berikut ini. Bayangkan jika kita pemakai seluler permanen yang selalu stand by 24 jam untuk usaha. Anggaplah biaya percakapan mencapai 10.000 rupiah/jam dan rata-rata menelpon keluar hingga 3 jam/hari. Jika tarif tadi dihemat hingga sekitar 30%, maka pemakaian per hari berkurang menjadi 24.000 rupiah/hari, hemat 6.000 rupiah/hari. Bisa jadi jumlah pengeluaran lebih kecil tergantung kartu seluler yang dipakai. Siapa yang tidak melonjak kegirangan?
Thomas L. Friedman, kolumnis paling berpengaruh di Amerika Serikat, pernah berkata bahwa berkat kemajuan telekomunikasi dan internet, jagad menjadi datar. “The world is flat” katanya. Istilah datar hanyalah metafora Friedman untuk menggambarkan efek yang muncul akibat telekomunikasi kian murah dan mudah tadi. Menurut Friedman, telekomunikasi yang murah (cheap) dan tersedia dengan mudah di mana-mana (ubiquitous) membuat setiap orang di seluruh penjuru dunia kini dapat berpartisipasi dalam kancah bisnis global.
Kita mengetahui bahwa tersedianya berbagai akses telekomunikasi saat ini seperti telepon genggam dan tarif pulsa murah telah menjadi bukti kemajuan yang kasat mata. Telekomunikasi sekarang memang sudah bisa dinikmati segala lapisan masyarakat dan mampu menggerakkan sektor riil. Seakan membenarkan apa yang dikatakan Friedman di atas banyak pedagang, penjual mie keliling, pedagang bakso dan siomay, tukang ojek, berbagai usaha restoran tradisional dan usaha kreatif lainnya telah berhasil menjangkau pelanggannya dengan memberikan nomor telepon, HP atau call center mereka. Mereka mampu bersaing dengan restoran dan usaha modern seperti Pizza Hut, Mc Donald dan KFC.
Implikasi positif penurunan biaya telekomunikasi ternyata tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di daratan atau pulau-pulau besar tetapi juga pulau-pulau kecil dan terpencil. Selama ini keberadaan mereka tidak banyak diperhitungkan karena ketidakberuntungan secara letak geografis. Padahal telah menjadi rahasia umum bahwa pulau-pulau terpencil memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa besar misalnya ikan, rumput laut, dan lainnya. Dengan telekomunikasi mudah dan murah mereka dapat menjalin relasi bisnis dengan pengusaha besar di daratan sekaligus mengetahui harga dan informasi lainnya.
Implikasi positif ternyata tidak berakhir di situ. Bagi masyarakat bawah atau miskin, murahnya biaya telekomunikasi juga berarti bisa menyambung tali silaturahmi yang lebih baik dengan sanak saudara yang terpisah jarak dan waktu. Komunikasi akan terjalin baik dengan anggota-anggota keluarga yang terpisah. Contoh kecil dapat kita lihat adalah bagaimana sambutan antusias masyarakat terhadap turunnya tarif telekomunikasi ini, terlebih para orang tua yang anaknya sedang mencari ilmu di kota-kota lain, ataupun para keluarga yang anak atau sanak saudaranya sedang mencari penghidupan di luar kota. Selain menjalin silaturahmi mereka juga bisa berhemat yang berarti dapat menabung untuk menambah modal kemudian mengembangkan usaha.
Manfaat turunnya tarif telekomunikasi, juga dapat dirasakan oleh sebagian besar perusahaan-perusahaan penyedia barang dan jasa masyarat yang banyak tergantung pada informasi dan telekomunikasi. Hal ini pun ujung-ujungnya berimbas positif bagi masyarakat miskin. Dengan turunnya tarif tarif telekomukasi tersebut, berpengaruh terhadap biaya produksi dan operasionalnya, sehingga diharapkan dapat menurunkan harga jual produk kepada masyarakat bawah.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa tarif telekomunikasi yang murah memungkinkan lebih terbukanya berbagai akses dan peluang lebih luas dapat diraih di segala bidang kehidupan, seperti akses pengetahuan, peluang usaha, relasi bisnis, maupun pelayanan. Dengan kemudahan tersebut masyarakat bawah atau miskin terpompa semangatnya untuk senantiasa mengembangkan diri dengan karya-karya terbaik untuk meraih cita dan asa mereka. Dengan manfaat ini, kehidupan sosial masyarakat bisa menjadi lebih dinamis dalam menyikapi perkembangan zaman dan tantangan global.
Memaksimalkan Berkah
Terlepas dari sisi negatif dan positif, misalnya dengan adanya perang tarif antar operator dan munculnya gaya hidup baru yang konsumtif, langkah pemerintah yang positif dan diikuti oleh para operator ini patut diacungi jempol. Keberanian pemerintah untuk mengkalkulasi dampak penurunan tarif diharapkan menjadi momentum terbaik untuk berbalik arah. Mengedepankan kebutuhan masyarakat bawah atau golongan miskin di tengah krisis dan mengesampingkan kebutuhan golongan, politik, partai dan pribadi tentunya adalah langkah tepat yang selama ini dinanti.
Penulis meyakini bahwa turunnya tarif telekomunikasi akan memberikan implikasi yang lebih luas lagi dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Orang bijak pernah berkata bahwa satu kebaikan akan mengarah atau bahkan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Tarif operator seluler yang terjangkau dan murah dapat memicu berbagai hal positif secara sosial maupun ekonomi. Turunnya tarif telekomunikasi hingga dapat dijangkau masyarakat dapat mengurangi kesenjangan sosial dan kemiskinan yang selama ini menjadi penyakit kronis bangsa. Tarif telekomunikasi yang murah memiliki potensi yang dapat memberikan kehidupan bagi banyak orang.
Persoalan selanjutnya perlu dicermati adalah bagaimana menghadirkan telekomunikasi murah tapi berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat. Hendaknya pemerintah tidak hanya berhenti pada momentum telekomunikasi murah teapi juga memaksimalkannya dengan upaya responsif dan apresiasif. Upaya tersebut dapat diterjemahkan misalnya dengan menggandeng para operator untuk mengkampanyekan dan mensosialisasikan program-program edukatif dan solutif untuk mewujudkan kemajuan masyarakat. Program-program atau info-info edukatif tersebut dapat berupa peningkatan usaha kreatif dan mandiri masyarakat atau kiat-kiat usaha saat krisis, isu penghematan energi dan energi alternatif, pendidikan ekonomi keluarga dan masyarakat, advokasi dan lain sebagainya.
Dukungan ini sangat penting dan seyogyanya diarusutamakan. Menurut Ismawanto (2008) setiap masyarakat tidak mempunyai tingkat pengetahuan dan informasi yang sama. Oleh karena itu pemerintah perlu menggandeng semua pihak yang terkait untuk menyiapkan konten-konten yang memang benar-benar berguna dan bermanfaat sebagai bagian dari edukasi masyarakat.
Akhirnya, dengan adanya upaya responsif dan apresiasif tersebut diharapkan manfaat turunnya tarif telekomunikasi betul-betul dapat dirasakan masyarakat secara maksimal. Dengan demikian kita pun akan menarik kesimpulan bahwa masyarakat benar-benar mendulang berkah di balik tarif murah karena masyarakat menjadi tercerahkan, lebih siap dalam menyonsong masa depan, demi meraih cita-cita mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera secara mandiri meskipun dalam terpaan badai krisis ekonomi. Semoga.
NASKAH LOMBA KARYA TULIS XL 2008
TEMA: Turunnya tarif telekomunikasi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
BIODATA
Nama : Husamah, S.Pd.
Jenis Kelamin : Laki-laki
TTLahir : Sumenep/18 Oktober 1985
Alamat : Jl. Notojoyo 53 Tegalgondo Karangploso Malang 65152
Telepon Rumah : (0341) 464733
HP : 088803349656
E-mail : usya_bio@yahoo.com
Rekening : BNI 46 CABANG BANYUWANGI
NO.REK: 004.2758.931 a.n. USAMAH
PRESTASI
1.Penulis Opini Terbaik, Lomba Opini tingkat Nasional LSM JATAM dan SAWIT WATCH (2008)
2.Juara I Lomba Essai Se-Indonesia LPM Bahana Univ. Riau (2008)
3.Juara II Lomba Essai Nasional, Sinology Center UMY (2007)
1 Desember 2008
14 Agustus 2008
Kolaborasi Membangun Pulau-Pulau Kecil
(Dimuat di Media Indonesia Senin 11 Agustus 2008)
Oleh: Husamah (Mahasiswa Unmuh Malang)
Sejak penetapan UNCLOS 1982 dan diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini adalah laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah.
Laut Indonesia beserta pulau-pulaunya memiliki sumberdaya dapat pulih (renewable resources), seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya pantai (tambak) dan marikultur, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut. Demikian halnya dengan sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak, gas bumi, dan mineral serta jasa-jasa lingkungan yang meliputi energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Dengan perkataan lain, sebagai mana menurut Dahuri (1999), dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa kelautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka sekaligus meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Sayangnya, sumberdaya itu belum dimanfaatkan secara optimal bahkan terkesan diabaikan dan luput dari perhatian.
Salah satu sumber daya kelautan tersebut adalah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar. Pulau-pulau kecil terkadang hanya dijadikan komoditas politis dengan janji-janji setiap pejabat pusat maupun daerah. Pulau kecil yang diperkirakan memiliki potensi tinggi mencapai 10.000 buah (Wiyana dkk, 2004). Sampai saat ini hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama. Sementara pulau terluar yang berjumlah 92 buah dan berbatasan dengan 10 negara sangat mungkin menimbulkan konflik karena kurang diperhatikan dan sepi pembangunan.
Pulau-pulau kecil bukan sekadar onggokan tanah di tengah laut yang tidak ada guna. Pulau-pulau terluar memiliki potensi ekonomis. Contohnya, Pulau Sipadan dan Ligitan, pulau kecil terluar Indonesia yang akhirnya dimiliki Malaysia. Kedua pulau itu kini berkembang menjadi kawasan wisata yang digandrungi turis mancanegara.
Kebijakan pembangunan kelautan untuk menangani pulau-pulau kecil dan terluar terluar merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Menurut penulis, kebijakan tersebut idealnya sejalan dengan semangat otonomi daerah yang menuntut keterlibatan berbagai pihak terutama masyarakat dalam pengelolaanya (kolaborasi). pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik. Namun demikian tetap dibutuhkan dukungan pihak lain. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dukungan dari perguruan tinggi, LSM, bahkan investor masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, pengawasan dan sumber modal (Zulkifli, 2003). Pengalaman menarik dalam pengelolaan pulau kecil di Filipina, yakni San Salvador Island dapat dijadikan bahan komparasi. Pendekatan pengelolaan di daerah ini menggunakan konsep kolaborasi manajemen (collaboration management) yang melibatkan berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah lokal, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat.
Manajemen kolaboratif bertujuan agar kegiatan pengelolaan sebagai hak dan kewajiban masyarakat juga merupakan gerakan masyarakat dalam arti luas. Artinya, manajemen kolaboratif adalah gerakan terpadu antara program pemerintah dengan gerakan masyarakat. Dalam aplikasinya, manajemen kolaboratif hendaknya juga memperhatikan transfer pengetahuan dan teknologi sebagai suatu proses pembelajaran sosial bagi masyarakat dalam menggalang aksi kolektif.
Manajemen kolaboratif yang didasarkan prinsip good resource management governance yaitu partisipatif, transparan dan akuntabel sekaligus akan mengurangi banyaknya kendala pengembangan pulau-pulau kecil yang diajukan Kusumastanto (2003). Pertama, ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), menyebabkan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, serta sumberdaya manusia yang handal yang mau bekerja di lokasi tersebut jumlahnya sedikit. Kedua, kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi, sehingga turut menghambat pembangunan. Ketiga, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang pada gilirannya menentukan daya dukung (carrying capacity) suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan. Keempat, produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir saling terkait satu sama lain. Kelima, budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.
Terbukanya pintu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis jelas merupakan anugerah. Sementara itu, munculnya model kolaborasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil akan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), sehingga dapat menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dalam pembangunan nasional secara terus-menerus. Selain itu juga, pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil dapat mengurangi kesenjangan (gap) pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.
Pendapat ini bukan tanpa alasan. Pengelolaan wisata bahari pulau-pulau kecil misalnya merupakan hal yang menjanjikan. Diperkirakan dalam kurun waktu 2004-2024 wisatawan yang akan mengunjungi obyek-obyek wisata bahari akan mengalami peningkatan secara signifikan. Hasil studi PKSPL-IPB (1999) tentang proyeksi perkembangan pariwisata bahari menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan, prospek pariwisata bahari akan mampu memberikan devisa sebesar US$ 26,56 miliar, yakni untuk turis mancanegara US$ 13,76 miliar dan domestik US$ 12,8 miliar. Dengan kunjungann wisatawan dalam kurun waktu tersebut yang diperkirakan mencapai sekitar 97,01 juta orang, harus disediakan kamar sebanyak 255.330 buah.
Akhirnya, pertanyaan menarik perlu kita munculkan. Apakah bangsa ini masih akan mengabaikan pembangunan pulau-pulau kecil? Semoga wacana ini menjadi salah satu wahana penyadaran. Wallahu’alam.
Hukuman Mati masihkah Relevan?
Dimuat di Media Indonesia Minggu, 03 Agustus 2008
Pro-kontra masalah pemberlakuan hukuman mati kembali bergulir. Hal itu terjadi setelah dilakukannya eksekusi terhadap terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng serta Ahmad Suradji beberapa waktu lalu. Banyak pihak menganggap hukuman mati inkonstitusional dan melanggar HAM. Pihak lain yang dimotori pemerintah berbeda pendapat dengan menganggap hukuman mati menjadi bagian hukum (pidana) positif Indonesia. Karena itu, masih relevan untuk dilaksanakan.
Ketua Komnas HAM Abdul Hakim berpendapat hak hidup adalah hak konstitusional. Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup dan meningkatkan taraf hidupnya (1/9/2004). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah menghapuskan pemberlakuan hukuman mati. Hukuman mati dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan hak itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Menurut Adji (2003), Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 secara tegas menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Karena itu, sifatnya non derogable human right atau HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sesuai dengan asas konstitusionalitas, legalitas produk hukum positif di atas yang masih mempertahankan hukuman mati seharusnya menyesuaikan dengan amendemen konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori berdasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III/MPR/2000, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Saat ini, sejumlah negara seperti Australia telah menghapus hukuman mati. Laporan 2000 mencatat, 74 negara menerapkan penghapusan metode hukuman mati bagi segala jenis tindak kriminalitas, 11 negara menghapuskan metode hukuman mati untuk tindak kriminalitas murni, 38 negara menghapuskan hukuman mati dalam praktiknya, dan sisa hanya 71 negara yang tetap menerapkan proses hukuman mati (Mulia, 2008). Di Filipina, hukuman mati baru boleh diberlakukan bila kejahatan dianggap sangat serius dan ada alasan yang memaksa. Di Belanda, sistem hukuman mati berubah sejalan perubahan kebijakan negara tentang hukuman mati yang kini tidak dikenal dalam sistem hukum pidananya. Negara-negara tersebut menghapus hukuman mati
sebagai implementasi deklarasi universal tentang HAM.
Jelas, jenis hukuman purba dan biadab itu tidak relevan lagi bagi manusia yang semakin beradab dan semakin menghargai hak asasi. Menurut Mulia (2007), sedikitnya ada delapan alasan mengapa perlu penghapusan hukuman mati.
Pertama, hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan yang mengajarkan pentingnya merawat kehidupan sebagai anugerah terbesar dari Tuhan Sang Pencipta. Dalam Islam, misalnya, seluruh ajarannya memihak kepada penghargaan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik dan sempurna. Hukuman mati berarti pelecehan terhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tidak satu pun berhak mengakhiri hidup manusia, kecuali Sang Pencipta.
Kedua, hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Studi mendalam mengenai latar belakang dan penggunaan hukuman mati di dunia menunjukkan dewasa ini hukuman mati dilakukan di negara-negara yang kurang demokratis. Karena
itu, penting memahami mengapa kebanyakan negara demokrasi menghapuskan hukuman mati.
Ketiga, hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pelaksanaan hukuman mati selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non derogable) dalam kehidupan manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia.
Keempat, hukuman mati hanya sebagai alat penindasan. Sejarah panjang penggunaan hukuman mati membuktikan itu lebih sering dipakai sebagai alat penindasan terhadap kelompok-kelompok kritis, prodemokrasi, yang dituduh sebagai pemberontak,
demi merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan. Contoh nyata kasus-kasus hukuman mati terhadap pemberontak di Hongaria, Taiwan, Somalia, dan Suriah.
Kelima, hukuman mati hanya sebagai tindakan pembalasan dendam politik. Lihat saja apa yang terjadi dengan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan (dieksekusi 4 April 1979 karena divonis membunuh lawan politiknya). Jadi, alasannya sangat politis. Bukan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan.
Keenam, hukuman mati sangat sering dijatuhkan pada orang yang tidak terbukti bersalah. Pelaksanaan hukuman mati sering dilakukan secara ceroboh, tanpa tanda bukti sama sekali. Ironisnya, hukuman mati lebih banyak diberlakukan pada orang-orang kecil yang tidak bisa membayar pengacara yang kuat.
Ketujuh, hukuman mati sering digunakan sebagai cara yang paling efektif untuk menghilangkan jejak penting dalam suatu perkara atau penghilangan tanda bukti dalam kasus intelijen.
Kedelapan, hukuman mati ternyata tidak membuat pelaku kejahatan berkurang atau menjadi jera. Studi mendalam terhadap negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati membuktikan angka kriminalitas di negara-negara tersebut meningkat setiap tahun secara signifikan.
Akhirnya, penulis sependapat dengan rilis pers Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) No.01/Elsam/X/07, 8 Oktober 2007. Pemerintah sebaiknya melakukan review atau assessment atas kebijakan hukuman mati ini.
Pemerintah juga perlu melakukan moratorium terhadap hukuman mati yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, dengan memberikan upaya grasi secara luas atas permohonan dari para terpidana hukuman mati dan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup. Kedua, menghentikan rencana pembuatan regulasi yang memberi kesempatan untuk melakukan praktik hukuman mati. Ketiga, melakukan amendemen-amendemen secara bertahap atau secara luas terhadap aturan pidana yang memiliki ancaman hukuman mati, sesuaikan dengan amanat konstitusi RI. Keempat, mendorong Mahkamah Konstitusi sebagai garda penjaga bagi penggunaan hukuman mati dengan cara me-review seluruh aturan pidana mati yang ada di Indonesia.
Oleh: Husamah
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Usya_bio@yahoo.com
Sumber foto:www.funny-potato.com/.../april-fool.jpg
24 Juni 2008
Surga KKN Bernama Kejaksaan
(Dimuat di Media Indonesia 25 Juni 2008)
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Berprestasi 2008 Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang)
Cita-cita besar bangsa Indonesia untuk terbebas dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) rasanya akan sangat sulit tercapai. Pesimisme ini muncul ketika melihat moralitas bobrok para pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum (lingkungan kejaksaan agung). Salah satu contohnya adalah fakta tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani dalam kasus BLBI. Para penentu tertinggi di jajaran kejaksaan agung itu secara vulgar menggadaikan kebenaran dengan uang. Mereka membela dan membebaskan yang membayar dari jeratan hukum.
Kenyataan tersebut memang sangat memilukan dan melukai hati masyarakat Indonesia. Berbagai dugaan negatif publik seakan memperoleh afirmasi. Bau tak sedap yang sudah lama tercium masyarakat kini terbukti. Amat mungkin skandal ini merupakan bagian gunung es di kejaksaan dan praktik peradilan di Indonesia.
Pernyataan Wakil Ketua DPD Laode Ida (2008) dalam hal ini sangat benar. Sulit mencari sulosi terkait dengan wajah buruk kejaksaan. Mengapa? Pertama, tampaknya aparat kejaksaan telanjur terjebak orientasi materi. Situasi ini dimanfaatkan pihak luar yang berurusan dengan mereka, utamanya yang banyak uang, dengan prinsip saling menguntungkan (reprocical). Atau, oknum pejabat yang berwenang menjadikan perkaranya orang-orang berduit sebagai proyek basah.
Kedua, para pengacara dan atau perantara yang memiliki hubungan personal dengan ”orang dalam” kejaksaan berperan besar dalam proses terpeliharanya budaya korup dan orientasi materi itu. Bukan rahasia lagi jika proses hukum lebih banyak ditentukan di luar ruang sidang (pengadilan), di mana para pengacara atau perantara menegosiasikan kepentingan dua pihak atau lebih yang terkait masalah. Melalui proses di luar pengadilan itulah terjadi transaksi, bayar-membayar perkara, sekaligus mengarahkan keputusan resmi dari kejaksaan.
Ketiga, perekrutan jaksa (termasuk Jaksa Agung) memastikan aparat dari dalam (jaksa karier) yang menjadi pesertanya. Padahal, umumnya mereka sudah jauh terkontaminasi oleh kebiasaan dan orientasi materi dengan jaringan (mafia) luar (pengacara/perantara) yang sudah mapan. Dengan sendirinya, pasti akan sulit menemukan jaksa, termasuk Jaksa Agung, yang benar-benar memiliki integritas seperti diharapkan pada era reformasi ini.
Namun menurut penulis, mungkin kita masih perlu optimis. Sesungguhnya kita masih memiliki banyak jaksa yang baik, jujur dan amanah. Hanya saja pertanyaannya di manakah mereka berada? Sudahkah diberikan cukup kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pengambil keputusan? Inilah pekerjaan rumah para pihak yang memiliki akses ke situ.
Kita berharap besar akan muncul tokoh kejaksaan yang bertobat dan berubah (bermetamormosis) menjadi baik. Patut dicontoh sikap yang ditunjukkan oleh seorang Antasari Azhar (mantan jaksa menjadi ketua KPK). Skeptisme masyarakat tersebut diwujudkan dengan keberanian untuk membongkar praktek penyalahgunaan kewenangan di institusi kejaksaan yang notabene adalah lembaga yang membesarkan dirinya. Dia juga berani membongkar kasus yang melibatkan orang dekat istana.
Akhirnya, seperti yang dikatakan Mexsasai Indra (2008), mudah-mudahan KPK masih mampu menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah-tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja sistem peradilan pidana. Kalaulah KPK sendiri juga tersandung kasus korupsi, kita tidak tau lagi mau dibawa ke manakah negeri ini. Itu samalah artinya kita ramai-ramai merobohkan bangsa ini secara berjamaah ke tepi jurang kehancuran.
Semoga ini tidak terjadi.Tugas kita sekarang adalah harus tetap dan selalu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama. Wallahualam.
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Berprestasi 2008 Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang)
Cita-cita besar bangsa Indonesia untuk terbebas dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) rasanya akan sangat sulit tercapai. Pesimisme ini muncul ketika melihat moralitas bobrok para pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum (lingkungan kejaksaan agung). Salah satu contohnya adalah fakta tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani dalam kasus BLBI. Para penentu tertinggi di jajaran kejaksaan agung itu secara vulgar menggadaikan kebenaran dengan uang. Mereka membela dan membebaskan yang membayar dari jeratan hukum.
Kenyataan tersebut memang sangat memilukan dan melukai hati masyarakat Indonesia. Berbagai dugaan negatif publik seakan memperoleh afirmasi. Bau tak sedap yang sudah lama tercium masyarakat kini terbukti. Amat mungkin skandal ini merupakan bagian gunung es di kejaksaan dan praktik peradilan di Indonesia.
Pernyataan Wakil Ketua DPD Laode Ida (2008) dalam hal ini sangat benar. Sulit mencari sulosi terkait dengan wajah buruk kejaksaan. Mengapa? Pertama, tampaknya aparat kejaksaan telanjur terjebak orientasi materi. Situasi ini dimanfaatkan pihak luar yang berurusan dengan mereka, utamanya yang banyak uang, dengan prinsip saling menguntungkan (reprocical). Atau, oknum pejabat yang berwenang menjadikan perkaranya orang-orang berduit sebagai proyek basah.
Kedua, para pengacara dan atau perantara yang memiliki hubungan personal dengan ”orang dalam” kejaksaan berperan besar dalam proses terpeliharanya budaya korup dan orientasi materi itu. Bukan rahasia lagi jika proses hukum lebih banyak ditentukan di luar ruang sidang (pengadilan), di mana para pengacara atau perantara menegosiasikan kepentingan dua pihak atau lebih yang terkait masalah. Melalui proses di luar pengadilan itulah terjadi transaksi, bayar-membayar perkara, sekaligus mengarahkan keputusan resmi dari kejaksaan.
Ketiga, perekrutan jaksa (termasuk Jaksa Agung) memastikan aparat dari dalam (jaksa karier) yang menjadi pesertanya. Padahal, umumnya mereka sudah jauh terkontaminasi oleh kebiasaan dan orientasi materi dengan jaringan (mafia) luar (pengacara/perantara) yang sudah mapan. Dengan sendirinya, pasti akan sulit menemukan jaksa, termasuk Jaksa Agung, yang benar-benar memiliki integritas seperti diharapkan pada era reformasi ini.
Namun menurut penulis, mungkin kita masih perlu optimis. Sesungguhnya kita masih memiliki banyak jaksa yang baik, jujur dan amanah. Hanya saja pertanyaannya di manakah mereka berada? Sudahkah diberikan cukup kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pengambil keputusan? Inilah pekerjaan rumah para pihak yang memiliki akses ke situ.
Kita berharap besar akan muncul tokoh kejaksaan yang bertobat dan berubah (bermetamormosis) menjadi baik. Patut dicontoh sikap yang ditunjukkan oleh seorang Antasari Azhar (mantan jaksa menjadi ketua KPK). Skeptisme masyarakat tersebut diwujudkan dengan keberanian untuk membongkar praktek penyalahgunaan kewenangan di institusi kejaksaan yang notabene adalah lembaga yang membesarkan dirinya. Dia juga berani membongkar kasus yang melibatkan orang dekat istana.
Akhirnya, seperti yang dikatakan Mexsasai Indra (2008), mudah-mudahan KPK masih mampu menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah-tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja sistem peradilan pidana. Kalaulah KPK sendiri juga tersandung kasus korupsi, kita tidak tau lagi mau dibawa ke manakah negeri ini. Itu samalah artinya kita ramai-ramai merobohkan bangsa ini secara berjamaah ke tepi jurang kehancuran.
Semoga ini tidak terjadi.Tugas kita sekarang adalah harus tetap dan selalu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama. Wallahualam.
12 Juni 2008
Muhammadiyah, Persyarikatan Protestanisme Islam
(Dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Sabtu, 01 Juli 2006)
Judul: Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam
Penulis: Subhan Mas
Pengantar: Prof. Dr. Syafig A. Mughni, MA.
Penerbit: Al Hikmah/Oktober 2005
Tebal:xxxii+212 hlm
Presensi: Husamah*
Menyamakan Muhammadiyah dengan Kristen Protestan bisa jadi dalam pandangan beberapa kalangan sebagai bentuk pengaburan atau bahkan pelecehan terhadap agama khususnya Islam. Akan tetapi, jika mau terbuka, maka bisa jadi semua pihak akan kompak mengatakan bahwa itulah realita yang ada. Bedanya, mungkin dalam perkembangannya Kristen Protestan telah menjelma menjadi agama terpisah dari Agama Kristen Katolik. Semetara Muhamdiyah tetap memegang teguh bahwa mereka bukanlah agama baru melainkan bentuk pemahaman “modernism” Islam dan “realism” Islam.
Karakteristik gerakan utama Muhammadiyah adalah komitmen untuk meneguhkan semangat kemajuan rasionalitas keagamaan. Entitas seminasi disiplin “karakter reformasi” tidak lepas dari besarnya kepribadian pendirinya (Ahmad Dahlan), yang ditunjukkan dengan adanya sikap-sikap formasinya dalam mengikat identitas reformasi Islam puritan, yang pada awal berdirinya, kontinuitas kesadaran rasional itu (penduduuk Indonesia), tidak menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai supremasi untuk melakukan penetapan-penetapan citra positif kebebasan dalam mengapresiasi kawasan-kawasdan dogma sebagai produk zaman. Pada wilayah ini pula, istilah agama sebagai “candu atau agama mematikan akal” secara genetis melahirkan proyeksi sejarah reformasi gerakan Protestan Puritan dengan semangat rasionalitas keagmaannya pada abad ke-16 dan 17, menjadi ikon modernisasi agama Kristem Protestan. Dan inipun menjadi pendorong untuk memprakarsasi gerakan pemurnian dengan tokoh pembaharu Martin Luther dan Johannes Calvin.
Bentuk ijtihad ini merupakan proses yang sangat hakiki dimana, hanya Bibel sebagai sumber pemikiran, sebagimana halnya Ahmad Dahlan hanya Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber inspirasinya dalam peneguhan karakteristik dan kemajuan semangat rasionalitas keagamaan dalam Muhammadiyah. Rasionalitas itu dalam etika Calvinis maupun Dahlanis menandai babak kritsisme protestan ethic maupun Muhammadiyah ethic untuk merasionalisasi doktrin dan perilaku hidup.
Masih banyak lagi kesamaan-kesamaan yang berelasi kuat antara gerakan reformasi pemahaman Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan dengan geerakan pencerahan pemahaman Kristen Protestan yang akan kita temui dalam penjelajahan buku ini. Namun perlu diingat hal ini hanya menyangkut pada tatanan sosiologis dan bukan teologis sebagaimana komentar Prof. Dr. Syafiq Mughni dalam pengantar buku ini.
Satu fakta yang perlu dicatat,dalam buku ini tulisan Max Weber merupakan sumber kekuatan imajinatif. Dengan kata lain, buku yang terdiri dari tujuh Bab ini mencoba melihat sejauh mana teori Weber dapat berlaku pada gerakan Muhammadiyah itu. Apa yang diinginkan Weber adalah menjelaskan korealsi antara aplikasi etika Protestan dan munculnya Kapitalisme. Namun sayangnya, Weber hanya mempelajari dan mengkaji agama-agama besar dunia tapi dalam hal ini Islam merupakan pengecualian.
Untungnya, walau tidak berlebihan, karya agung intelektual The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber (1958), mampu memberi arti penting bagi literer tafsir kontemporer Islam “kemanusiaan” yang harus lebih dimodifikasi ke arah operasionalisme metodologi rahmatan lil alamin yang toleran, ramah, santun, intelektualis, dinamis, bebas, demokratis, reformis, beretos, dan berkesadaran plural, sebagai wujud senmakin cerdasnya manusia mendekati Qur’an dengan segala bentuk kreativitasnya, maka semakin cerdas pula Qur’an memberi jawaban terhadap persoalan dan dinamikanya.
Karya Subhan Mas yang tertuang dalam crisis of reformasi Islam ini tentunya mencoba mnelakukan reproduksi dengan arah baru sebagai ruang untuk menjelajah ke sebuah medan dan angkasa rasionalitas intelektualisme sebagai peneguhan kekuasaan sejarah. Penulis buku ini pun merasa bahwa munculnya fundamentalisme mitologisasi dan sakralisasi dalam Islam merupakan defensive cultural response yang seharusnya diposisikan sebagai kekayaan imajinatif terhadap semua bentuk perubahan structural dalam beragama (Islam), politik, dan juga ekonomi global. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya Islam dapat berpartisipasi untuk mensterilkan pijakan-pijakan yang sama dengan negara-negara barat bahwa jiwa Islam adalah pluralisme dan tidak menjadi penghambat bagi sekulerisasi intelektual sebagai kekuatan peradabannya.
Oleh : Husamah, Redaksi Pelaksana Majalah “Spora” Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur
Judul: Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam
Penulis: Subhan Mas
Pengantar: Prof. Dr. Syafig A. Mughni, MA.
Penerbit: Al Hikmah/Oktober 2005
Tebal:xxxii+212 hlm
Presensi: Husamah*
Menyamakan Muhammadiyah dengan Kristen Protestan bisa jadi dalam pandangan beberapa kalangan sebagai bentuk pengaburan atau bahkan pelecehan terhadap agama khususnya Islam. Akan tetapi, jika mau terbuka, maka bisa jadi semua pihak akan kompak mengatakan bahwa itulah realita yang ada. Bedanya, mungkin dalam perkembangannya Kristen Protestan telah menjelma menjadi agama terpisah dari Agama Kristen Katolik. Semetara Muhamdiyah tetap memegang teguh bahwa mereka bukanlah agama baru melainkan bentuk pemahaman “modernism” Islam dan “realism” Islam.
Karakteristik gerakan utama Muhammadiyah adalah komitmen untuk meneguhkan semangat kemajuan rasionalitas keagamaan. Entitas seminasi disiplin “karakter reformasi” tidak lepas dari besarnya kepribadian pendirinya (Ahmad Dahlan), yang ditunjukkan dengan adanya sikap-sikap formasinya dalam mengikat identitas reformasi Islam puritan, yang pada awal berdirinya, kontinuitas kesadaran rasional itu (penduduuk Indonesia), tidak menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai supremasi untuk melakukan penetapan-penetapan citra positif kebebasan dalam mengapresiasi kawasan-kawasdan dogma sebagai produk zaman. Pada wilayah ini pula, istilah agama sebagai “candu atau agama mematikan akal” secara genetis melahirkan proyeksi sejarah reformasi gerakan Protestan Puritan dengan semangat rasionalitas keagmaannya pada abad ke-16 dan 17, menjadi ikon modernisasi agama Kristem Protestan. Dan inipun menjadi pendorong untuk memprakarsasi gerakan pemurnian dengan tokoh pembaharu Martin Luther dan Johannes Calvin.
Bentuk ijtihad ini merupakan proses yang sangat hakiki dimana, hanya Bibel sebagai sumber pemikiran, sebagimana halnya Ahmad Dahlan hanya Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber inspirasinya dalam peneguhan karakteristik dan kemajuan semangat rasionalitas keagamaan dalam Muhammadiyah. Rasionalitas itu dalam etika Calvinis maupun Dahlanis menandai babak kritsisme protestan ethic maupun Muhammadiyah ethic untuk merasionalisasi doktrin dan perilaku hidup.
Masih banyak lagi kesamaan-kesamaan yang berelasi kuat antara gerakan reformasi pemahaman Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan dengan geerakan pencerahan pemahaman Kristen Protestan yang akan kita temui dalam penjelajahan buku ini. Namun perlu diingat hal ini hanya menyangkut pada tatanan sosiologis dan bukan teologis sebagaimana komentar Prof. Dr. Syafiq Mughni dalam pengantar buku ini.
Satu fakta yang perlu dicatat,dalam buku ini tulisan Max Weber merupakan sumber kekuatan imajinatif. Dengan kata lain, buku yang terdiri dari tujuh Bab ini mencoba melihat sejauh mana teori Weber dapat berlaku pada gerakan Muhammadiyah itu. Apa yang diinginkan Weber adalah menjelaskan korealsi antara aplikasi etika Protestan dan munculnya Kapitalisme. Namun sayangnya, Weber hanya mempelajari dan mengkaji agama-agama besar dunia tapi dalam hal ini Islam merupakan pengecualian.
Untungnya, walau tidak berlebihan, karya agung intelektual The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber (1958), mampu memberi arti penting bagi literer tafsir kontemporer Islam “kemanusiaan” yang harus lebih dimodifikasi ke arah operasionalisme metodologi rahmatan lil alamin yang toleran, ramah, santun, intelektualis, dinamis, bebas, demokratis, reformis, beretos, dan berkesadaran plural, sebagai wujud senmakin cerdasnya manusia mendekati Qur’an dengan segala bentuk kreativitasnya, maka semakin cerdas pula Qur’an memberi jawaban terhadap persoalan dan dinamikanya.
Karya Subhan Mas yang tertuang dalam crisis of reformasi Islam ini tentunya mencoba mnelakukan reproduksi dengan arah baru sebagai ruang untuk menjelajah ke sebuah medan dan angkasa rasionalitas intelektualisme sebagai peneguhan kekuasaan sejarah. Penulis buku ini pun merasa bahwa munculnya fundamentalisme mitologisasi dan sakralisasi dalam Islam merupakan defensive cultural response yang seharusnya diposisikan sebagai kekayaan imajinatif terhadap semua bentuk perubahan structural dalam beragama (Islam), politik, dan juga ekonomi global. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya Islam dapat berpartisipasi untuk mensterilkan pijakan-pijakan yang sama dengan negara-negara barat bahwa jiwa Islam adalah pluralisme dan tidak menjadi penghambat bagi sekulerisasi intelektual sebagai kekuatan peradabannya.
Oleh : Husamah, Redaksi Pelaksana Majalah “Spora” Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur
7 Juni 2008
Cagub Pro Lingkungan Hidup
(Surya Edisi 4 Juni 2008)
Oleh: Husamah
(Ketua Forum Diskusi Ilmiah UMM)
Jawa Timur telah mencatat sejarah dirinya dengan berbagai kejadian bencana akibat kerusakan lingkungan. Beberapa contoh dapat kemabli kita ingat seperti banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo yang merendam beberapa kabupaten, banjir di Tulungagung, Trenggalek dan Kediri, tanah longsor di Jember, Trawas dan Ponorogo.
Jika ingin jujur, semua itu terjadi akibat lalainya para pemimpin dalam mengelolaan sumberdaya alam. Sayangnya, terlalu sering para pemimpin itu membela diri dan terkadang memunculkan opini yang justru menyesatkan masyarakat. Dampak-dampak kerusakan yang memakan korban jiwa sepertinya tidak mampu membuat pemimpin merubah pola kebijakan yang mengedepankan kepentingan ekonomi dan pemilik modal. Sulit rasanya membuat mereka sadar tentang bahaya laten kerusakan lingkungan.
Menurut Cahyadi (2008) orientasi Pemprov Jawa Timur untuk meningkatkan investasi melalui industrialisasi yang mengorbankan lingkungan sudah melenceng dari tujuan pembangunan berkelanjutan, karena seharusnya industrialisasi yang dikembangkan saat ini tidak merampas kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kualitas sumberdaya alam yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Momen pemilihan gubernur Jawa Timur bulan Juli 2008 ini semestinya menjadi ajang untuk mencari dan menyeleksi pemimpin yang pro lingkungan hidup. Hal ini harus dilakukan, seperti yang dikatakan Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur, HA Latief Burhan, bahwa Jawa Timur perlu merevitalisasi (menghidupkan kembali) komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi peduli terhadap kelestarian lingkungan atau berwawasan lingkungan.
Revitalisasi komitmen tersebut diperlukan, karena kerusakan lingkungan saat ini semakin marak, bukan hanya apa yang telah disebutkan di awal tetapi misalnya kerusakan hutan dan sumber air, ekosistem pesisir dan laut serta kerusakan lingkungan perkotaan. Lingkungan hidup merupakan aspek vital, jika rusak dampaknya sangat besar terhadap kehidupan. Sehingga untuk memperbaikinya dibutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.
Akhirnya sudah saatnya para kandidat baik dari generasi baru maupun generasi lama yang umumnya dibesarkan pada masa politik Indonesia yang menghamba pada kekuatan eksploitatif destruktif sumberdaya alam membuktikan dirinya pro lingkungan hidup. Tapi jangan pula menjadikan lingkungan hidup sebagai ajang tebar pesona dan mempolitisir lingkungan untuk menarik keuntungan dalam pemilihan gubernur (pilgub). Semoga.
Oleh: Husamah
(Ketua Forum Diskusi Ilmiah UMM)
Jawa Timur telah mencatat sejarah dirinya dengan berbagai kejadian bencana akibat kerusakan lingkungan. Beberapa contoh dapat kemabli kita ingat seperti banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo yang merendam beberapa kabupaten, banjir di Tulungagung, Trenggalek dan Kediri, tanah longsor di Jember, Trawas dan Ponorogo.
Jika ingin jujur, semua itu terjadi akibat lalainya para pemimpin dalam mengelolaan sumberdaya alam. Sayangnya, terlalu sering para pemimpin itu membela diri dan terkadang memunculkan opini yang justru menyesatkan masyarakat. Dampak-dampak kerusakan yang memakan korban jiwa sepertinya tidak mampu membuat pemimpin merubah pola kebijakan yang mengedepankan kepentingan ekonomi dan pemilik modal. Sulit rasanya membuat mereka sadar tentang bahaya laten kerusakan lingkungan.
Menurut Cahyadi (2008) orientasi Pemprov Jawa Timur untuk meningkatkan investasi melalui industrialisasi yang mengorbankan lingkungan sudah melenceng dari tujuan pembangunan berkelanjutan, karena seharusnya industrialisasi yang dikembangkan saat ini tidak merampas kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kualitas sumberdaya alam yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Momen pemilihan gubernur Jawa Timur bulan Juli 2008 ini semestinya menjadi ajang untuk mencari dan menyeleksi pemimpin yang pro lingkungan hidup. Hal ini harus dilakukan, seperti yang dikatakan Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur, HA Latief Burhan, bahwa Jawa Timur perlu merevitalisasi (menghidupkan kembali) komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi peduli terhadap kelestarian lingkungan atau berwawasan lingkungan.
Revitalisasi komitmen tersebut diperlukan, karena kerusakan lingkungan saat ini semakin marak, bukan hanya apa yang telah disebutkan di awal tetapi misalnya kerusakan hutan dan sumber air, ekosistem pesisir dan laut serta kerusakan lingkungan perkotaan. Lingkungan hidup merupakan aspek vital, jika rusak dampaknya sangat besar terhadap kehidupan. Sehingga untuk memperbaikinya dibutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.
Akhirnya sudah saatnya para kandidat baik dari generasi baru maupun generasi lama yang umumnya dibesarkan pada masa politik Indonesia yang menghamba pada kekuatan eksploitatif destruktif sumberdaya alam membuktikan dirinya pro lingkungan hidup. Tapi jangan pula menjadikan lingkungan hidup sebagai ajang tebar pesona dan mempolitisir lingkungan untuk menarik keuntungan dalam pemilihan gubernur (pilgub). Semoga.
Akhiri Kekerasan Berkedok Agama
Media Indonesia 6 Juni 2008
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Biologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Kekerasan atas nama agama rasanya tidak pernah sepi dari negara yang mengaku majemuk ini. Buktinya, kejadian terakhir yang memilukan yaitu penyerangan oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) terhadap aktivis Aliansi Kebangsaaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monumen Nasional (Monas) beberapa waktu lalu.
Tindakan tersebut jelas telah mengusik keharmonisan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Beberapa pengamat mensinyalir bahwa munculnya kekerasan sebagai dampak dari radikalisme agama yang belakangan juga kuat menggejala bahkan semakin subur.
Bagaimanapun, secara tipikal, meminjam istilah Azumardi Azra, pelaku ancaman dan kekerasan telah menganggap kelompok Islam lainnya sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menulis bahwa seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Apakah pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.
Ironisnya, kejadian seperti ini mendorong sebagian umat Islam di Indonesia sekarang untuk memandang Islam sebagai agama yang melegitimasi dan mengajurkan tindak kekerasan. Bahkan pesantren yang sejatinya merupakan gerbang Ilmu agama Islam juga ditenggarai ikut berperan dalam membentuk sikap radikal dan melegitimasi aksi kekerasan. Beberapa pesantren justru dicurigai sebagai 'sarang' radikalisme agama dan basis latihan 'teroris'.
Tentunya kita semua mencatat bahwa tragedi kekerasan, brutalisme, barbarianisme dan apapun istilahnya ini terasa sangat naïf terjadi di negara hukum yang melindungi hak dan menjamin kebebasan keyakinan dan kepercayaan setiap warganya. Ini jelas sudah melnggar UUD 1945 dan mengarah ke kriminal.
Lalu bagaimana solusi jitu mengatasi permasalahan ini? Menurut saya, minimal ada tiga poin penting yang perlu dilakukan. Pertama, harus selalu ditanamkan konsep tunggal kebenaran dimana apapun alasannya, tindakan di atas jelas bertentangan dengan Islam rahmatan lil 'alamin. Islam yang dalam bahasa arab sendiri mengandung makna kedamaian dan ketenangan. Oleh sebab itu, Islam sangat melarang dan mencela umatnya untuk melakukan kekerasan dan perusakan di muka bumi (QS. 2:195).
Kedua, membudayakan dialog-dialog pruduktif dan konstruktif. Jangan sampai dialog hanya terjadi pada lapisan atas. Sudah saatnya para tokoh agama mulai memelopori dialog yang melibatkan menengah ke bawah (akar rumput). Belajar dari pengalaman, tindakan anarkis lebih banyak dilakukan oleh kalangan bawah yang memiliki pemahaman setengah-setengah atau bahkan dangkal, yang terkadang dengan mudah dihasut atau dipolitisir.
Ketiga, tugas negara adalah menjamin kebebasan dan melindungi warganya. Pemerintah tidak boleh ragu dan bingung menindak pelaku kekerasan. Pihak berwajib harus segera menghentikan dan memproses secara adil terhadap siapapun yang melanggar. Jika hal itu tidak di lakukan, bukan tidak mungkin tragedi-tragedi serupa akan terus berlangsung dan semakin parah. Bukan tidak mungkin pula hal ini bisa berbalik, ketika kelompok yang sekarang menjadi minoritas dikemudian hari menjadi mayoritas, mereka akan membalas. Ini sangat mengerikan. Selain itu, dengan tidak menindak pelaku berarti menghalalkan bentuk diskriminasi terhadap warga lainnya. Wallahu'alam.
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Biologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Kekerasan atas nama agama rasanya tidak pernah sepi dari negara yang mengaku majemuk ini. Buktinya, kejadian terakhir yang memilukan yaitu penyerangan oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) terhadap aktivis Aliansi Kebangsaaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monumen Nasional (Monas) beberapa waktu lalu.
Tindakan tersebut jelas telah mengusik keharmonisan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Beberapa pengamat mensinyalir bahwa munculnya kekerasan sebagai dampak dari radikalisme agama yang belakangan juga kuat menggejala bahkan semakin subur.
Bagaimanapun, secara tipikal, meminjam istilah Azumardi Azra, pelaku ancaman dan kekerasan telah menganggap kelompok Islam lainnya sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menulis bahwa seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Apakah pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.
Ironisnya, kejadian seperti ini mendorong sebagian umat Islam di Indonesia sekarang untuk memandang Islam sebagai agama yang melegitimasi dan mengajurkan tindak kekerasan. Bahkan pesantren yang sejatinya merupakan gerbang Ilmu agama Islam juga ditenggarai ikut berperan dalam membentuk sikap radikal dan melegitimasi aksi kekerasan. Beberapa pesantren justru dicurigai sebagai 'sarang' radikalisme agama dan basis latihan 'teroris'.
Tentunya kita semua mencatat bahwa tragedi kekerasan, brutalisme, barbarianisme dan apapun istilahnya ini terasa sangat naïf terjadi di negara hukum yang melindungi hak dan menjamin kebebasan keyakinan dan kepercayaan setiap warganya. Ini jelas sudah melnggar UUD 1945 dan mengarah ke kriminal.
Lalu bagaimana solusi jitu mengatasi permasalahan ini? Menurut saya, minimal ada tiga poin penting yang perlu dilakukan. Pertama, harus selalu ditanamkan konsep tunggal kebenaran dimana apapun alasannya, tindakan di atas jelas bertentangan dengan Islam rahmatan lil 'alamin. Islam yang dalam bahasa arab sendiri mengandung makna kedamaian dan ketenangan. Oleh sebab itu, Islam sangat melarang dan mencela umatnya untuk melakukan kekerasan dan perusakan di muka bumi (QS. 2:195).
Kedua, membudayakan dialog-dialog pruduktif dan konstruktif. Jangan sampai dialog hanya terjadi pada lapisan atas. Sudah saatnya para tokoh agama mulai memelopori dialog yang melibatkan menengah ke bawah (akar rumput). Belajar dari pengalaman, tindakan anarkis lebih banyak dilakukan oleh kalangan bawah yang memiliki pemahaman setengah-setengah atau bahkan dangkal, yang terkadang dengan mudah dihasut atau dipolitisir.
Ketiga, tugas negara adalah menjamin kebebasan dan melindungi warganya. Pemerintah tidak boleh ragu dan bingung menindak pelaku kekerasan. Pihak berwajib harus segera menghentikan dan memproses secara adil terhadap siapapun yang melanggar. Jika hal itu tidak di lakukan, bukan tidak mungkin tragedi-tragedi serupa akan terus berlangsung dan semakin parah. Bukan tidak mungkin pula hal ini bisa berbalik, ketika kelompok yang sekarang menjadi minoritas dikemudian hari menjadi mayoritas, mereka akan membalas. Ini sangat mengerikan. Selain itu, dengan tidak menindak pelaku berarti menghalalkan bentuk diskriminasi terhadap warga lainnya. Wallahu'alam.
Kebangkitan Harga BBM?
Dimuat Media Indonesia, Kamis, 22 Mei 2008 00:03 WIB
Oleh: Husamah
(Mahasiswa UMM, e-mail:usya_bio@yahoo.com)
Tahun 2008 ini, bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Sebagai orang bijak, idealnya Hari Kebangkitan Nasional itu dijadikan momentum untuk introspeksi.
Dulu, kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Saat ini yang perlu direnungkan adalah apakah bangsa ini benar-benar merdeka.
Faktanya, masih terlalu banyak bentuk penjajahan legal dan terstruktur di negara ini. Elite politik dari tingkat bawah sampai atas sebagian besar ternyata memiliki mental yang bobrok. Para pejabat hanya memikirkan bagaimana cara memperkaya diri.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sengaja dipolitisasi untuk menguntungkan diri, kelompok, atau partainya sendiri.
Tak dapat disangkal, akibat ulah pemimpin yang tidak amanah itu, Indonesia masih terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan. Jeritan kepedihan penderitaan rakyat tidak pernah digubris. Yang terbaru adalah arogansi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sekilas, dengan menaikkan harga BBM, pemerintah beranggapan bahwa APBN akan aman atau tidak 'jebol'. Itulah dalih yang selalu dimunculkan oleh pemerintah jika perlu menggunakan analisis pengamat propemerintah. Pemerintah juga berinisiatif untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin. Dengan demikian, pemerintah berkesimpulan bahwa kenaikan harga BBM disertai adanya kompensasi adalah harga mati.
Dari sinilah permasalahannya terlihat. Bertitik tolak dari sejarah masa lalu, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan selalu diikuti penyimpangan dalam realisasinya. Kebijakan 'pengganti' ini pun sering kali mendapat sorotan dari masyarakat. Sampai saat ini masyarakat tidak tahu jelas masalah desain, skenario, sistematika, dan realisasi program kompensasi sosial tersebut. Evaluasi mengenai skenario penyaluran dana tersebut belum pernah dilakukan, apalagi pertanggungjawabannya. Suara-suara kritis untuk melakukan evaluasi dan memberikan
pertanggungjawaban sudah didengungkan oleh kelompok masyarakat, namun tampaknya kurang menjadi perhatian utama dari pemerintah.
Membiarkan rakyat tercekik 'kebangkitan' (kenaikan) harga pastilah akan menjadi kenyataan pemerintah kita nantinya. Namun, mereka tidak mampu menghentikan kebocoran dan perampokan dana negara oleh koruptor. Minyak-minyak dan sumber energi kita dibiarkan dinikmati perusahaan multinasional.
Kenaikan harga BBM tak lain merupakan cerminan ketidakberdayaan negara menghadapi situasi ekonomi internasional pasar bebas. Pemerintah tidak memiliki kemauan pengambil kebijakan (political will). Tidak ada orientasi pada penyelamatan bangsa dan negara atas kedaulatan sumber energinya, apalagi langkah tegas, mendasar, dan bebas dari kepentingan asing, dengan memobilisasi seluruh aset sumber daya energi bagi kebutuhan domestik untuk menjamin ketahanan energi bangsa (energy security). Akhirnya, selamat Hari Kebangkitan Nasional dan selamat menikmati kebangkitan (kenaikan) harga BBM.
Oleh: Husamah
(Mahasiswa UMM, e-mail:usya_bio@yahoo.com)
Tahun 2008 ini, bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Sebagai orang bijak, idealnya Hari Kebangkitan Nasional itu dijadikan momentum untuk introspeksi.
Dulu, kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Saat ini yang perlu direnungkan adalah apakah bangsa ini benar-benar merdeka.
Faktanya, masih terlalu banyak bentuk penjajahan legal dan terstruktur di negara ini. Elite politik dari tingkat bawah sampai atas sebagian besar ternyata memiliki mental yang bobrok. Para pejabat hanya memikirkan bagaimana cara memperkaya diri.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sengaja dipolitisasi untuk menguntungkan diri, kelompok, atau partainya sendiri.
Tak dapat disangkal, akibat ulah pemimpin yang tidak amanah itu, Indonesia masih terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan. Jeritan kepedihan penderitaan rakyat tidak pernah digubris. Yang terbaru adalah arogansi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sekilas, dengan menaikkan harga BBM, pemerintah beranggapan bahwa APBN akan aman atau tidak 'jebol'. Itulah dalih yang selalu dimunculkan oleh pemerintah jika perlu menggunakan analisis pengamat propemerintah. Pemerintah juga berinisiatif untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin. Dengan demikian, pemerintah berkesimpulan bahwa kenaikan harga BBM disertai adanya kompensasi adalah harga mati.
Dari sinilah permasalahannya terlihat. Bertitik tolak dari sejarah masa lalu, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan selalu diikuti penyimpangan dalam realisasinya. Kebijakan 'pengganti' ini pun sering kali mendapat sorotan dari masyarakat. Sampai saat ini masyarakat tidak tahu jelas masalah desain, skenario, sistematika, dan realisasi program kompensasi sosial tersebut. Evaluasi mengenai skenario penyaluran dana tersebut belum pernah dilakukan, apalagi pertanggungjawabannya. Suara-suara kritis untuk melakukan evaluasi dan memberikan
pertanggungjawaban sudah didengungkan oleh kelompok masyarakat, namun tampaknya kurang menjadi perhatian utama dari pemerintah.
Membiarkan rakyat tercekik 'kebangkitan' (kenaikan) harga pastilah akan menjadi kenyataan pemerintah kita nantinya. Namun, mereka tidak mampu menghentikan kebocoran dan perampokan dana negara oleh koruptor. Minyak-minyak dan sumber energi kita dibiarkan dinikmati perusahaan multinasional.
Kenaikan harga BBM tak lain merupakan cerminan ketidakberdayaan negara menghadapi situasi ekonomi internasional pasar bebas. Pemerintah tidak memiliki kemauan pengambil kebijakan (political will). Tidak ada orientasi pada penyelamatan bangsa dan negara atas kedaulatan sumber energinya, apalagi langkah tegas, mendasar, dan bebas dari kepentingan asing, dengan memobilisasi seluruh aset sumber daya energi bagi kebutuhan domestik untuk menjamin ketahanan energi bangsa (energy security). Akhirnya, selamat Hari Kebangkitan Nasional dan selamat menikmati kebangkitan (kenaikan) harga BBM.
17 Mei 2008
100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
15 Mei 2008
PP 02/2008 dan Realita di Masyarakat
sumber: http://www.jatam.org/content/view/347/1/
on Tuesday, 13 May 2008
Siaran Pers JATAM & Sawit Watch
”Opini yang terpilih menjadi pemenang terbaik, adalah mereka yang berhasil menerjemahkan sebuah UU yang abstrak ke dalam tulisan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam,” ucap Farid Gaban, salah satu Dewan Juri Lomba Opini ”Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat”.
-------
Setelah tertunda 12 hari, akhirnya Dewan Juri Lomba Opini berhasil memilih 8 opini terbaik untuk kategori mahasiswa dan Umum. Inilah pandangan-pandangan yang harus didengar pemerintah dan wakil rakyat mengenai ancaman keselamatan rakyat akibat keluarnya PP No 2 tahun 2008 tentang sewa hutan lindung.
Mereka adalah Ignas Triyono (Pasca Sarjana STIA LAN Jakarta), P. Bonie Kertaredja (warga Jogja), Toto Supartono (Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan) dan Ali Yasin (wartawan majalah Otonom) terbaik di kategori Umum.
Sedangkan Robertus Rony Setiawan (mahasiswa FISIP UGM), Husamah (Mahasiswa FKIP Unmuh Malang), M. Khoirul Anwar Khalil (Siswa MA Muallimin Bahrul Ulum Jombang), dan F. Sukmadewi Megawat (anggota KAMMI Bandung) terbaik di kategori mahasiswa/pelajar.
”Opini yang terpilih menjadi pemenang terbaik, adalah mereka yang berhasil menerjemahkan sebuah UU yang abstrak ke dalam tulisan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam,” ucap Farid Gaban, salah satu Dewan Juri Lomba Opini
Pengumuman lomba yang diselenggarakan JATAM dan Sawit Watch ini sempat tertunda karena banyaknya naskah yang masuk. Ada 473 naskah opini masuk, terdiri 218 kategori umum, 201 kategori mahasiswa. Sementara 54 naskah lainnya, tak masuk kriteria karena hanya berupa pendapat.
Opini yang terpilih adalah yang mampu mendekatkan persoalan besar kedalam permasalahan sehari hari, mengangkat dampak-dampak persoalan, seperti terhadap perempuan, otonomi daerah, hak ulayat masyarakat, menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Ia juga ditunjang dengan kelengkapan data dan cara penulisan yang lugas dan detail.
”Terima kasih yang tak terhingga, kepada masyarakat yang telah mengirimkan opininya. Lomba Opini ini hanyalah salah satu cara, agar masyarakat dapat menyuarakan pendapatnya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang seringkali diketok tanpa melibatkan masyarakat,” ungkap Luluk Uliyah, panitia Lomba.
Penyelenggara Opini akan mengemas opini ini untuk disampaikan kepada anggota DPR RI dan Departemen terkait. Mereka perlu argumentasi yang lebih mencerdaskan dari warga negaranya. Agar tidak terus menerus paranoid dibawah tekanan pemodal asing pertambangan.
Kontak Media : Luluk Uliyah 0815 9480 246
on Tuesday, 13 May 2008
Siaran Pers JATAM & Sawit Watch
”Opini yang terpilih menjadi pemenang terbaik, adalah mereka yang berhasil menerjemahkan sebuah UU yang abstrak ke dalam tulisan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam,” ucap Farid Gaban, salah satu Dewan Juri Lomba Opini ”Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat”.
-------
Setelah tertunda 12 hari, akhirnya Dewan Juri Lomba Opini berhasil memilih 8 opini terbaik untuk kategori mahasiswa dan Umum. Inilah pandangan-pandangan yang harus didengar pemerintah dan wakil rakyat mengenai ancaman keselamatan rakyat akibat keluarnya PP No 2 tahun 2008 tentang sewa hutan lindung.
Mereka adalah Ignas Triyono (Pasca Sarjana STIA LAN Jakarta), P. Bonie Kertaredja (warga Jogja), Toto Supartono (Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan) dan Ali Yasin (wartawan majalah Otonom) terbaik di kategori Umum.
Sedangkan Robertus Rony Setiawan (mahasiswa FISIP UGM), Husamah (Mahasiswa FKIP Unmuh Malang), M. Khoirul Anwar Khalil (Siswa MA Muallimin Bahrul Ulum Jombang), dan F. Sukmadewi Megawat (anggota KAMMI Bandung) terbaik di kategori mahasiswa/pelajar.
”Opini yang terpilih menjadi pemenang terbaik, adalah mereka yang berhasil menerjemahkan sebuah UU yang abstrak ke dalam tulisan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam,” ucap Farid Gaban, salah satu Dewan Juri Lomba Opini
Pengumuman lomba yang diselenggarakan JATAM dan Sawit Watch ini sempat tertunda karena banyaknya naskah yang masuk. Ada 473 naskah opini masuk, terdiri 218 kategori umum, 201 kategori mahasiswa. Sementara 54 naskah lainnya, tak masuk kriteria karena hanya berupa pendapat.
Opini yang terpilih adalah yang mampu mendekatkan persoalan besar kedalam permasalahan sehari hari, mengangkat dampak-dampak persoalan, seperti terhadap perempuan, otonomi daerah, hak ulayat masyarakat, menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Ia juga ditunjang dengan kelengkapan data dan cara penulisan yang lugas dan detail.
”Terima kasih yang tak terhingga, kepada masyarakat yang telah mengirimkan opininya. Lomba Opini ini hanyalah salah satu cara, agar masyarakat dapat menyuarakan pendapatnya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang seringkali diketok tanpa melibatkan masyarakat,” ungkap Luluk Uliyah, panitia Lomba.
Penyelenggara Opini akan mengemas opini ini untuk disampaikan kepada anggota DPR RI dan Departemen terkait. Mereka perlu argumentasi yang lebih mencerdaskan dari warga negaranya. Agar tidak terus menerus paranoid dibawah tekanan pemodal asing pertambangan.
Kontak Media : Luluk Uliyah 0815 9480 246
12 Mei 2008
Hardiknas di UMM; Penghargaan untuk Civitas
(HUSAMAH JADI MAWAPRES UMM 2008)5 Mei 2008
sumber: mahasiswa.com
Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2008, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memberikan kejutan untuk civitas. Kejutan itu berupa pengumumkan daftar dosen, karyawan serta mahasiswa terbaik yang mendapat penghargaan dari Rektor UMM, Dr Muhadjir Effendy MAP.
Penghargaan ini diharapkan mampu memberikan makna yang mendalam kepada setiap civitas kampus atas totalitas mereka di pendidikan terutama UMM. Civitas yang dinobatkan merupakan hasil seleksi ketat dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).
“Tradisi ini sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu. Tujuannya untuk memacu prestasi dan kinerja UMM lebih baik lagi,” ungkap Nasrullah, Kepala Humas UMM, Kamis (1/5) seperti dilansir surya.co.id.
Layaknya pemilihan “ratu sejagad” rangkaian proses pemilihan dilakukan sejak dua bulan lalu. Prosesnya melibatkan berbagai pihak termasuk tim independen yang didatangkan dari luar universitas. Akhirnya BPSDM menemukan sembilan civitas terbaik UMM 2008.
“Kami akan terus mengembangkan SDM dengan berbagai stimulasi dan motivasi termasuk pemilihan civitas terbaik UMM,” ungkap Dra Vina Salviana DS MSi, Kepala BPSDM.
Sembilan civitas yang akan dinobatkan sebagai bintang Hardiknas UMM 2008, kategori dosen diraih oleh Ir Elfi Anis Saati MP dan Dr Ir Noor Harini MS, keduanya menempati urutan pertama dan kedua dan sama-sama berasal dari Fakultas Pertanian UMM.
Diurutan ketiga ditempati dosen Fakultas Hukum, Fifik Wiryani SH MSi MHum.
“Untuk mahasiswa berprestasinya diraih oleh Husamah dan Lailatul Muannisak dari FKIP serta Rusli dari Fakultas Peternakan dan Perikanan,” terangnya.
Sedangkan kategori karyawan terbaik diraih Ir Ahmad Yani MP dari LPM, Sukiman SPd, dari FISIP serta Dewi Khaiyuma dari FE UMM. Para civitas terbaik ini akan ditempel fotonya di setiap sudut kantor utama UMM sebagai bentuk penghargaan dan contoh teladan bagi civitas lainnya.
“Kami akan menyediakan fasilitas seperti menjalankan umroh atau haji serta studi banding ke lembaga pendidikan tinggi di Jakarta untuk tambahan wawasan,“ tandas Drs Mursidi MM, Pembantu Rektor II UMM.
sumber: mahasiswa.com
Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2008, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memberikan kejutan untuk civitas. Kejutan itu berupa pengumumkan daftar dosen, karyawan serta mahasiswa terbaik yang mendapat penghargaan dari Rektor UMM, Dr Muhadjir Effendy MAP.
Penghargaan ini diharapkan mampu memberikan makna yang mendalam kepada setiap civitas kampus atas totalitas mereka di pendidikan terutama UMM. Civitas yang dinobatkan merupakan hasil seleksi ketat dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).
“Tradisi ini sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu. Tujuannya untuk memacu prestasi dan kinerja UMM lebih baik lagi,” ungkap Nasrullah, Kepala Humas UMM, Kamis (1/5) seperti dilansir surya.co.id.
Layaknya pemilihan “ratu sejagad” rangkaian proses pemilihan dilakukan sejak dua bulan lalu. Prosesnya melibatkan berbagai pihak termasuk tim independen yang didatangkan dari luar universitas. Akhirnya BPSDM menemukan sembilan civitas terbaik UMM 2008.
“Kami akan terus mengembangkan SDM dengan berbagai stimulasi dan motivasi termasuk pemilihan civitas terbaik UMM,” ungkap Dra Vina Salviana DS MSi, Kepala BPSDM.
Sembilan civitas yang akan dinobatkan sebagai bintang Hardiknas UMM 2008, kategori dosen diraih oleh Ir Elfi Anis Saati MP dan Dr Ir Noor Harini MS, keduanya menempati urutan pertama dan kedua dan sama-sama berasal dari Fakultas Pertanian UMM.
Diurutan ketiga ditempati dosen Fakultas Hukum, Fifik Wiryani SH MSi MHum.
“Untuk mahasiswa berprestasinya diraih oleh Husamah dan Lailatul Muannisak dari FKIP serta Rusli dari Fakultas Peternakan dan Perikanan,” terangnya.
Sedangkan kategori karyawan terbaik diraih Ir Ahmad Yani MP dari LPM, Sukiman SPd, dari FISIP serta Dewi Khaiyuma dari FE UMM. Para civitas terbaik ini akan ditempel fotonya di setiap sudut kantor utama UMM sebagai bentuk penghargaan dan contoh teladan bagi civitas lainnya.
“Kami akan menyediakan fasilitas seperti menjalankan umroh atau haji serta studi banding ke lembaga pendidikan tinggi di Jakarta untuk tambahan wawasan,“ tandas Drs Mursidi MM, Pembantu Rektor II UMM.
UMM BERI PENGHARGAAN DOSEN DAN KARYAWAN TERBAIK
(HUSAMAH TERPILIH SEBAGAI MAHASISWA BERPRESTASI)
sumber: www.umm.ac.id
Hari Jumat (2/5/2008), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memeringati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, UMM melakukan Upacara Hardiknas di helipad kampus III diikuti oleh seluruh fungsionaris mahasiswa serta dosen dan karyawan. Tampil sebagai Inspektur Upacara rector Dr. Muhadjir Effendy, MAP dan Komandan Upacara Akhirul Wasit (Satpam UMM).
Menurut Kepala Humas Nasrullah, untuk memberi makna mendalam pada setiap peringatan Hardiknas, UMM memberikan penghargaan bagi mahasiswa, dosen dan karyawan terbaik. Mereka adalah orang-orang yang telah menunjukkan prestasi terbaiknya dan diseleksi oleh tim kemahasiswaan dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) UMM. “Tradisi ini sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu untuk memacu prestasi dan kinerja UMM lebih baik lagi,” ungkapnya.
Tahun ini penghargaan dosen terbaik diraih oleh Ir. Hj. Elfi Anis Saati, MP, dosen Fakultas Pertanian (FP). Sedangkan urutan kedua dan ketiga adalah Dr. Ir. Noor Harini, MS, (FP) dan Fifik Wiryani, SH, M.Si, M.Hum (FH). Mereka dinilai terbaik karena memiliki dedikasi, loyalitas dan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Elfi Anis mempunyai hak paten atas “Pewarna Alami Bunga Kana Merah (Canna sp) Untuk Produk Minuman” dan “Produk Pewarna Alami Makanan dari Bunga Mawar Merah (Rosa sp) dan Proses Pembuatannya”. Sedangkan Noor Harini mempunyai hak paten atas “Pengelolaan Cangkang Kerang menjadi Chitosan untuk Bahan Campuran Pelitur”. Sementara itu Fifik Wiryani memiliki karya unggulan berjudul “Alternatif Model Advokasi ‘KIBBE’ Bagi Anak Korban KDRT Sebagi Upaya Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Anak”.
Penghargaan untuk karyawan berprestasi diberikan kepada Ir. Ahmad Yani, MP, dari Unit Lembaga Pengabdian Masyarakat, H. Sukiman, S.Pd, dari FISIP dan Dewi Khaiyuma, A.Md, dari Fakultas Ekonomi. Mereka diplih berdasarkan seleksi yang sangat ketat dari sekitar 400 karyawan UMM.
Kepala BPSDM, Dra. Vina Salviana DS, MSi mengatakan, pemilihan dosen dan karyawan berprestasi dilakukan sejak dua bulan lalu. Prosesnya, melibatkan berbagai pihak termasuk tim independent yang diambil dari luar universitas. “BPSDM akan terus memacu pengembangan SDM UMM melalui stimulasi-stimulasi dan motivasi yang dirancang khusus. Pemilihan dosen dan karyawan berprestasi hanyalah salah satu program saja,” jelasnya.
Menurut Pembantu Rektor II, Drs. Mursidi, MM mengatakan, kepada dosen dan karyawan berprestasi UMM akan memberikan beberapa penghargaan. Selain nama dan fotonya akan diabadikan di setiap sudut kantor-kantor utama, juga akan memperoleh berbagai fasilitas. Untuk dosen berprestasi diberikan percepatan studi lanjut dan studi banding ke luar negeri, sedangkan karyawan terbaik pertama akan memperoleh fasilitas umroh atau haji, serta studi banding ke lembaga pendidikan tinggi di Jakarta.
Mahasiswa Berprestasi
Sementara itu mahasiswa berprestasi UMM tahun ini diraih oleh Husamah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Juara pertama akan mewakili universitas melaju ke tingkat Kopertis wilayah VII. Juara II diraih Lailatul Muannisak juga dari FKIP dan juara III diraih Rusli dari Fakultas Peternakan dan Perikanan. Dalam upacara hari ini, UMM juga mengumumkan berbagai prestasi yang di raih di bidang kemahasiswaan. Antara lain sebagai PTS peraih PKM terbanyak, juara I KKTM bidang pendidikan Kopertis VII dan Wilayah Jatim, Bali, NTT dan NTB, juara LKTM Inovatif lingkungan se-Jatim, finalis Kontes Robot Indonesia, Juara I pencak silat Erlangga Cup, Juara taekwondo, juara harapan Raka-raki, serta masuk sebagai finalis Miss Indonesia 2008
Pengumuman Pemenang Lomba Opini
Monday, 12 May 2008
SUMBER: www.jatam.org
Pengumuman Pemenang Lomba Opini
Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
Berdasarkan Hasil Penilaian Dewan Juri diputuskan bahwa :
4 Pemenang Terbaik Untuk Kategori Umum adalah :
1.Ignas Triyono, Judul Opini “ Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy”
2.Poniyem Bonnie Kertaredja, Judul Opini “Dampak PP 02/2008 terhadap Perempuan”
3.Toto Supartono, Judul Opini “PP Nomor 2 Tahun 2008 : Monster Bagi Hutan Lindung”
4.Ali Yasin, Judul Opini “ Upaya Destruksi Otonomi Daerah”
4 Pemenang Terbaik untuk Kategori Mahasiswa adalah :
1. Robertus Rony Setiawan, Judul Opini ”Nasib Hak Ulayat Terancam”
2. Husamah, Judul: “Masyarakat Adat dan Egoisme Ekonomi Politik Penguasa – Kapitalis”3.M. Khoirul Anwar Khalil, Judul Opini ”Jangan Jadikan Indonesia Karpet Merah Dunia!”
4.F. Sukmadewi Megawati, Judul Opini ” PP No 2/2008 Tak Menyelematkan Hutan Lindung”
Hasil penilaian diputuskan secara bulat dan tidak dapat diganggu gugat.
Jakarta, 12 Mei 2008
Dewan Juri :
Farid Gaban (KANTOR BERITA PENA)
Maria Hartiningsih (WARTAWAN TEMPO)
Maria Hasugian (HARIAN KOMPAS)
SUMBER: www.jatam.org
Pengumuman Pemenang Lomba Opini
Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
Berdasarkan Hasil Penilaian Dewan Juri diputuskan bahwa :
4 Pemenang Terbaik Untuk Kategori Umum adalah :
1.Ignas Triyono, Judul Opini “ Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy”
2.Poniyem Bonnie Kertaredja, Judul Opini “Dampak PP 02/2008 terhadap Perempuan”
3.Toto Supartono, Judul Opini “PP Nomor 2 Tahun 2008 : Monster Bagi Hutan Lindung”
4.Ali Yasin, Judul Opini “ Upaya Destruksi Otonomi Daerah”
4 Pemenang Terbaik untuk Kategori Mahasiswa adalah :
1. Robertus Rony Setiawan, Judul Opini ”Nasib Hak Ulayat Terancam”
2. Husamah, Judul: “Masyarakat Adat dan Egoisme Ekonomi Politik Penguasa – Kapitalis”3.M. Khoirul Anwar Khalil, Judul Opini ”Jangan Jadikan Indonesia Karpet Merah Dunia!”
4.F. Sukmadewi Megawati, Judul Opini ” PP No 2/2008 Tak Menyelematkan Hutan Lindung”
Hasil penilaian diputuskan secara bulat dan tidak dapat diganggu gugat.
Jakarta, 12 Mei 2008
Dewan Juri :
Farid Gaban (KANTOR BERITA PENA)
Maria Hartiningsih (WARTAWAN TEMPO)
Maria Hasugian (HARIAN KOMPAS)
MENANG......!!!!!
ALHAMDULILLAH, AKHIRNYA AKU MENANG JUGA....
DAPET E-MAIL DARI PANITIA ISINYA SEPERTI BERIKUT INI:
Selamat, Opini Anda Menjadi Salah Satu Opini Terbaik dalam Lomba Opini
Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
Kawan-kawan,
Kami, Panitia Lomba Opini Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan
Keselamatan Rakyat mengucapkan selamat, Opini Anda Menjadi Salah Satu
Opini Terbaik
Anda akan mendapatkan hadiah uang tunai Rp 1.250.000 dan Piagam
Penghargaan.
Mohon untuk mengirimkan biodata, Fotocopy KTP/KTM yang masih berlaku
dan
Nomor rekening ke email luluk@jatam.org, atau di fax ke 021-794 1559
Kami akan memproses selama 1 minggu
Apabila ada yang ingin ditanyakan, dapat menghubungi Luluk di 0815 9480
246
Terima kasih
Luluk Uliyah
Panitia Lomba
DAPET E-MAIL DARI PANITIA ISINYA SEPERTI BERIKUT INI:
Selamat, Opini Anda Menjadi Salah Satu Opini Terbaik dalam Lomba Opini
Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
Kawan-kawan,
Kami, Panitia Lomba Opini Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan
Keselamatan Rakyat mengucapkan selamat, Opini Anda Menjadi Salah Satu
Opini Terbaik
Anda akan mendapatkan hadiah uang tunai Rp 1.250.000 dan Piagam
Penghargaan.
Mohon untuk mengirimkan biodata, Fotocopy KTP/KTM yang masih berlaku
dan
Nomor rekening ke email luluk@jatam.org, atau di fax ke 021-794 1559
Kami akan memproses selama 1 minggu
Apabila ada yang ingin ditanyakan, dapat menghubungi Luluk di 0815 9480
246
Terima kasih
Luluk Uliyah
Panitia Lomba
Lomba Opini
Cuma 300 Perak, Lomba Opini – Hadiah Total Rp. 10 juta
Perusakan hutan tak terbendung, sementara ribuan orang meninggal dan ratusan ribu lainnya mengungsi akibat longsor dan banjir. Februari lalu, Presiden malah mengesahkan PP No 2/2008. PP ini menyewakan hutan lindung dan hutan produksi untuk alih fungsi menjadi pertambangan skala besar dan peruntukan lain. Sewanya murah, hanya Rp. 300 perak per meter. PP ini akan memperparah kerusakan hutan, kembali meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak tertanggungkan.
JATAM dan Sawit Watch mengundang anda menyampaikan pendapat. Ikuti Lomba Menulis Opini
Tema : Hutan Lindung, PP 02/2008 & Keselamatan Rakyat.
Dewan Juri terdiri dari Farid Gaban (Kantor Berita Pena Indonesia), Maria Rita Hasugian (Wartawan Tempo) dan Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas).
Ketentuan Lomba :
* Lomba dibagi dua kategori, yaitu mahasiswa/pelajar dan umum (wartawan, dosen, praktisi, masyarakat umum).
* Setiap peserta boleh mengirimkan karya lebih dari satu
* Tulisan berkisar 700 - 1000 kata
* Tulisan sesuai dengan tema, bisa dikaitkan dengan daya rusak tambang, masyarakat adat, keragaman hayati, perempuan, otonomi daerah, bencana lingkungan, good governance, perubahan iklim, pulau-pulau kecil dan krisis pangan.
* Naskah diterima selambatnya 22 April 2008, melalui email ke : luluk@jatam.org This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
* Karya yang dikirim akan menjadi milik panitia, akan digunakan untuk kegiatan kampanye non profit
* Dewan Juri akan menilai 4 opini terbaik dari masing-masing kategori
* Pemenang diumumkan melalui www.jatam.org pada 1 Mei 2008
* Pemenang mendapatkan piagam penghargaan & uang tunai. Opini akan dikirim ke media nasional, diperbanyak dan disebarkan ke pemerintah & DPR RI, dalam bentuk kumpulan Opini.
Keterangan lebih lanjut hubungi Luluk Uliyah di 0815 9480 246 atau email : luluk@jatam.org This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
Perusakan hutan tak terbendung, sementara ribuan orang meninggal dan ratusan ribu lainnya mengungsi akibat longsor dan banjir. Februari lalu, Presiden malah mengesahkan PP No 2/2008. PP ini menyewakan hutan lindung dan hutan produksi untuk alih fungsi menjadi pertambangan skala besar dan peruntukan lain. Sewanya murah, hanya Rp. 300 perak per meter. PP ini akan memperparah kerusakan hutan, kembali meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak tertanggungkan.
JATAM dan Sawit Watch mengundang anda menyampaikan pendapat. Ikuti Lomba Menulis Opini
Tema : Hutan Lindung, PP 02/2008 & Keselamatan Rakyat.
Dewan Juri terdiri dari Farid Gaban (Kantor Berita Pena Indonesia), Maria Rita Hasugian (Wartawan Tempo) dan Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas).
Ketentuan Lomba :
* Lomba dibagi dua kategori, yaitu mahasiswa/pelajar dan umum (wartawan, dosen, praktisi, masyarakat umum).
* Setiap peserta boleh mengirimkan karya lebih dari satu
* Tulisan berkisar 700 - 1000 kata
* Tulisan sesuai dengan tema, bisa dikaitkan dengan daya rusak tambang, masyarakat adat, keragaman hayati, perempuan, otonomi daerah, bencana lingkungan, good governance, perubahan iklim, pulau-pulau kecil dan krisis pangan.
* Naskah diterima selambatnya 22 April 2008, melalui email ke : luluk@jatam.org This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
* Karya yang dikirim akan menjadi milik panitia, akan digunakan untuk kegiatan kampanye non profit
* Dewan Juri akan menilai 4 opini terbaik dari masing-masing kategori
* Pemenang diumumkan melalui www.jatam.org pada 1 Mei 2008
* Pemenang mendapatkan piagam penghargaan & uang tunai. Opini akan dikirim ke media nasional, diperbanyak dan disebarkan ke pemerintah & DPR RI, dalam bentuk kumpulan Opini.
Keterangan lebih lanjut hubungi Luluk Uliyah di 0815 9480 246 atau email : luluk@jatam.org This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
3 Mei 2008
23 Februari 2008
KEBIJAKAN KEWARGANEGARAAN, MODALITAS MINIMALISASI KONFLIK
JUARA II
LOMBA KARYA TULIS KECINAAN KE-5 TAHUN 2007
SINOLOGY CENTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
SUBTEMA:
”Kebijakan Kewarganegaraan Indonesia: Perekat Keindonesiaan?”
Disusun Oleh:
Husamah (04330058)
Flashback
Sejak awal berdirinya NKRI, berbagai bentuk kesenjangan antara kelompok yang disebut mayoritas dan minoritas telah menjadi realita yang cukup pelik. Kelompok minoritas memang selalu menjadi pihak terkalahkan sepanjang terjadinya konflik baik vertikal, horizontal, diagonal, maupun bersifat ringan sampai keras. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan.1 Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran.2
Sebenarnya pembicaraan tentang minoritas tidak hanya sebatas etnis Tionghoa atau keturunan Cina saja. Minoritas dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu minoritas pribumi dan minoritas non-pribumi. Minoritas pribumi diwakili oleh suku seperti Batak, Dayak, Papua dan banyak lainnya. Minoritas non-pribumi diwakili etnis Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Belanda dan sebagainya.3 Akan tetapi sangat jelas, sejarah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok adalah terkait dengan etnis Tionghoa ini.4,5 Sementara bentuk kesenjangan terhadap etnis lainnya cenderung tidak kentara dan bahkan sebagian orang menganggap mereka relatif harmonis. Dalam permasalahan tersebut Taher (1997) mencontohkan komunitas Arab. Meskipun sama-sama merupakan warga keturunan asing, komunitas Arab relatif lebih dapat diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia, paling tidak, jika diletakkan dalam konteks integrasi atau pembauran politik dan sosial-budaya.6
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergantinya rezim, peraturan menyangkut dilema minoritas pun dikeluarkan. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diluluskan oleh DPR untuk menggantikan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 pada tanggal 11 Juli 2006 yang lalu. Praktis pengesahan ini disebut-sebut sebagai langkah paling “revolusioner”. UU Kewarganegaan baru tersebut, dianggap sebagai kebijakan kewarganegaraan Indonesia yang mampu menjadi jembatan perekat keindonesiaan serta berhasil menyingkarkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” yang selama berpuluh-puluh tahun menghantui warga negara minoritas.7
Dipandang dengan rasional, anggapan tersebut memang terlalu berlebihan atau malah menjadi euforia mengingat pengesahannya yang baru seumur jagung. Namun terlepas dari masih adanya pasal yang diprotes oleh berbagai kalangan karena dianggap kurang melindungi warga negaranya, sebagai sebuah harapan tentunya sangat wajar guna memunculkan optimisme positif pada komunitas minoritas.
Selanjutnya dengan mulai disosialisasikannya UU ini, di masyarakat Etnis Tionghoa- sebagaimana yang dituliskan Setiono (Pikiran Rakyat, 28/08/2006), timbul berbagai pertanyaan antara lain, apakah dengan adanya UU tersebut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akan benar-benar hilang sepenuhnya dan tidak akan menjadi sasaran teror, amuk massa, dan objek pemerasan lagi? Bagaimana etnis Tionghoa harus menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru ini? Pertanyaan tersebut akan semakin lengkap jika kita menambahkan pertanyaan, bagaimanakah seharusnya pribumi menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan tersebut? Bijaknya, pertanyaan itu harus kita uraikan sehingga sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah/konflik. Langkah berikut ini yang akan dilakukan adalah mencoba membedah anatomi masalah sebagai upaya logis penyelesaian secara ilmiah.
Anatomi Masalah
Setiap ahli sepakat bahwa “sesuatu” yang terjadi pada komunitas minoritas Tionghoa di Indonesia adalah diskriminasi yang berujung pada konflik. Menurut Lestariana (2006) suatu rekomendasi bagi manajemen konflik tidak mungkin dibuat tanpa mengetahui akar konflik.8 Akar konflik dapat dilihat berada di antara dua ujung pendulum. Dengan mengutip Collier dan Hoeffler dan Bank Dunia sangat jelas bahwa konflik terjadi akibat motif ekonomi perorangan atau ketamakan. Sementara J.S. Furnival melihat konflik terjadi karena eksistensi suku-suku yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat, namun tidak bercampur satu sama lain, bahkan terpisah sangat mendalam dari segi budaya. Hanya pasar yang menjadi tempat bertemu suku-suku tersebut, sehingga pengelompokan suku sering tumpang tindih dengan pengelompokan ekonomi.
Pandangan seperti di atas dikemukakan pula oleh Suryadinata (1984), sampai batas tertentu penggolongan suku sejalan dengan pengelompokan ekonomi ternyata masih berlaku karena Etnis Tionghoa sebagai kelompok, pada umumnya masih berstatus kelas menengah (middlemen) dalam masyarakat dan kawasan tempat mereka tinggal. Namun pada umumnya faktor budaya, ekonomi dan politik tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan konflik. Konflik baru terjadi bila perbedaan budaya dan ekonomi dijadikan alat politik. Suryadinata menggarisbawahi, negaralah yang paling berperan memicu konflik serius antarsuku khusunya kerusuhan anti Cina di Asia Tenggara termasuk Indonesia.3 Kondisi ini diperparah dengan adanya pola-pola keterlibatan segmen militer Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa dari Indonesia, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo.7 Adanya keterlibatan militer ini juga diduga memiliki pengaruh besar dalam menciptakan budaya kekerasan di Indonesia.9
Thesis ini didukung oleh Grace Lestariana tetapi dengan mengajukan argumen tambahan bahwa fenomena mengerasnya upaya-upaya separatisme dan sentiment SARA di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai “lakon” juga terkait dengan praktek kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis. Sentral dalam hal ini berarti Jawa, khusunya Jakarta, lebih khusus lagi pada jaringan bisnis birokrat sipil dan militer dengan cukong. Cukong adalah pebisnis Tionghoa yang dilindugi oleh pejabat yang berkuasa dengan imbalan memperoleh keuntungan. Jaringan bisnis birokrat dan pengusaha di Indonesia berdampak pada pelestarian korupsi dan kolusi. Cukong dianggap sebagai pemeran utama dalam jaringan bisnis ini. meskipun mereka tidak melibatkan diri dalam partai politik tertentu, namun mereka memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah.10
Dalam pandangan yang hampir mirip, Taher (1997) menyatakan adanya perasaan tertentu atau ketidaksenangan sebagian kalangan pribumi terhadap warga keturunan Cina bukan semata-mata muncul karena persoalan-persoalan yang bersifat ekonomis. Akan tetapi, adanya rasa curiga dan terbentangnya jarak sosial antara pri-nonpri yang cukup lebar. Dapat pula diakibatkan oleh berkembangnya persepsi tentang perbedaan identitas atau juga karena situasi politik. Demikian pula halnya dengan dengan predikat-predikat pejoratif yang menandai adanya karakter dan sifat anggota komunitas keturunan ini. Tidak jarang mereka dipandang sebagai Homo economicus yang tidak peduli terhadap lingkungan di mana mereka berada. Karenanya, loyalitas dan rasa kebanggsaan mereka terhadap negara masih sering digunjingkan.5 Terkadang etnis Tionghoa ini diberi julukan animal economy atau serigala ekonomi.11
Pandangan yang telah memasuki kawasan sensitif ini jelas sama sekali tidak menguntungkan. Dalam situasi tertentu, perbedaan yang dimiliki oleh dua komunitas tersebut terasa lebih tajam dan sering dijadikan alasan mengembangkan rasa kecurigaan dan tuduhan. Ketika masyarakat pribumi tidak puas terhadap situasi yang ada, komunitas keturunan dapat dengan mudah menjadi sasaran kecurigaan dan sebagainya. Sebaliknya, tuntutan keadilan ekonomi yang datang dari rakyat kecil sering ditanggapi secara dingin oleh sebagain warga keturunan yang dari segi materi memang sangat berlimpah.6
Memanfaatkan Modalitas
Berbagai uraian dalam upaya pembedahan tersebut diatas memberikan pemahaman secara komprehensif, integral dan holistik bahwa konflik, diskriminasi, dan segala bentuk yang lain, bersumber dari dua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Termasuk pula dalam pemerintah ini aparat militer. Dan termasuk dalam masyarakat tentunya etnis Tionghoa dan pribumi sendiri.
Pada awal tulisan telah kita singgung tentang disahkannya Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Telah dimunculkan pula berbagai pertanyaan yang mencoba “mengingatkan” kita bahwa UU tersebut bukanlah jaminan pasti penyelesaian masalah. Harapan logis adalah UU ini dijadikan sebagai stanting point, penyemangat, ataupun modal utama menuju tingkatan ideal yang diharapkan bersama.
Jelasnya permasalahan pertama yang dihadapi, prosentasenya sudah mulai berkurang. Dapat dilihat secara nyata, pemerintah sudah punya itikad baik
untuk menghapuskan diskriminasi dengan mengeluarkan berbagai aturan. Pemerintah secara tepat mengidentifikasikan bahwa upaya integrasi tetap memerlukan pendekatan politik, dalam arti kebijakan pemerintah dan pelaksanaan yang konsisten di semua lini. Berbagai kasus diskriminasi pasca pengesahan UU Kewarganegaraan memang masih dilakukan oleh jajaran pemerintah pada level bawah seperti dengan masih dipersoalkannya Surat Bukti Kewarganegraan Republik Indonesia (SKBRI).12 Namun itu semua tak perlu membuat pesimistis mengingat hanyalah menyangkut kurangnya sosialisasi yang mestinya terselesaikan seiring berjalannya waktu.
Jaminan lain masih dimiliki, mengingat ke depannya proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan Undang Undang Antidiskriminasi yang akan diprioritaskan. RUU Kependudukan dan Catatan Sipil pun kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang yang berlaku sekarang. Undang-undang terkait kependudukan dan catatan sipil yang berlaku secara kolonial diakui memang bersifat rasial. Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Sangat tepat mungkin apa yang dikatakan Silalahi (2006) bahwa jika ketiga RUU tersebut nantinya disahkan menjadi UU dan juga mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan, secara yuridis formal masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan akan semakin bulat.13
Permasalahan selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah respon positif dari masyarakat terhadap lahirnya berbagai kebijakan kewarganegaraan. Suparlan (2006) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat bahwa cita-cita reformasi yang diperjuangkan mati-matian adalah membangun kembali keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang selama ini telah rusak. Inti dari cita-cita reformasi tersebut membangun masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.1
Acuan utama bagi terwujudnya sebuah masyarakat multikultural Indonesia adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan. Dalam model masyarakat multikultural ditegaskan yang utama adalah menjadi warga negara dan bangsa Indonesia tanpa memperdulikan asal suku-bangsa, ras, agama, dan daerah asal. Hal yang dilihat pada seorang warga adalah kesetiaannya pada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang dapat mensejahterakan diri, komunitasnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.
Arti dari uraian di atas, masyarakat pribumi wajib membuang stigma negatifnya terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat pribumi hendaknya dapat menerima kehadiran etnis Tionghoa secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa. Karena hanya dengan sikap demikian dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman modern ini dan memenuhi tuntutan hak asasi dan dasar negara hukum.13 Pribumi harus menghilangkan kecumburuan sosial-ekonomi dan sebaliknya belajar bersaing secara sehat, belajar maju dan banyak mengambil contoh, membuang metalitet kuno atau bahkan bekerjasama dengan etnis Tionghoa.6 Usulan lain dari Suparlan (2001) adalah membuang istilah orang pribumi ”asli” Indonesia karena pada dasarnya tidak ada pribumi yang asli Indonesia. Semuanya adalah keturunan dari pendatang di Kepulauan Indonesia. Hanya saja nenek moyang kita datang terlebih dahulu daripada nenek moyang etnis Tionghoa.1 Su menyarankan agar masyarakat kembali kepada ajaran agama yang menjunjung prinsip kesetaraan (egalitarianisme) dan membenci setiap bentuk diskriminasi.14
Sebaliknya, etnis Tionghoa jangan sampai mereka hanya menuntut haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Etnis Tionghoa harus memiliki rasa senasib dan sepenanggungan serta solidaritas nasional. Etnis Tionghoa kiranya dapat membangun sikap prososial yang selama ini minim serta memunculkan inspirasi upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.15 Prinsip terpenting adalah mereka harus membuka diri menciptakan peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan pribumi. Mereka juga perlu meninggalkan kecenderungan untuk membuat kelompok-kelompok sosial tersendiri (eksklusif), dan mulai berbaur dengan masyarakat lain secara lebih intensif. Kehadiran mereka mungkin tidak hanya bersifat fisik, diupayakan keterlibatan tersebut juga menyentuh persoalan keseharian yang berkembang dalam masyarakat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membuang budaya negatif memanfaatkan kedekatan dengan aparat pemerintah untuk kepentingan pribadi.16
Epilog
Diakui ataupun tidak, konflik merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari karena konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan suatu masyarakat. Namun dalam pandangan Iskandar,2 konflik merupakan masalah sosial yang tidak diidealkan karena berlawanan dengan integrasi mampun pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rasa aman. Dengan demikian integrasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang final dan terberi, melainkan sebagai sesuatu yang menjadi atau berproses sehingga diperlukan usaha secara terus-menerus untuk mewujudkannya.
Untuk itu perlu diambil saran Lestariana agar berbagai upaya minimalisasi konflik yang dihasilkan diatas dapat sampai kepada sasaran. Internalisasi dan sosialilasi melalui aneka jalur pendidikan (formal, nonformal dan informal), aneka wahana (politik, sosial, ekonomi, budaya), aneka media (cetak maupun elektronik), dan berbagai metode interaktif-partisipatif mutlak perlu dilakukan. 8 Semua itu, asalkan dimanfaatkan secara tepat, memiliki daya dorong yang kuat dalam mecegah konflik sekaligus membangun keharmonisan.
Akhirnya mari kita semua bahu-membahu, terus bekerja keras untuk dapat membangun kembali sebuah “Masyarakat Indonesia Baru” yang diidam-idamkan. Masyarakat Indonesia Baru ini menurut definisi Lembong (2006) ditunjukkan dengan terminimalisasinya berbagai kesenjangan di segala bidang seperti bidang pendidikan, bidang sosial, bidang ekonomi dan bidang lainnya. Harapan selanjutnya adalah tercapainya sebuah bangsa yang “Gemah ripah loh jinawi. Tata tentram kerta rahardja.”. 17
DAFTAR RUJUKAN
1 Suparlan Parsudi. 2006. Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi Warga Negara Keturunan Tionghoa di Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
2 Iskandar, Syaifuddin. Konflik Etnik dalam Masyarakat Majemuk. Malang: UM Press, 2006
3 Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafitti Press.
4Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:LP3ES
5 Mandal. Summit K. 1998. Bukan Sekedar Pembelaan. Makalah. Dipresentasikan pada peluncuran buku Hoakiau karya Pramoedya Ananta Toer yang diadakan bersama oleh Garba Budaya, Komunitas Geni Jakarta dan Jaring di Jakarta tanggal 21 Oktober 1998.
6 Taher, Tarmizi. 1997. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
7 Setiono, Benny G. 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan RI 2006, ”What Next”?. Pikiran Rakyat Edisi Senin, 28 Agustus 2006
8 Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
9 Collins, Elizabeth Fuller. 2002. Indonesia: A Violent Culture? Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604.
10 Liddle, R William. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sidney: ASAA, Allen & Unwin.
11 Greif, Stuart W. 1991. “WNI”: Problematika Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta: Grafitti.
12 Arif, Azanul dan Suhirlan A. 2006. UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif?
Memupus Hantu SBKRI. Jakarta: Yayasan Solidaritas Nusabangsa.
13 Silalahi, Harry Tjan. 2006. Diskriminasi, Kata Lee Kuan Yew. Tempo, Edisi 2 Oktober 2006
14 Su, Tomy. 2007. Mengakhiri Dikotomi Islam-Tionghoa. Jawa Pos Edisi Rabu, 24 Januari 2007
15 Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia.
16 Habib, Achmad. 2006. Dinamika Hubungan Antar Etnik China dan Jawa. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
17 Lembong, Eddie. 2006. Kewarganegaraan serta Prospek Hari Depan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan INTI.
LOMBA KARYA TULIS KECINAAN KE-5 TAHUN 2007
SINOLOGY CENTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
SUBTEMA:
”Kebijakan Kewarganegaraan Indonesia: Perekat Keindonesiaan?”
Disusun Oleh:
Husamah (04330058)
Flashback
Sejak awal berdirinya NKRI, berbagai bentuk kesenjangan antara kelompok yang disebut mayoritas dan minoritas telah menjadi realita yang cukup pelik. Kelompok minoritas memang selalu menjadi pihak terkalahkan sepanjang terjadinya konflik baik vertikal, horizontal, diagonal, maupun bersifat ringan sampai keras. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan.1 Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran.2
Sebenarnya pembicaraan tentang minoritas tidak hanya sebatas etnis Tionghoa atau keturunan Cina saja. Minoritas dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu minoritas pribumi dan minoritas non-pribumi. Minoritas pribumi diwakili oleh suku seperti Batak, Dayak, Papua dan banyak lainnya. Minoritas non-pribumi diwakili etnis Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Belanda dan sebagainya.3 Akan tetapi sangat jelas, sejarah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok adalah terkait dengan etnis Tionghoa ini.4,5 Sementara bentuk kesenjangan terhadap etnis lainnya cenderung tidak kentara dan bahkan sebagian orang menganggap mereka relatif harmonis. Dalam permasalahan tersebut Taher (1997) mencontohkan komunitas Arab. Meskipun sama-sama merupakan warga keturunan asing, komunitas Arab relatif lebih dapat diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia, paling tidak, jika diletakkan dalam konteks integrasi atau pembauran politik dan sosial-budaya.6
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergantinya rezim, peraturan menyangkut dilema minoritas pun dikeluarkan. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diluluskan oleh DPR untuk menggantikan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 pada tanggal 11 Juli 2006 yang lalu. Praktis pengesahan ini disebut-sebut sebagai langkah paling “revolusioner”. UU Kewarganegaan baru tersebut, dianggap sebagai kebijakan kewarganegaraan Indonesia yang mampu menjadi jembatan perekat keindonesiaan serta berhasil menyingkarkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” yang selama berpuluh-puluh tahun menghantui warga negara minoritas.7
Dipandang dengan rasional, anggapan tersebut memang terlalu berlebihan atau malah menjadi euforia mengingat pengesahannya yang baru seumur jagung. Namun terlepas dari masih adanya pasal yang diprotes oleh berbagai kalangan karena dianggap kurang melindungi warga negaranya, sebagai sebuah harapan tentunya sangat wajar guna memunculkan optimisme positif pada komunitas minoritas.
Selanjutnya dengan mulai disosialisasikannya UU ini, di masyarakat Etnis Tionghoa- sebagaimana yang dituliskan Setiono (Pikiran Rakyat, 28/08/2006), timbul berbagai pertanyaan antara lain, apakah dengan adanya UU tersebut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akan benar-benar hilang sepenuhnya dan tidak akan menjadi sasaran teror, amuk massa, dan objek pemerasan lagi? Bagaimana etnis Tionghoa harus menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru ini? Pertanyaan tersebut akan semakin lengkap jika kita menambahkan pertanyaan, bagaimanakah seharusnya pribumi menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan tersebut? Bijaknya, pertanyaan itu harus kita uraikan sehingga sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah/konflik. Langkah berikut ini yang akan dilakukan adalah mencoba membedah anatomi masalah sebagai upaya logis penyelesaian secara ilmiah.
Anatomi Masalah
Setiap ahli sepakat bahwa “sesuatu” yang terjadi pada komunitas minoritas Tionghoa di Indonesia adalah diskriminasi yang berujung pada konflik. Menurut Lestariana (2006) suatu rekomendasi bagi manajemen konflik tidak mungkin dibuat tanpa mengetahui akar konflik.8 Akar konflik dapat dilihat berada di antara dua ujung pendulum. Dengan mengutip Collier dan Hoeffler dan Bank Dunia sangat jelas bahwa konflik terjadi akibat motif ekonomi perorangan atau ketamakan. Sementara J.S. Furnival melihat konflik terjadi karena eksistensi suku-suku yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat, namun tidak bercampur satu sama lain, bahkan terpisah sangat mendalam dari segi budaya. Hanya pasar yang menjadi tempat bertemu suku-suku tersebut, sehingga pengelompokan suku sering tumpang tindih dengan pengelompokan ekonomi.
Pandangan seperti di atas dikemukakan pula oleh Suryadinata (1984), sampai batas tertentu penggolongan suku sejalan dengan pengelompokan ekonomi ternyata masih berlaku karena Etnis Tionghoa sebagai kelompok, pada umumnya masih berstatus kelas menengah (middlemen) dalam masyarakat dan kawasan tempat mereka tinggal. Namun pada umumnya faktor budaya, ekonomi dan politik tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan konflik. Konflik baru terjadi bila perbedaan budaya dan ekonomi dijadikan alat politik. Suryadinata menggarisbawahi, negaralah yang paling berperan memicu konflik serius antarsuku khusunya kerusuhan anti Cina di Asia Tenggara termasuk Indonesia.3 Kondisi ini diperparah dengan adanya pola-pola keterlibatan segmen militer Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa dari Indonesia, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo.7 Adanya keterlibatan militer ini juga diduga memiliki pengaruh besar dalam menciptakan budaya kekerasan di Indonesia.9
Thesis ini didukung oleh Grace Lestariana tetapi dengan mengajukan argumen tambahan bahwa fenomena mengerasnya upaya-upaya separatisme dan sentiment SARA di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai “lakon” juga terkait dengan praktek kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis. Sentral dalam hal ini berarti Jawa, khusunya Jakarta, lebih khusus lagi pada jaringan bisnis birokrat sipil dan militer dengan cukong. Cukong adalah pebisnis Tionghoa yang dilindugi oleh pejabat yang berkuasa dengan imbalan memperoleh keuntungan. Jaringan bisnis birokrat dan pengusaha di Indonesia berdampak pada pelestarian korupsi dan kolusi. Cukong dianggap sebagai pemeran utama dalam jaringan bisnis ini. meskipun mereka tidak melibatkan diri dalam partai politik tertentu, namun mereka memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah.10
Dalam pandangan yang hampir mirip, Taher (1997) menyatakan adanya perasaan tertentu atau ketidaksenangan sebagian kalangan pribumi terhadap warga keturunan Cina bukan semata-mata muncul karena persoalan-persoalan yang bersifat ekonomis. Akan tetapi, adanya rasa curiga dan terbentangnya jarak sosial antara pri-nonpri yang cukup lebar. Dapat pula diakibatkan oleh berkembangnya persepsi tentang perbedaan identitas atau juga karena situasi politik. Demikian pula halnya dengan dengan predikat-predikat pejoratif yang menandai adanya karakter dan sifat anggota komunitas keturunan ini. Tidak jarang mereka dipandang sebagai Homo economicus yang tidak peduli terhadap lingkungan di mana mereka berada. Karenanya, loyalitas dan rasa kebanggsaan mereka terhadap negara masih sering digunjingkan.5 Terkadang etnis Tionghoa ini diberi julukan animal economy atau serigala ekonomi.11
Pandangan yang telah memasuki kawasan sensitif ini jelas sama sekali tidak menguntungkan. Dalam situasi tertentu, perbedaan yang dimiliki oleh dua komunitas tersebut terasa lebih tajam dan sering dijadikan alasan mengembangkan rasa kecurigaan dan tuduhan. Ketika masyarakat pribumi tidak puas terhadap situasi yang ada, komunitas keturunan dapat dengan mudah menjadi sasaran kecurigaan dan sebagainya. Sebaliknya, tuntutan keadilan ekonomi yang datang dari rakyat kecil sering ditanggapi secara dingin oleh sebagain warga keturunan yang dari segi materi memang sangat berlimpah.6
Memanfaatkan Modalitas
Berbagai uraian dalam upaya pembedahan tersebut diatas memberikan pemahaman secara komprehensif, integral dan holistik bahwa konflik, diskriminasi, dan segala bentuk yang lain, bersumber dari dua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Termasuk pula dalam pemerintah ini aparat militer. Dan termasuk dalam masyarakat tentunya etnis Tionghoa dan pribumi sendiri.
Pada awal tulisan telah kita singgung tentang disahkannya Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Telah dimunculkan pula berbagai pertanyaan yang mencoba “mengingatkan” kita bahwa UU tersebut bukanlah jaminan pasti penyelesaian masalah. Harapan logis adalah UU ini dijadikan sebagai stanting point, penyemangat, ataupun modal utama menuju tingkatan ideal yang diharapkan bersama.
Jelasnya permasalahan pertama yang dihadapi, prosentasenya sudah mulai berkurang. Dapat dilihat secara nyata, pemerintah sudah punya itikad baik
untuk menghapuskan diskriminasi dengan mengeluarkan berbagai aturan. Pemerintah secara tepat mengidentifikasikan bahwa upaya integrasi tetap memerlukan pendekatan politik, dalam arti kebijakan pemerintah dan pelaksanaan yang konsisten di semua lini. Berbagai kasus diskriminasi pasca pengesahan UU Kewarganegaraan memang masih dilakukan oleh jajaran pemerintah pada level bawah seperti dengan masih dipersoalkannya Surat Bukti Kewarganegraan Republik Indonesia (SKBRI).12 Namun itu semua tak perlu membuat pesimistis mengingat hanyalah menyangkut kurangnya sosialisasi yang mestinya terselesaikan seiring berjalannya waktu.
Jaminan lain masih dimiliki, mengingat ke depannya proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan Undang Undang Antidiskriminasi yang akan diprioritaskan. RUU Kependudukan dan Catatan Sipil pun kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang yang berlaku sekarang. Undang-undang terkait kependudukan dan catatan sipil yang berlaku secara kolonial diakui memang bersifat rasial. Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Sangat tepat mungkin apa yang dikatakan Silalahi (2006) bahwa jika ketiga RUU tersebut nantinya disahkan menjadi UU dan juga mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan, secara yuridis formal masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan akan semakin bulat.13
Permasalahan selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah respon positif dari masyarakat terhadap lahirnya berbagai kebijakan kewarganegaraan. Suparlan (2006) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat bahwa cita-cita reformasi yang diperjuangkan mati-matian adalah membangun kembali keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang selama ini telah rusak. Inti dari cita-cita reformasi tersebut membangun masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.1
Acuan utama bagi terwujudnya sebuah masyarakat multikultural Indonesia adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan. Dalam model masyarakat multikultural ditegaskan yang utama adalah menjadi warga negara dan bangsa Indonesia tanpa memperdulikan asal suku-bangsa, ras, agama, dan daerah asal. Hal yang dilihat pada seorang warga adalah kesetiaannya pada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang dapat mensejahterakan diri, komunitasnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.
Arti dari uraian di atas, masyarakat pribumi wajib membuang stigma negatifnya terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat pribumi hendaknya dapat menerima kehadiran etnis Tionghoa secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa. Karena hanya dengan sikap demikian dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman modern ini dan memenuhi tuntutan hak asasi dan dasar negara hukum.13 Pribumi harus menghilangkan kecumburuan sosial-ekonomi dan sebaliknya belajar bersaing secara sehat, belajar maju dan banyak mengambil contoh, membuang metalitet kuno atau bahkan bekerjasama dengan etnis Tionghoa.6 Usulan lain dari Suparlan (2001) adalah membuang istilah orang pribumi ”asli” Indonesia karena pada dasarnya tidak ada pribumi yang asli Indonesia. Semuanya adalah keturunan dari pendatang di Kepulauan Indonesia. Hanya saja nenek moyang kita datang terlebih dahulu daripada nenek moyang etnis Tionghoa.1 Su menyarankan agar masyarakat kembali kepada ajaran agama yang menjunjung prinsip kesetaraan (egalitarianisme) dan membenci setiap bentuk diskriminasi.14
Sebaliknya, etnis Tionghoa jangan sampai mereka hanya menuntut haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Etnis Tionghoa harus memiliki rasa senasib dan sepenanggungan serta solidaritas nasional. Etnis Tionghoa kiranya dapat membangun sikap prososial yang selama ini minim serta memunculkan inspirasi upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.15 Prinsip terpenting adalah mereka harus membuka diri menciptakan peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan pribumi. Mereka juga perlu meninggalkan kecenderungan untuk membuat kelompok-kelompok sosial tersendiri (eksklusif), dan mulai berbaur dengan masyarakat lain secara lebih intensif. Kehadiran mereka mungkin tidak hanya bersifat fisik, diupayakan keterlibatan tersebut juga menyentuh persoalan keseharian yang berkembang dalam masyarakat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membuang budaya negatif memanfaatkan kedekatan dengan aparat pemerintah untuk kepentingan pribadi.16
Epilog
Diakui ataupun tidak, konflik merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari karena konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan suatu masyarakat. Namun dalam pandangan Iskandar,2 konflik merupakan masalah sosial yang tidak diidealkan karena berlawanan dengan integrasi mampun pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rasa aman. Dengan demikian integrasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang final dan terberi, melainkan sebagai sesuatu yang menjadi atau berproses sehingga diperlukan usaha secara terus-menerus untuk mewujudkannya.
Untuk itu perlu diambil saran Lestariana agar berbagai upaya minimalisasi konflik yang dihasilkan diatas dapat sampai kepada sasaran. Internalisasi dan sosialilasi melalui aneka jalur pendidikan (formal, nonformal dan informal), aneka wahana (politik, sosial, ekonomi, budaya), aneka media (cetak maupun elektronik), dan berbagai metode interaktif-partisipatif mutlak perlu dilakukan. 8 Semua itu, asalkan dimanfaatkan secara tepat, memiliki daya dorong yang kuat dalam mecegah konflik sekaligus membangun keharmonisan.
Akhirnya mari kita semua bahu-membahu, terus bekerja keras untuk dapat membangun kembali sebuah “Masyarakat Indonesia Baru” yang diidam-idamkan. Masyarakat Indonesia Baru ini menurut definisi Lembong (2006) ditunjukkan dengan terminimalisasinya berbagai kesenjangan di segala bidang seperti bidang pendidikan, bidang sosial, bidang ekonomi dan bidang lainnya. Harapan selanjutnya adalah tercapainya sebuah bangsa yang “Gemah ripah loh jinawi. Tata tentram kerta rahardja.”. 17
DAFTAR RUJUKAN
1 Suparlan Parsudi. 2006. Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi Warga Negara Keturunan Tionghoa di Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
2 Iskandar, Syaifuddin. Konflik Etnik dalam Masyarakat Majemuk. Malang: UM Press, 2006
3 Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafitti Press.
4Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:LP3ES
5 Mandal. Summit K. 1998. Bukan Sekedar Pembelaan. Makalah. Dipresentasikan pada peluncuran buku Hoakiau karya Pramoedya Ananta Toer yang diadakan bersama oleh Garba Budaya, Komunitas Geni Jakarta dan Jaring di Jakarta tanggal 21 Oktober 1998.
6 Taher, Tarmizi. 1997. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
7 Setiono, Benny G. 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan RI 2006, ”What Next”?. Pikiran Rakyat Edisi Senin, 28 Agustus 2006
8 Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
9 Collins, Elizabeth Fuller. 2002. Indonesia: A Violent Culture? Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604.
10 Liddle, R William. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sidney: ASAA, Allen & Unwin.
11 Greif, Stuart W. 1991. “WNI”: Problematika Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta: Grafitti.
12 Arif, Azanul dan Suhirlan A. 2006. UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif?
Memupus Hantu SBKRI. Jakarta: Yayasan Solidaritas Nusabangsa.
13 Silalahi, Harry Tjan. 2006. Diskriminasi, Kata Lee Kuan Yew. Tempo, Edisi 2 Oktober 2006
14 Su, Tomy. 2007. Mengakhiri Dikotomi Islam-Tionghoa. Jawa Pos Edisi Rabu, 24 Januari 2007
15 Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia.
16 Habib, Achmad. 2006. Dinamika Hubungan Antar Etnik China dan Jawa. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
17 Lembong, Eddie. 2006. Kewarganegaraan serta Prospek Hari Depan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan INTI.
Diskusi Agama Diwarnai Kericuhan
Penulis: Sidik Pramono (Media Indonesia)JAKARTA--MI: Kericuhan mewarnai diskusi keagamaan yang digelar dalam rangka memperingati 100 Tahun Buya Hamka, di aula Masjid Raya Al Azhar, Sentra Primer, Jakarta Timur, Sabtu (23/2).
Kericuhan dalam diskusi yang mengusung tema 'Aliran Sesat, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Solusinya' tersebut dipicu pernyataan, Ahmad Sidiq, seorang yang hadir dalam acara itu bahwa diskusi tidak berjalan imbang karena hanya menyudutkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
"Peserta diskusi hanya mengecap umat Ahmadiyah sesat dan minta dibubarkan. Tapi, umat Ahmadiyah tidak bisa minta umat Islam lain dibubarkan," ujarnya.
Walau sudah diminta moderator untuk mengajukan pertanyaan dan bukan pernyataan, Ahmad Sidiq tetap mengungkapkan pandangannya soal Ahmadiyah. Akibatnya peserta diskusi lain marah dan berusaha menyerang Sidiq. Beruntung petugas keamanan dengan sigap menyelamatkan Sidiq.
Petugas Polsek Cakung yang bertugas dalam acara tersebut langsung mengamankan Sidiq dan ayahnya, Mustahdi yang sempat tertahan di aula masjid. (Dik/OL-06)
Kericuhan dalam diskusi yang mengusung tema 'Aliran Sesat, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Solusinya' tersebut dipicu pernyataan, Ahmad Sidiq, seorang yang hadir dalam acara itu bahwa diskusi tidak berjalan imbang karena hanya menyudutkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
"Peserta diskusi hanya mengecap umat Ahmadiyah sesat dan minta dibubarkan. Tapi, umat Ahmadiyah tidak bisa minta umat Islam lain dibubarkan," ujarnya.
Walau sudah diminta moderator untuk mengajukan pertanyaan dan bukan pernyataan, Ahmad Sidiq tetap mengungkapkan pandangannya soal Ahmadiyah. Akibatnya peserta diskusi lain marah dan berusaha menyerang Sidiq. Beruntung petugas keamanan dengan sigap menyelamatkan Sidiq.
Petugas Polsek Cakung yang bertugas dalam acara tersebut langsung mengamankan Sidiq dan ayahnya, Mustahdi yang sempat tertahan di aula masjid. (Dik/OL-06)
22 Februari 2008
Peranan Studi Genetik dalam Kegiatan Konservasi
Posted on November 2, 2007 by vetopia
Peranan Studi Genetik dalam Kegiatan Konservasi
Drh. Chandramaya Siska Damayanti, MSi
“Alam di seluruh permukaan bumi tersusun atas berbagai spesies makhluk hidup liar yang tanpa disadari telah memberikan berbagai kemudahan dan pelayanan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang bisa jadi sangat mahal atau bahkan tidak mungkin diciptakan sendiri oleh manusia. Berkurangnya jumlah spesies liar di alam dalam jangka panjang dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.”
Keanekaragaman hayati (biodiversity) dibagi menjadi tiga kategori dasar, yaitu keragaman genetik, keragaman spesies,dan keragaman ekosistem.
Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam setiap spesies yang mencakup aspek biokimia, struktur, dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA.
Keragaman spesies merupakan variasi seluruh tumbuhan, hewan, fungi, dan mikroorganisme yang masing-masing bertumbuh dan berkembangbiak sesuai dengan karakteristiknya.
Keragaman ekosistem merupakan variasi ekosistem, dimana ekosistem adalah unit ekologis yang mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan antar komponen-komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi.
Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati tersebut, dimana saat ini kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak hanya mengurangi populasi spesies hewan dan tumbuhan, tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah. Ilmu konservasi mempelajari individu dan populasi yang sudah terpengaruh oleh kerusakan habitat, eksploitasi, dan perubahan lingkungan. Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan tersebut karena, dengan studi genetik, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui.
Perkembangan teknik molekuler seperti penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai DNA hingga mencapai konsentrasi tertentu, penggunaan untai DNA lestari sebagai marker dalam proses PCR, penemuan lokus mikrosatelit yang hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA, telah menyebabkan ilmu genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi biologi suatu populasi.
Terobosan-terobosan ini, bersamaan dengan berkembangnya teknik pemodelan matematika melalui program-program komputer, telah mempermudah para peneliti untuk mendapatkan data genetik suatu populasi yang sangat berguna dalam merancang program konservasi suatu spesies tertentu. Penerapan studi genetik dalam permasalahan konservasi didasari oleh teori genetika populasi.
Genetika populasi merupakan salah satu cabang ilmu biologi populasi yang mempelajari tentang faktor-faktor yang menentukan komposisi genetik suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor tersebut berperan dalam proses evolusi. Genetika populasi juga meliputi studi terhadap berbagai faktor yang membentuk struktur genetik suatu populasi dan menyebabkan perubahan-perubahan evolusioner suatu spesies sepanjang waktu. Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi pada suatu populasi, yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi alam, genetic drift, gene flow, dan perkawinan yang tidak acak. Faktor-faktor tersebut akan memepengaruhi keragaman genetik pada suatu populasi.
Prinsip utama dalam genetik populasi adalah prinsip Hardy-Weinberg. Prinsip Hardy-Weinberg menduga bahwa, dalam kondisi tertentu, frekuensi alel dan genotipe akan tetap konstan dalam suatu populasi, dan keduanya saling berhubungan satu sama lain. Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksud dalam prinsip Hardy-Weinberg ini meliputi : 1) kawin secara seksual dan acak, 2) tidak ada seleksi alam, 3) kejadian mutasi diabaikan, 4) tidak ada individu yang masuk atau keluar dari suatu populasi, dan 5) ukuran populasi yang cukup besar. Jika kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai populasi yang berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium). Penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg ini merupakan dasar untuk mendeteksi kejadian inbreeding, fragmentasi populasi, migrasi, dan seleksi.
Memahami dan mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam. Sebagai contoh, suatu populasi dengan keragaman genetik yang rendah dapat kita umpamakan sebagai suatu kelompok individu yang saling bersaudara satu sama lain. Sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di dalam kelompok tersebut akan merupakan perkawinan antar saudara (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan menyebabkan suatu individu menjadi sensitif terhadap patogen.
Dengan mengetahui status genetik suatu populasi, kita dapat merancang program konservasi untuk menghindari kepunahan suatu spesies. Misalnya dengan memasukkan individu baru yang berasal dari populasi yang memiliki keragaman genetik yang tinggi ke dalam populasi dengan keragaman genetik yang rendah (istilahnya : memasukkan darah baru atau darah segar ke dalam suatu populasi) untuk menghindari kejadian inbreeding. Atau tindakan-tindakan konservasi lainnya seperti menjadikan wilayah yang dihuni oleh populasi spesies dengan keragaman genetik yang tinggi sebagai taman nasional? (Ahli manajemen konservasi tentu lebih paham tentang hal ini). Segala usaha yang dilakukan tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mempertahankan keragaman genetik pada suatu populasi spesies untuk mempertahankan keberadaannya di alam di masa yang akan datang.
Dari berbagai Sumber
Drh. Chandramaya Siska Damayanti, MSi
sumber foto: http://www.flickr.com/photos/
Langganan:
Postingan (Atom)