(Dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Sabtu, 01 Juli 2006)
Judul: Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam
Penulis: Subhan Mas
Pengantar: Prof. Dr. Syafig A. Mughni, MA.
Penerbit: Al Hikmah/Oktober 2005
Tebal:xxxii+212 hlm
Presensi: Husamah*
Menyamakan Muhammadiyah dengan Kristen Protestan bisa jadi dalam pandangan beberapa kalangan sebagai bentuk pengaburan atau bahkan pelecehan terhadap agama khususnya Islam. Akan tetapi, jika mau terbuka, maka bisa jadi semua pihak akan kompak mengatakan bahwa itulah realita yang ada. Bedanya, mungkin dalam perkembangannya Kristen Protestan telah menjelma menjadi agama terpisah dari Agama Kristen Katolik. Semetara Muhamdiyah tetap memegang teguh bahwa mereka bukanlah agama baru melainkan bentuk pemahaman “modernism” Islam dan “realism” Islam.
Karakteristik gerakan utama Muhammadiyah adalah komitmen untuk meneguhkan semangat kemajuan rasionalitas keagamaan. Entitas seminasi disiplin “karakter reformasi” tidak lepas dari besarnya kepribadian pendirinya (Ahmad Dahlan), yang ditunjukkan dengan adanya sikap-sikap formasinya dalam mengikat identitas reformasi Islam puritan, yang pada awal berdirinya, kontinuitas kesadaran rasional itu (penduduuk Indonesia), tidak menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai supremasi untuk melakukan penetapan-penetapan citra positif kebebasan dalam mengapresiasi kawasan-kawasdan dogma sebagai produk zaman. Pada wilayah ini pula, istilah agama sebagai “candu atau agama mematikan akal” secara genetis melahirkan proyeksi sejarah reformasi gerakan Protestan Puritan dengan semangat rasionalitas keagmaannya pada abad ke-16 dan 17, menjadi ikon modernisasi agama Kristem Protestan. Dan inipun menjadi pendorong untuk memprakarsasi gerakan pemurnian dengan tokoh pembaharu Martin Luther dan Johannes Calvin.
Bentuk ijtihad ini merupakan proses yang sangat hakiki dimana, hanya Bibel sebagai sumber pemikiran, sebagimana halnya Ahmad Dahlan hanya Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber inspirasinya dalam peneguhan karakteristik dan kemajuan semangat rasionalitas keagamaan dalam Muhammadiyah. Rasionalitas itu dalam etika Calvinis maupun Dahlanis menandai babak kritsisme protestan ethic maupun Muhammadiyah ethic untuk merasionalisasi doktrin dan perilaku hidup.
Masih banyak lagi kesamaan-kesamaan yang berelasi kuat antara gerakan reformasi pemahaman Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan dengan geerakan pencerahan pemahaman Kristen Protestan yang akan kita temui dalam penjelajahan buku ini. Namun perlu diingat hal ini hanya menyangkut pada tatanan sosiologis dan bukan teologis sebagaimana komentar Prof. Dr. Syafiq Mughni dalam pengantar buku ini.
Satu fakta yang perlu dicatat,dalam buku ini tulisan Max Weber merupakan sumber kekuatan imajinatif. Dengan kata lain, buku yang terdiri dari tujuh Bab ini mencoba melihat sejauh mana teori Weber dapat berlaku pada gerakan Muhammadiyah itu. Apa yang diinginkan Weber adalah menjelaskan korealsi antara aplikasi etika Protestan dan munculnya Kapitalisme. Namun sayangnya, Weber hanya mempelajari dan mengkaji agama-agama besar dunia tapi dalam hal ini Islam merupakan pengecualian.
Untungnya, walau tidak berlebihan, karya agung intelektual The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber (1958), mampu memberi arti penting bagi literer tafsir kontemporer Islam “kemanusiaan” yang harus lebih dimodifikasi ke arah operasionalisme metodologi rahmatan lil alamin yang toleran, ramah, santun, intelektualis, dinamis, bebas, demokratis, reformis, beretos, dan berkesadaran plural, sebagai wujud senmakin cerdasnya manusia mendekati Qur’an dengan segala bentuk kreativitasnya, maka semakin cerdas pula Qur’an memberi jawaban terhadap persoalan dan dinamikanya.
Karya Subhan Mas yang tertuang dalam crisis of reformasi Islam ini tentunya mencoba mnelakukan reproduksi dengan arah baru sebagai ruang untuk menjelajah ke sebuah medan dan angkasa rasionalitas intelektualisme sebagai peneguhan kekuasaan sejarah. Penulis buku ini pun merasa bahwa munculnya fundamentalisme mitologisasi dan sakralisasi dalam Islam merupakan defensive cultural response yang seharusnya diposisikan sebagai kekayaan imajinatif terhadap semua bentuk perubahan structural dalam beragama (Islam), politik, dan juga ekonomi global. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya Islam dapat berpartisipasi untuk mensterilkan pijakan-pijakan yang sama dengan negara-negara barat bahwa jiwa Islam adalah pluralisme dan tidak menjadi penghambat bagi sekulerisasi intelektual sebagai kekuatan peradabannya.
Oleh : Husamah, Redaksi Pelaksana Majalah “Spora” Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar