20 Februari 2008

berita rokok


Istana Jepang Hentikan hadiah Rokok
Implikasi Gerakan Larangan Merokok di Tempat Umum


Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 31, 2008

Tokyo, mitro online - Istana Imperial Jepang sejak tahun 2007 lalu mengakhiri tradisi membagikan hadiah berupa rokok khusus kepada para pegawai yang sudah berlangsung beberapa dekade.Istana kerajaan mengatakan keputusan itu merupakan reaksi atas menurunnya jumlah perokok di Jepang, ditengah upaya menghentikan kebiasaan itu.

Istana Imperial yang merupakan kediaman Kaisar Jepang di Tokyo tidak akan melarang kebiasaan ini di Istana dan akan terus menawarkan rokok kepada para tamu.

Rokok Imperial, yang setiap batang dicap dengan bunga krisan emas, dibuat oleh Japan Tobacco dan mulai diproduksi tahun 1934. Juru bicara Japan Tobacco mengatakan jumlah produksi rokok ini turun dari 280 juta batang tahun 1944 menjadi 1,4 juta tahun 2003.

Istana menghentikan pemberian hadiah rokok kepada para pegawai dan tenaga sukarela pada bulan April tahun 2007. Dalam beberapa tahun terakhir di Jepang muncul gerakan untuk melarang merokok di tempat umum seperti di jalan-jalan Chiyoda Ward di Tokyo, dan parlemen sedang mempertimbangkan pencetakan peringatan yang lebih keras di bungkus rokok.

Namun merokok ditoleransi di Jepang. Harga rokok pun relatif murah - rata-rata sekitar 2,8 dolar per bungkus - dan Jepang merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di antara negara maju, 30 persen orang dewasa negara itu merokok.



Absurditas Kaum Miskin

Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 30, 2008

Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang paling mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri (baca: rokok). Lihat saja hasil Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS). Data menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga miskin untuk rokok lebih besar daripada untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Tahun 1999, keluarga miskin menghabiskan 5,3 persen pengeluaran untuk rokok, sementara untuk kesehatan dan pendidikan masing-masing hanya 1,7 dan 2,9 persen.

Tahun 2002, belanja rokok untuk keluarga miskin naik menjadi 6,8 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 2,1 dan 2,5 persen. Tahun 2003, belanja rokok mencapai 7,6 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 1,9 dan 2,6 persen. Tingkat konsumsi rokok keluarga miskin dari tahun ke tahun juga terus meningkat, sementara tingkat konsumsi kebutuhan pokok cenderung menurun atau naik sedikit saja. Tak mengherankan mengapa banyak ditemukan anak yang menderita busung lapar di tengah keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok – termasuk susu — dialihkan untuk membeli rokok.

Data lain, alokasi belanja rokok kelompok masyarakat miskin juga lebih besar dari warga kaya. Tahun 2004, orang miskin mengalokasikan 10,9 persen anggarannya untuk rokok, sementara orang kaya hanya 9,7 persen. Diperkirakan pada 2007, jumlah keluarga miskin di Indonesia sebesar 19 juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2/3 laki-laki keluarga miskin merokok, sehingga diperkirakan 12 juta kepala keluarga miskin adalah perokok. Fakta lain, ternyata jumlah belanja rokok kelompok masyarakat miskin (Rp 23 triliun/tahun) lebih gede dari anggaran APBN untuk DEPKES (hanya Rp 17 triliun).

Absurditas perilaku masyarakat miskin, yang lebih mementingkan konsumsi rokok daripada kebutuhan pokok, itu masih bisa dimengerti. Maklumlah, masyarakat miskin secara umum berpendidikan rendah. La yang berpendidikan tinggi saja juga sulit melepaskan diri dari rokok – bagi mereka yang sudah ketagihan. Tampaknya kebiasaan merokok menjangkiti manusia secara lintas batas usia, latar belakang pendidikan, strata ekonomi dan lintas etnis, apalagi agama. Akal sehat dan moralitas cenderung tak berlaku dalam soal merokok.

