14 Agustus 2008

Hukuman Mati masihkah Relevan?


Dimuat di Media Indonesia Minggu, 03 Agustus 2008

Pro-kontra masalah pemberlakuan hukuman mati kembali bergulir. Hal itu terjadi setelah dilakukannya eksekusi terhadap terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng serta Ahmad Suradji beberapa waktu lalu. Banyak pihak menganggap hukuman mati inkonstitusional dan melanggar HAM. Pihak lain yang dimotori pemerintah berbeda pendapat dengan menganggap hukuman mati menjadi bagian hukum (pidana) positif Indonesia. Karena itu, masih relevan untuk dilaksanakan.

Ketua Komnas HAM Abdul Hakim berpendapat hak hidup adalah hak konstitusional. Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup dan meningkatkan taraf hidupnya (1/9/2004). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah menghapuskan pemberlakuan hukuman mati. Hukuman mati dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan hak itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Menurut Adji (2003), Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 secara tegas menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Karena itu, sifatnya non derogable human right atau HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sesuai dengan asas konstitusionalitas, legalitas produk hukum positif di atas yang masih mempertahankan hukuman mati seharusnya menyesuaikan dengan amendemen konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori berdasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III/MPR/2000, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.

Saat ini, sejumlah negara seperti Australia telah menghapus hukuman mati. Laporan 2000 mencatat, 74 negara menerapkan penghapusan metode hukuman mati bagi segala jenis tindak kriminalitas, 11 negara menghapuskan metode hukuman mati untuk tindak kriminalitas murni, 38 negara menghapuskan hukuman mati dalam praktiknya, dan sisa hanya 71 negara yang tetap menerapkan proses hukuman mati (Mulia, 2008). Di Filipina, hukuman mati baru boleh diberlakukan bila kejahatan dianggap sangat serius dan ada alasan yang memaksa. Di Belanda, sistem hukuman mati berubah sejalan perubahan kebijakan negara tentang hukuman mati yang kini tidak dikenal dalam sistem hukum pidananya. Negara-negara tersebut menghapus hukuman mati

sebagai implementasi deklarasi universal tentang HAM.
Jelas, jenis hukuman purba dan biadab itu tidak relevan lagi bagi manusia yang semakin beradab dan semakin menghargai hak asasi. Menurut Mulia (2007), sedikitnya ada delapan alasan mengapa perlu penghapusan hukuman mati.

Pertama, hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan yang mengajarkan pentingnya merawat kehidupan sebagai anugerah terbesar dari Tuhan Sang Pencipta. Dalam Islam, misalnya, seluruh ajarannya memihak kepada penghargaan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik dan sempurna. Hukuman mati berarti pelecehan terhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tidak satu pun berhak mengakhiri hidup manusia, kecuali Sang Pencipta.

Kedua, hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Studi mendalam mengenai latar belakang dan penggunaan hukuman mati di dunia menunjukkan dewasa ini hukuman mati dilakukan di negara-negara yang kurang demokratis. Karena
itu, penting memahami mengapa kebanyakan negara demokrasi menghapuskan hukuman mati.
Ketiga, hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pelaksanaan hukuman mati selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non derogable) dalam kehidupan manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia.

Keempat, hukuman mati hanya sebagai alat penindasan. Sejarah panjang penggunaan hukuman mati membuktikan itu lebih sering dipakai sebagai alat penindasan terhadap kelompok-kelompok kritis, prodemokrasi, yang dituduh sebagai pemberontak,
demi merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan. Contoh nyata kasus-kasus hukuman mati terhadap pemberontak di Hongaria, Taiwan, Somalia, dan Suriah.

Kelima, hukuman mati hanya sebagai tindakan pembalasan dendam politik. Lihat saja apa yang terjadi dengan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan (dieksekusi 4 April 1979 karena divonis membunuh lawan politiknya). Jadi, alasannya sangat politis. Bukan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan.

Keenam, hukuman mati sangat sering dijatuhkan pada orang yang tidak terbukti bersalah. Pelaksanaan hukuman mati sering dilakukan secara ceroboh, tanpa tanda bukti sama sekali. Ironisnya, hukuman mati lebih banyak diberlakukan pada orang-orang kecil yang tidak bisa membayar pengacara yang kuat.

Ketujuh, hukuman mati sering digunakan sebagai cara yang paling efektif untuk menghilangkan jejak penting dalam suatu perkara atau penghilangan tanda bukti dalam kasus intelijen.

Kedelapan, hukuman mati ternyata tidak membuat pelaku kejahatan berkurang atau menjadi jera. Studi mendalam terhadap negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati membuktikan angka kriminalitas di negara-negara tersebut meningkat setiap tahun secara signifikan.
Akhirnya, penulis sependapat dengan rilis pers Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) No.01/Elsam/X/07, 8 Oktober 2007. Pemerintah sebaiknya melakukan review atau assessment atas kebijakan hukuman mati ini.

Pemerintah juga perlu melakukan moratorium terhadap hukuman mati yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, dengan memberikan upaya grasi secara luas atas permohonan dari para terpidana hukuman mati dan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup. Kedua, menghentikan rencana pembuatan regulasi yang memberi kesempatan untuk melakukan praktik hukuman mati. Ketiga, melakukan amendemen-amendemen secara bertahap atau secara luas terhadap aturan pidana yang memiliki ancaman hukuman mati, sesuaikan dengan amanat konstitusi RI. Keempat, mendorong Mahkamah Konstitusi sebagai garda penjaga bagi penggunaan hukuman mati dengan cara me-review seluruh aturan pidana mati yang ada di Indonesia.

Oleh: Husamah
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Usya_bio@yahoo.com


Sumber foto:www.funny-potato.com/.../april-fool.jpg

Tidak ada komentar: