14 Agustus 2008
Kolaborasi Membangun Pulau-Pulau Kecil
(Dimuat di Media Indonesia Senin 11 Agustus 2008)
Oleh: Husamah (Mahasiswa Unmuh Malang)
Sejak penetapan UNCLOS 1982 dan diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini adalah laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah.
Laut Indonesia beserta pulau-pulaunya memiliki sumberdaya dapat pulih (renewable resources), seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya pantai (tambak) dan marikultur, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut. Demikian halnya dengan sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak, gas bumi, dan mineral serta jasa-jasa lingkungan yang meliputi energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Dengan perkataan lain, sebagai mana menurut Dahuri (1999), dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa kelautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka sekaligus meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Sayangnya, sumberdaya itu belum dimanfaatkan secara optimal bahkan terkesan diabaikan dan luput dari perhatian.
Salah satu sumber daya kelautan tersebut adalah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar. Pulau-pulau kecil terkadang hanya dijadikan komoditas politis dengan janji-janji setiap pejabat pusat maupun daerah. Pulau kecil yang diperkirakan memiliki potensi tinggi mencapai 10.000 buah (Wiyana dkk, 2004). Sampai saat ini hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama. Sementara pulau terluar yang berjumlah 92 buah dan berbatasan dengan 10 negara sangat mungkin menimbulkan konflik karena kurang diperhatikan dan sepi pembangunan.
Pulau-pulau kecil bukan sekadar onggokan tanah di tengah laut yang tidak ada guna. Pulau-pulau terluar memiliki potensi ekonomis. Contohnya, Pulau Sipadan dan Ligitan, pulau kecil terluar Indonesia yang akhirnya dimiliki Malaysia. Kedua pulau itu kini berkembang menjadi kawasan wisata yang digandrungi turis mancanegara.
Kebijakan pembangunan kelautan untuk menangani pulau-pulau kecil dan terluar terluar merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Menurut penulis, kebijakan tersebut idealnya sejalan dengan semangat otonomi daerah yang menuntut keterlibatan berbagai pihak terutama masyarakat dalam pengelolaanya (kolaborasi). pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik. Namun demikian tetap dibutuhkan dukungan pihak lain. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dukungan dari perguruan tinggi, LSM, bahkan investor masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, pengawasan dan sumber modal (Zulkifli, 2003). Pengalaman menarik dalam pengelolaan pulau kecil di Filipina, yakni San Salvador Island dapat dijadikan bahan komparasi. Pendekatan pengelolaan di daerah ini menggunakan konsep kolaborasi manajemen (collaboration management) yang melibatkan berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah lokal, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat.
Manajemen kolaboratif bertujuan agar kegiatan pengelolaan sebagai hak dan kewajiban masyarakat juga merupakan gerakan masyarakat dalam arti luas. Artinya, manajemen kolaboratif adalah gerakan terpadu antara program pemerintah dengan gerakan masyarakat. Dalam aplikasinya, manajemen kolaboratif hendaknya juga memperhatikan transfer pengetahuan dan teknologi sebagai suatu proses pembelajaran sosial bagi masyarakat dalam menggalang aksi kolektif.
Manajemen kolaboratif yang didasarkan prinsip good resource management governance yaitu partisipatif, transparan dan akuntabel sekaligus akan mengurangi banyaknya kendala pengembangan pulau-pulau kecil yang diajukan Kusumastanto (2003). Pertama, ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), menyebabkan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, serta sumberdaya manusia yang handal yang mau bekerja di lokasi tersebut jumlahnya sedikit. Kedua, kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi, sehingga turut menghambat pembangunan. Ketiga, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang pada gilirannya menentukan daya dukung (carrying capacity) suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan. Keempat, produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir saling terkait satu sama lain. Kelima, budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.
Terbukanya pintu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis jelas merupakan anugerah. Sementara itu, munculnya model kolaborasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil akan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), sehingga dapat menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dalam pembangunan nasional secara terus-menerus. Selain itu juga, pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil dapat mengurangi kesenjangan (gap) pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.
Pendapat ini bukan tanpa alasan. Pengelolaan wisata bahari pulau-pulau kecil misalnya merupakan hal yang menjanjikan. Diperkirakan dalam kurun waktu 2004-2024 wisatawan yang akan mengunjungi obyek-obyek wisata bahari akan mengalami peningkatan secara signifikan. Hasil studi PKSPL-IPB (1999) tentang proyeksi perkembangan pariwisata bahari menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan, prospek pariwisata bahari akan mampu memberikan devisa sebesar US$ 26,56 miliar, yakni untuk turis mancanegara US$ 13,76 miliar dan domestik US$ 12,8 miliar. Dengan kunjungann wisatawan dalam kurun waktu tersebut yang diperkirakan mencapai sekitar 97,01 juta orang, harus disediakan kamar sebanyak 255.330 buah.
Akhirnya, pertanyaan menarik perlu kita munculkan. Apakah bangsa ini masih akan mengabaikan pembangunan pulau-pulau kecil? Semoga wacana ini menjadi salah satu wahana penyadaran. Wallahu’alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
gimana kabarnya bos??? FDI gimana? udah jadi UKM blon? sukses terus ya... salam buat yanur, sis, pa agus, dll.
Posting Komentar