Penyair Taufiq Ismail dalam beberapa puisinya sangat tepat menggambarkan kebiasaan buruk di kalangan masyarakat dari semua kelas sosial. Simak sebagian bait berikut: “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,…”

Bahkan dalam bait lain, Taufiq Ismail berani menyindir kalangan kiai yang umumnya menjadi teladan moral bagi masyarakat, yang tak juga lepas dari dosa merokok. Baca saja: “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita. Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan centi panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya…”

Di mata Taufiq Ismail, rokok telah menjadi tuhan baru bagi para perokok, termasuk kalangan kiai yang sehari-hari membawa 99 biji tasbeh untuk mengingat Tuhan. Jadi tak berlebihan jika kebanyakan kaum miskin pun mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri, istilah lain untuk rokok yang dipakai oleh penulis buku ini. Wusss, kruiinggg… *


Gubernur Sumsel Canangkan Kawasan Bebas Rokok


Mulai dari Kantor Gubernur, Merembet ke Kantor Instansi Lainnya.

PALEMBANG, MITRO Online - Seluruh kawasan Kantor Gubernur Sumsel di Jl Kapten A Rivai mulai 23 Agustus bebas dari asap rokok. Pencanangan kawasan bebas asap rokok itu secara berangsur juga akan ditularkan ke dinas/instansi lain di lingkungan pemerintah provinsi.

“Mulai hari ini (kemarin, red) kita menerapkan kawasan bebas rokok. Pertama di lingkungan kantor gubernur dulu. Jadi, kalau sudah masuk pagar kantor gubernur tidak boleh merokok,” ujar Gubernur, usai mengikuti opening ceremony pembukaan Kongres Nasional (Konas) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Institut Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) dan launching Kawasan Bebas Rokok di Hotel Horison.

Gubernur mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan tempat khusus bagi yang ingin merokok. “Begitu juga dengan dinas/instansi lain. Harus ada tempat khusus orang merokok. Jadi, kesehatan lebih terjaga,” tukasnya.

Apa akan diperdakan? “Tidaklah, ini hanya untuk disiplin dan niat saja. Nantinya tinggal kemauan dari PNS untuk melaksanakan instruksi ini. Untuk sanksi yang masih merokok di luar, itu nanti menjadi rahasia saya,” katanya menolak mengatakan sanksi jika kedapatan PNS masih merokok tidak pada lokasi yang disediakan.

Suami Maphilida ini mengingatkan, dirinya pernah menjadi perokok berat yang menghabiskan 6 bungkus rokok per hari. Akibat dari ini, enam bulan setelah pelantikan sebagai gubernur harus menjalani operasi jantung by pass karena mengalami penyempitan. “Jadi kalau banyak merokok dan tidak peduli kesehatan, bagi saya itu kampungan,” tuturnya sambil menginstruksikan bupati/wali kota untuk membuat kawasan bebas rokok.

Ir H Eddy Junaidi AR Msi, asisten umum dan pemberdayaan perempuan menegaskan, pihaknya juga akan menyiapkan sarana penunjang lainnya untuk membuat pemprov bebas asap rokok. “Kita akan sediakan kotak sampah dengan tulisan matikan rokok, kawasan ini bebas asap rokok. Sehingga, siapapun yang masuk kantor gubernur dan membaca tulisan akan mengerti dan mematikan rokoknya.”

Sittin, seorang PNS di Pemprov Sumsel menyambut baik rencana ini. “Kita yang perempuan di sini kalau ada yang merokok jelas terganggu dalam bekerja. Dari pada tersinggung, lebih baik kita yang menyingkir. Apalagi, kalau ruangan tertutup, yang merokok satu tetapi yang menghirup nikotinnya kan orang banyak juga. Sedangkan dampak bagi perokok pasif ini lebih besar lagi,” tandasnya. (sumeks.co.id)

Tidak ada komentar: