Oleh: Husamah S.Pd.
(Staf Pengajar Biologi UMM)
Selamat datang di medan perang! Itulah kalimat yang pantas kita kumandangkan saat ini. Tentunya bukan lagi perang melawan penjajah Belanda melainkan perang melawan korupsi.
Telah menjadi fakta yang menyakitkan bahwa pasca reformasi, Indonesia tidak pernah sepi dari pemberitaan kasus korupsi. Tindakan korupsi seperti berkejaran, berkompetisi dari satu kasus ke kasus lainnya. Jumlah kasus-kasus korupsi yang diungkap sudah melampaui kewajaran. Korupsi tidak hanya dil level atas tetapi merambah ke level bawah (grass root). Triliunan uang negara lenyap tanpa bekas.
Saat ini Indonesia telah memasuki suatu keadaan dimana korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral dan telah melewati batas-batas kenormalan. Ironis karena Indonesia mendeklarasikan diri sebagai bangsa beradab, berbasis pada agama-agama yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran.
Tak dapat dipungkiri, rakyatlah yang menjadi korban. Jutaan rakyat berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan karena dana yang sejatinya digunakan untuk kesejahteraan mereka ”dimakan” oleh para pejabat. Korupsi juga telah menjadi salah satu penghambat perkembangan ekonomi.
Menurut Andrew MacIntyre (2004: 42-43) para investor, terutama investor swasta, membutuhkan lembaga hukum yang independen dan efektif untuk membendung laju korupsi dan melindungi hak-hak kekayaan mereka. Jika kontrak-kontrak tidak bisa ditegakkan dengan cara yang konsisten dan jika pemerintah tidak bisa dihindarkan dari tindakan korup dan semena-mena, maka akan beresiko bagi investor. Lingkungan korup yang rakus lalu dimaknai oleh MacIntyre sebagai perilaku yang tidak ramah bagi investasi dan perkembangan ekonomi.
Sudah saatnya kita menggemakan kembali perang melawan korupsi. Dimulai dengan perang melawan nafsu dalam diri yang selalu membujuk untuk berbuat jahat, curang dan mengambil hak rakyat (korup).
Upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung pada sikap, mental dan kebenaran pola pikir kita. Perang melawan korupsi merupakan perluasan dari usaha melawan nafsu diri sendiri. Paling tidak konsepsi ini berangkat dari asumsi bahwa jika semua orang memulai dari dirinya untuk komitmen pada nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan, maka kejujuran itu akan menjelma menjadi kejujuran publik. Kejujuran menjadi suatu norma yang tertanam kuat dalam masyarakat, sehingga korupsi bukan hanya dinilai salah secara hukum, melainkan juga norma agama dan sosial. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Hilaly Basya (2007).
Mampukah kita melawan hawa nafsu? Pertanyaan tersebut mungkin sulit untuk kita jawab. Toh kita sebagai manusia selalu di goda oleh nafsu. Nafsu memang musuh yang terberat bagi kita, karena kita berperang dengan diri kita sendiri. Bukan dengan orang lain. Seringkali kita kalah dengan nafsu kita sendiri, sehingga kita selalu berbuat apa yang dikehendaki nafsu tersebut, seperti banyak contoh disekitar kita.
Namun, menurut hmeat penulis, asal ada niat, apapun dapat dilakukan. Marilah kita selalu menjaga nafsu agar selalu terkendali, agar bisa bermanfaat bagi kita sendiri dan tentu tidak menyakiti orang lain.
Tanamkanlah dalam hati akan makna dan guna kita hidup. Apakah setelah mati kita akan hidup di dunia yang baru lagi? Mari bersama-sama memaknai arti kehidupan ini.
Akhirnya, mari bersama berjuang membumihanguskan korupsi yang telah lama memorakporandakan pilar kehidupan bangsa, hingga kita menjadi bangsa yang terpuruk ke lembah kehinaan paling sempurna. Wallahualam bisshowab.
sumber foto: http://okaaditya.wordpress.com/2008/12/10/anto-korupsi-nge-pop-mau-kemana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar