(Surya Edisi 4 Juni 2008)
Oleh: Husamah
(Ketua Forum Diskusi Ilmiah UMM)
Jawa Timur telah mencatat sejarah dirinya dengan berbagai kejadian bencana akibat kerusakan lingkungan. Beberapa contoh dapat kemabli kita ingat seperti banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo yang merendam beberapa kabupaten, banjir di Tulungagung, Trenggalek dan Kediri, tanah longsor di Jember, Trawas dan Ponorogo.
Jika ingin jujur, semua itu terjadi akibat lalainya para pemimpin dalam mengelolaan sumberdaya alam. Sayangnya, terlalu sering para pemimpin itu membela diri dan terkadang memunculkan opini yang justru menyesatkan masyarakat. Dampak-dampak kerusakan yang memakan korban jiwa sepertinya tidak mampu membuat pemimpin merubah pola kebijakan yang mengedepankan kepentingan ekonomi dan pemilik modal. Sulit rasanya membuat mereka sadar tentang bahaya laten kerusakan lingkungan.
Menurut Cahyadi (2008) orientasi Pemprov Jawa Timur untuk meningkatkan investasi melalui industrialisasi yang mengorbankan lingkungan sudah melenceng dari tujuan pembangunan berkelanjutan, karena seharusnya industrialisasi yang dikembangkan saat ini tidak merampas kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kualitas sumberdaya alam yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Momen pemilihan gubernur Jawa Timur bulan Juli 2008 ini semestinya menjadi ajang untuk mencari dan menyeleksi pemimpin yang pro lingkungan hidup. Hal ini harus dilakukan, seperti yang dikatakan Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur, HA Latief Burhan, bahwa Jawa Timur perlu merevitalisasi (menghidupkan kembali) komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi peduli terhadap kelestarian lingkungan atau berwawasan lingkungan.
Revitalisasi komitmen tersebut diperlukan, karena kerusakan lingkungan saat ini semakin marak, bukan hanya apa yang telah disebutkan di awal tetapi misalnya kerusakan hutan dan sumber air, ekosistem pesisir dan laut serta kerusakan lingkungan perkotaan. Lingkungan hidup merupakan aspek vital, jika rusak dampaknya sangat besar terhadap kehidupan. Sehingga untuk memperbaikinya dibutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.
Akhirnya sudah saatnya para kandidat baik dari generasi baru maupun generasi lama yang umumnya dibesarkan pada masa politik Indonesia yang menghamba pada kekuatan eksploitatif destruktif sumberdaya alam membuktikan dirinya pro lingkungan hidup. Tapi jangan pula menjadikan lingkungan hidup sebagai ajang tebar pesona dan mempolitisir lingkungan untuk menarik keuntungan dalam pemilihan gubernur (pilgub). Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar