Media Indonesia 6 Juni 2008
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Biologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Kekerasan atas nama agama rasanya tidak pernah sepi dari negara yang mengaku majemuk ini. Buktinya, kejadian terakhir yang memilukan yaitu penyerangan oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) terhadap aktivis Aliansi Kebangsaaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monumen Nasional (Monas) beberapa waktu lalu.
Tindakan tersebut jelas telah mengusik keharmonisan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Beberapa pengamat mensinyalir bahwa munculnya kekerasan sebagai dampak dari radikalisme agama yang belakangan juga kuat menggejala bahkan semakin subur.
Bagaimanapun, secara tipikal, meminjam istilah Azumardi Azra, pelaku ancaman dan kekerasan telah menganggap kelompok Islam lainnya sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menulis bahwa seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Apakah pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.
Ironisnya, kejadian seperti ini mendorong sebagian umat Islam di Indonesia sekarang untuk memandang Islam sebagai agama yang melegitimasi dan mengajurkan tindak kekerasan. Bahkan pesantren yang sejatinya merupakan gerbang Ilmu agama Islam juga ditenggarai ikut berperan dalam membentuk sikap radikal dan melegitimasi aksi kekerasan. Beberapa pesantren justru dicurigai sebagai 'sarang' radikalisme agama dan basis latihan 'teroris'.
Tentunya kita semua mencatat bahwa tragedi kekerasan, brutalisme, barbarianisme dan apapun istilahnya ini terasa sangat naïf terjadi di negara hukum yang melindungi hak dan menjamin kebebasan keyakinan dan kepercayaan setiap warganya. Ini jelas sudah melnggar UUD 1945 dan mengarah ke kriminal.
Lalu bagaimana solusi jitu mengatasi permasalahan ini? Menurut saya, minimal ada tiga poin penting yang perlu dilakukan. Pertama, harus selalu ditanamkan konsep tunggal kebenaran dimana apapun alasannya, tindakan di atas jelas bertentangan dengan Islam rahmatan lil 'alamin. Islam yang dalam bahasa arab sendiri mengandung makna kedamaian dan ketenangan. Oleh sebab itu, Islam sangat melarang dan mencela umatnya untuk melakukan kekerasan dan perusakan di muka bumi (QS. 2:195).
Kedua, membudayakan dialog-dialog pruduktif dan konstruktif. Jangan sampai dialog hanya terjadi pada lapisan atas. Sudah saatnya para tokoh agama mulai memelopori dialog yang melibatkan menengah ke bawah (akar rumput). Belajar dari pengalaman, tindakan anarkis lebih banyak dilakukan oleh kalangan bawah yang memiliki pemahaman setengah-setengah atau bahkan dangkal, yang terkadang dengan mudah dihasut atau dipolitisir.
Ketiga, tugas negara adalah menjamin kebebasan dan melindungi warganya. Pemerintah tidak boleh ragu dan bingung menindak pelaku kekerasan. Pihak berwajib harus segera menghentikan dan memproses secara adil terhadap siapapun yang melanggar. Jika hal itu tidak di lakukan, bukan tidak mungkin tragedi-tragedi serupa akan terus berlangsung dan semakin parah. Bukan tidak mungkin pula hal ini bisa berbalik, ketika kelompok yang sekarang menjadi minoritas dikemudian hari menjadi mayoritas, mereka akan membalas. Ini sangat mengerikan. Selain itu, dengan tidak menindak pelaku berarti menghalalkan bentuk diskriminasi terhadap warga lainnya. Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar