23 Februari 2008

KEBIJAKAN KEWARGANEGARAAN, MODALITAS MINIMALISASI KONFLIK

JUARA II
LOMBA KARYA TULIS KECINAAN KE-5 TAHUN 2007
SINOLOGY CENTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
SUBTEMA:
”Kebijakan Kewarganegaraan Indonesia: Perekat Keindonesiaan?”


Disusun Oleh:
Husamah (04330058)



Flashback

Sejak awal berdirinya NKRI, berbagai bentuk kesenjangan antara kelompok yang disebut mayoritas dan minoritas telah menjadi realita yang cukup pelik. Kelompok minoritas memang selalu menjadi pihak terkalahkan sepanjang terjadinya konflik baik vertikal, horizontal, diagonal, maupun bersifat ringan sampai keras. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan.1 Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran.2

Sebenarnya pembicaraan tentang minoritas tidak hanya sebatas etnis Tionghoa atau keturunan Cina saja. Minoritas dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu minoritas pribumi dan minoritas non-pribumi. Minoritas pribumi diwakili oleh suku seperti Batak, Dayak, Papua dan banyak lainnya. Minoritas non-pribumi diwakili etnis Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Belanda dan sebagainya.3 Akan tetapi sangat jelas, sejarah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok adalah terkait dengan etnis Tionghoa ini.4,5 Sementara bentuk kesenjangan terhadap etnis lainnya cenderung tidak kentara dan bahkan sebagian orang menganggap mereka relatif harmonis. Dalam permasalahan tersebut Taher (1997) mencontohkan komunitas Arab. Meskipun sama-sama merupakan warga keturunan asing, komunitas Arab relatif lebih dapat diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia, paling tidak, jika diletakkan dalam konteks integrasi atau pembauran politik dan sosial-budaya.6

Seiring dengan perkembangan zaman dan bergantinya rezim, peraturan menyangkut dilema minoritas pun dikeluarkan. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diluluskan oleh DPR untuk menggantikan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 pada tanggal 11 Juli 2006 yang lalu. Praktis pengesahan ini disebut-sebut sebagai langkah paling “revolusioner”. UU Kewarganegaan baru tersebut, dianggap sebagai kebijakan kewarganegaraan Indonesia yang mampu menjadi jembatan perekat keindonesiaan serta berhasil menyingkarkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” yang selama berpuluh-puluh tahun menghantui warga negara minoritas.7
Dipandang dengan rasional, anggapan tersebut memang terlalu berlebihan atau malah menjadi euforia mengingat pengesahannya yang baru seumur jagung. Namun terlepas dari masih adanya pasal yang diprotes oleh berbagai kalangan karena dianggap kurang melindungi warga negaranya, sebagai sebuah harapan tentunya sangat wajar guna memunculkan optimisme positif pada komunitas minoritas.

Selanjutnya dengan mulai disosialisasikannya UU ini, di masyarakat Etnis Tionghoa- sebagaimana yang dituliskan Setiono (Pikiran Rakyat, 28/08/2006), timbul berbagai pertanyaan antara lain, apakah dengan adanya UU tersebut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akan benar-benar hilang sepenuhnya dan tidak akan menjadi sasaran teror, amuk massa, dan objek pemerasan lagi? Bagaimana etnis Tionghoa harus menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru ini? Pertanyaan tersebut akan semakin lengkap jika kita menambahkan pertanyaan, bagaimanakah seharusnya pribumi menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan tersebut? Bijaknya, pertanyaan itu harus kita uraikan sehingga sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah/konflik. Langkah berikut ini yang akan dilakukan adalah mencoba membedah anatomi masalah sebagai upaya logis penyelesaian secara ilmiah.

Anatomi Masalah
Setiap ahli sepakat bahwa “sesuatu” yang terjadi pada komunitas minoritas Tionghoa di Indonesia adalah diskriminasi yang berujung pada konflik. Menurut Lestariana (2006) suatu rekomendasi bagi manajemen konflik tidak mungkin dibuat tanpa mengetahui akar konflik.8 Akar konflik dapat dilihat berada di antara dua ujung pendulum. Dengan mengutip Collier dan Hoeffler dan Bank Dunia sangat jelas bahwa konflik terjadi akibat motif ekonomi perorangan atau ketamakan. Sementara J.S. Furnival melihat konflik terjadi karena eksistensi suku-suku yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat, namun tidak bercampur satu sama lain, bahkan terpisah sangat mendalam dari segi budaya. Hanya pasar yang menjadi tempat bertemu suku-suku tersebut, sehingga pengelompokan suku sering tumpang tindih dengan pengelompokan ekonomi.

Pandangan seperti di atas dikemukakan pula oleh Suryadinata (1984), sampai batas tertentu penggolongan suku sejalan dengan pengelompokan ekonomi ternyata masih berlaku karena Etnis Tionghoa sebagai kelompok, pada umumnya masih berstatus kelas menengah (middlemen) dalam masyarakat dan kawasan tempat mereka tinggal. Namun pada umumnya faktor budaya, ekonomi dan politik tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan konflik. Konflik baru terjadi bila perbedaan budaya dan ekonomi dijadikan alat politik. Suryadinata menggarisbawahi, negaralah yang paling berperan memicu konflik serius antarsuku khusunya kerusuhan anti Cina di Asia Tenggara termasuk Indonesia.3 Kondisi ini diperparah dengan adanya pola-pola keterlibatan segmen militer Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa dari Indonesia, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo.7 Adanya keterlibatan militer ini juga diduga memiliki pengaruh besar dalam menciptakan budaya kekerasan di Indonesia.9

Thesis ini didukung oleh Grace Lestariana tetapi dengan mengajukan argumen tambahan bahwa fenomena mengerasnya upaya-upaya separatisme dan sentiment SARA di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai “lakon” juga terkait dengan praktek kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis. Sentral dalam hal ini berarti Jawa, khusunya Jakarta, lebih khusus lagi pada jaringan bisnis birokrat sipil dan militer dengan cukong. Cukong adalah pebisnis Tionghoa yang dilindugi oleh pejabat yang berkuasa dengan imbalan memperoleh keuntungan. Jaringan bisnis birokrat dan pengusaha di Indonesia berdampak pada pelestarian korupsi dan kolusi. Cukong dianggap sebagai pemeran utama dalam jaringan bisnis ini. meskipun mereka tidak melibatkan diri dalam partai politik tertentu, namun mereka memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah.10

Dalam pandangan yang hampir mirip, Taher (1997) menyatakan adanya perasaan tertentu atau ketidaksenangan sebagian kalangan pribumi terhadap warga keturunan Cina bukan semata-mata muncul karena persoalan-persoalan yang bersifat ekonomis. Akan tetapi, adanya rasa curiga dan terbentangnya jarak sosial antara pri-nonpri yang cukup lebar. Dapat pula diakibatkan oleh berkembangnya persepsi tentang perbedaan identitas atau juga karena situasi politik. Demikian pula halnya dengan dengan predikat-predikat pejoratif yang menandai adanya karakter dan sifat anggota komunitas keturunan ini. Tidak jarang mereka dipandang sebagai Homo economicus yang tidak peduli terhadap lingkungan di mana mereka berada. Karenanya, loyalitas dan rasa kebanggsaan mereka terhadap negara masih sering digunjingkan.5 Terkadang etnis Tionghoa ini diberi julukan animal economy atau serigala ekonomi.11

Pandangan yang telah memasuki kawasan sensitif ini jelas sama sekali tidak menguntungkan. Dalam situasi tertentu, perbedaan yang dimiliki oleh dua komunitas tersebut terasa lebih tajam dan sering dijadikan alasan mengembangkan rasa kecurigaan dan tuduhan. Ketika masyarakat pribumi tidak puas terhadap situasi yang ada, komunitas keturunan dapat dengan mudah menjadi sasaran kecurigaan dan sebagainya. Sebaliknya, tuntutan keadilan ekonomi yang datang dari rakyat kecil sering ditanggapi secara dingin oleh sebagain warga keturunan yang dari segi materi memang sangat berlimpah.6

Memanfaatkan Modalitas
Berbagai uraian dalam upaya pembedahan tersebut diatas memberikan pemahaman secara komprehensif, integral dan holistik bahwa konflik, diskriminasi, dan segala bentuk yang lain, bersumber dari dua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Termasuk pula dalam pemerintah ini aparat militer. Dan termasuk dalam masyarakat tentunya etnis Tionghoa dan pribumi sendiri.
Pada awal tulisan telah kita singgung tentang disahkannya Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Telah dimunculkan pula berbagai pertanyaan yang mencoba “mengingatkan” kita bahwa UU tersebut bukanlah jaminan pasti penyelesaian masalah. Harapan logis adalah UU ini dijadikan sebagai stanting point, penyemangat, ataupun modal utama menuju tingkatan ideal yang diharapkan bersama.

Jelasnya permasalahan pertama yang dihadapi, prosentasenya sudah mulai berkurang. Dapat dilihat secara nyata, pemerintah sudah punya itikad baik
untuk menghapuskan diskriminasi dengan mengeluarkan berbagai aturan. Pemerintah secara tepat mengidentifikasikan bahwa upaya integrasi tetap memerlukan pendekatan politik, dalam arti kebijakan pemerintah dan pelaksanaan yang konsisten di semua lini. Berbagai kasus diskriminasi pasca pengesahan UU Kewarganegaraan memang masih dilakukan oleh jajaran pemerintah pada level bawah seperti dengan masih dipersoalkannya Surat Bukti Kewarganegraan Republik Indonesia (SKBRI).12 Namun itu semua tak perlu membuat pesimistis mengingat hanyalah menyangkut kurangnya sosialisasi yang mestinya terselesaikan seiring berjalannya waktu.

Jaminan lain masih dimiliki, mengingat ke depannya proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan Undang Undang Antidiskriminasi yang akan diprioritaskan. RUU Kependudukan dan Catatan Sipil pun kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang yang berlaku sekarang. Undang-undang terkait kependudukan dan catatan sipil yang berlaku secara kolonial diakui memang bersifat rasial. Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Sangat tepat mungkin apa yang dikatakan Silalahi (2006) bahwa jika ketiga RUU tersebut nantinya disahkan menjadi UU dan juga mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan, secara yuridis formal masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan akan semakin bulat.13

Permasalahan selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah respon positif dari masyarakat terhadap lahirnya berbagai kebijakan kewarganegaraan. Suparlan (2006) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat bahwa cita-cita reformasi yang diperjuangkan mati-matian adalah membangun kembali keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang selama ini telah rusak. Inti dari cita-cita reformasi tersebut membangun masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.1

Acuan utama bagi terwujudnya sebuah masyarakat multikultural Indonesia adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan. Dalam model masyarakat multikultural ditegaskan yang utama adalah menjadi warga negara dan bangsa Indonesia tanpa memperdulikan asal suku-bangsa, ras, agama, dan daerah asal. Hal yang dilihat pada seorang warga adalah kesetiaannya pada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang dapat mensejahterakan diri, komunitasnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.

Arti dari uraian di atas, masyarakat pribumi wajib membuang stigma negatifnya terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat pribumi hendaknya dapat menerima kehadiran etnis Tionghoa secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa. Karena hanya dengan sikap demikian dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman modern ini dan memenuhi tuntutan hak asasi dan dasar negara hukum.13 Pribumi harus menghilangkan kecumburuan sosial-ekonomi dan sebaliknya belajar bersaing secara sehat, belajar maju dan banyak mengambil contoh, membuang metalitet kuno atau bahkan bekerjasama dengan etnis Tionghoa.6 Usulan lain dari Suparlan (2001) adalah membuang istilah orang pribumi ”asli” Indonesia karena pada dasarnya tidak ada pribumi yang asli Indonesia. Semuanya adalah keturunan dari pendatang di Kepulauan Indonesia. Hanya saja nenek moyang kita datang terlebih dahulu daripada nenek moyang etnis Tionghoa.1 Su menyarankan agar masyarakat kembali kepada ajaran agama yang menjunjung prinsip kesetaraan (egalitarianisme) dan membenci setiap bentuk diskriminasi.14

Sebaliknya, etnis Tionghoa jangan sampai mereka hanya menuntut haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Etnis Tionghoa harus memiliki rasa senasib dan sepenanggungan serta solidaritas nasional. Etnis Tionghoa kiranya dapat membangun sikap prososial yang selama ini minim serta memunculkan inspirasi upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.15 Prinsip terpenting adalah mereka harus membuka diri menciptakan peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan pribumi. Mereka juga perlu meninggalkan kecenderungan untuk membuat kelompok-kelompok sosial tersendiri (eksklusif), dan mulai berbaur dengan masyarakat lain secara lebih intensif. Kehadiran mereka mungkin tidak hanya bersifat fisik, diupayakan keterlibatan tersebut juga menyentuh persoalan keseharian yang berkembang dalam masyarakat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membuang budaya negatif memanfaatkan kedekatan dengan aparat pemerintah untuk kepentingan pribadi.16
Epilog
Diakui ataupun tidak, konflik merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari karena konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan suatu masyarakat. Namun dalam pandangan Iskandar,2 konflik merupakan masalah sosial yang tidak diidealkan karena berlawanan dengan integrasi mampun pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rasa aman. Dengan demikian integrasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang final dan terberi, melainkan sebagai sesuatu yang menjadi atau berproses sehingga diperlukan usaha secara terus-menerus untuk mewujudkannya.

Untuk itu perlu diambil saran Lestariana agar berbagai upaya minimalisasi konflik yang dihasilkan diatas dapat sampai kepada sasaran. Internalisasi dan sosialilasi melalui aneka jalur pendidikan (formal, nonformal dan informal), aneka wahana (politik, sosial, ekonomi, budaya), aneka media (cetak maupun elektronik), dan berbagai metode interaktif-partisipatif mutlak perlu dilakukan. 8 Semua itu, asalkan dimanfaatkan secara tepat, memiliki daya dorong yang kuat dalam mecegah konflik sekaligus membangun keharmonisan.

Akhirnya mari kita semua bahu-membahu, terus bekerja keras untuk dapat membangun kembali sebuah “Masyarakat Indonesia Baru” yang diidam-idamkan. Masyarakat Indonesia Baru ini menurut definisi Lembong (2006) ditunjukkan dengan terminimalisasinya berbagai kesenjangan di segala bidang seperti bidang pendidikan, bidang sosial, bidang ekonomi dan bidang lainnya. Harapan selanjutnya adalah tercapainya sebuah bangsa yang “Gemah ripah loh jinawi. Tata tentram kerta rahardja.”. 17

DAFTAR RUJUKAN
1 Suparlan Parsudi. 2006. Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi Warga Negara Keturunan Tionghoa di Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
2 Iskandar, Syaifuddin. Konflik Etnik dalam Masyarakat Majemuk. Malang: UM Press, 2006
3 Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafitti Press.
4Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:LP3ES
5 Mandal. Summit K. 1998. Bukan Sekedar Pembelaan. Makalah. Dipresentasikan pada peluncuran buku Hoakiau karya Pramoedya Ananta Toer yang diadakan bersama oleh Garba Budaya, Komunitas Geni Jakarta dan Jaring di Jakarta tanggal 21 Oktober 1998.
6 Taher, Tarmizi. 1997. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
7 Setiono, Benny G. 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan RI 2006, ”What Next”?. Pikiran Rakyat Edisi Senin, 28 Agustus 2006
8 Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
9 Collins, Elizabeth Fuller. 2002. Indonesia: A Violent Culture? Asian Survey, vol. xlii no. 4,  Juli/Agustus 2002, hal. 582-604.
10 Liddle, R William. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sidney: ASAA, Allen & Unwin.
11 Greif, Stuart W. 1991. “WNI”: Problematika Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta: Grafitti.
12 Arif, Azanul dan Suhirlan A. 2006. UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif?
Memupus Hantu SBKRI. Jakarta: Yayasan Solidaritas Nusabangsa.
13 Silalahi, Harry Tjan. 2006. Diskriminasi, Kata Lee Kuan Yew. Tempo, Edisi 2 Oktober 2006
14 Su, Tomy. 2007. Mengakhiri Dikotomi Islam-Tionghoa. Jawa Pos Edisi Rabu, 24 Januari 2007
15 Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia.
16 Habib, Achmad. 2006. Dinamika Hubungan Antar Etnik China dan Jawa. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
17 Lembong, Eddie. 2006. Kewarganegaraan serta Prospek Hari Depan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan INTI.

Tidak ada komentar: