20 Februari 2008

Maritim-Agraris, Sisa-Sisa Kebanggaan




Oleh: Husamah
(Peserta Pelayaran Kebangsaan VII Dikti dari Biologi-Unmuh Malang)


DIMUAT DI MEDIA INDONESIA EDISI SENIN 19 FEBRUARI 2008

Sejak abad ke-15, kebesaran maritim nusantara telah dikenal luas oleh bangsa-bangsa Eropa dan Timur Tengah. Nenek moyang kita dikenal berhasil menundukkan samudera luas. Kargo yang diangkut pelaut-pelaut kita selalu dinantikan oleh bangsa-bangsa lain. Pada masa itu, penguasaan terhadap lautan luas sudah menjadi ikon perdagangan lintas bangsa atau dikenal dengan open market economy.

Namun secara nyata dan meyakinkan kejayaan maritim itu memudar. Bangsa Indonesia yang dikaruniai lautan 2/3 dari wilayah kedaulatannya atau sekitar 5,8 juta Km persegi, panjang pantai lebih dari 81.000 Km dan di dalam lautnya terkandung potensi perikanan sebanyak 6,7 juta ton per tahun justru jatuh dalam krisis multidimensional.

Fakta kemaritiman bukan kemakmuran melainkan kemiskinan, kekumuhan dan ketertinggalan nelayan serta masyarakat pesisir. Wilayah laut yang idealnya menjadi alur pelayaran dunia dan berarti ladang untuk menambah pundi-pundi devisa justru menjadi area penyelundupan dan illegal fishing. Kontribusi sektor maritim baik terhadap Produk Domestik Bruto maupun terhadap pembangunan daerah belum mampu menjadi mesin kemakmuran. Bahkan potensi minyak, gas bumi dan energi alternatif terbarukan tidak mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis energi.

Anehnya kondisi yang sama juga terjadi pada wilayah agraris Indonesia meskipun pemerintah selama beberapa dekade telah continental oriented (berorientasi ke darat). Buktinya adalah krisis dan melonjaknya harga beras, minyak goreng, kedelai, dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Masyarakat terpaksa mengonsumsi makanan tidak layak, nasi aking, nasi basi dan serangga-serangga tertentu. Anak-anak di beberapa daerah menderita busung lapar dan krisis gizi, yang pastinya berpengaruh terhadap mutu SDM mereka dan tentunya kemajuan bangsa ini kelak.

Penderitaan tidak berakhir sampai di situ. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin masih mencapai 37,17 juta tahun 2007. BPS mencatat pula bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih mencapai 9,75% dari angkatan kerja atau 10,55 juta jiwa. Nilai Human Development Index (HDI) juga jauh tertinggal dari Negara ASEAN lainnya. Angka buta aksara pun mencapai puluhan juta.

Mengapa potret buram ini di alami bangsa yang dulu dijuluki maritim dan agraris? Jawabannya tetap klasik, sama seperti dulu yaitu para pemimpin dan elit politik kita yang salah dalam mengurus negara. Dalam bidang maritim misalnya, menurut pakar ekonomi maritim Laode Kamaludin dalam bukunya Indonesia sebagai Negara Maritim dari Sudut Pandang Ekonomi (UMM Press 2005) kebijakan maritim pemerintah ternyata belum menyentuh aspek-aspek strategis yang mampu mengikat dan memayungi instrumen ekonomi maritim. Sektor martim kemudian malah menjadi sasaran pengurasan akibat adanya disorientasi kebijakan.

Sementara kemerosotan dalam sektor agraris terjadi karena pemerintah terjebak dalam misi pembangunan infrastruktur. Lahan-lahan semakin menyusut bahkan hilang tergantikan oleh bangunan-bangunan mewah, perumahan, ruko-ruko dan pusat perbelanjaan. Iming-iming globalisasi menambah penderitaan masyarakat di mana subsidi untuk para petani menyusut tajam mengakibatkan bahan baku pertanian mahal, sementara keuntungan tidak sebanding. Pemerintah pun lebih mementingkan impor dan mematikan potensi pertanian lokal.

Melihat tingkah laku pemerintah dan para elit politik saat ini, sepertinya penderitaan masyarakat belum akan berakhir. Idealisme mereka terhadap bangsa ini telah semakin memudar, jika bukan telah tenggelam. Politik yang sedianya menjadi alat pemakmuran rakyat kini menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas, serba menerabas, dan penuh kebusukan. Otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil dan tetap saja mematikan kreasi dan inisiatif lokal, sama seperti era sentralisasi.

Akhirnya, julukan Indonesia sebagai negara maritim dan agraris mungkin lebih layak disebut sebagai sisa-sisa kebanggaan. Negara maritim dan agraris hanya tinggal kenangan. Entah sampai kapan potensi kemaritiman itu kembali tergali dan memakmurkan. Mungkin 15-30 tahun lagi, ketika para pemimpin sekarang telah menghilang dan tidak berpengaruh lagi. Semoga.

Tidak ada komentar: