Oleh: Husamah S.Pd*)
Staf Pengajar di Pendidikan Biologi-FKIP-Unmuh Malang
Flashback
Visi NKRI seperti ditegaskan UUD 1945 adalah menjaga kesatuan wilayah tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan sosial, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi meskipun dalam bingkai kebhinnekaan. Suparlan (2002) mengingatkan pula bahwa cita-cita reformasi yang selama ini meminta ongkos mahal adalah membangun kembali tatanan kehidupan masyarakat yang telah diruntuhkan oleh Orde Baru. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah Indonesia Baru.
Namun lambat laun, visi dan cita itu semakin tergerus dan hilang. Kemaruk kekuasaan telah menguasai mental para pemimpin dan politisi sehingga memecah-belah persatuan bangsa. Hal ini mereka lakukan dengan cara memanipulasi kesenjangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan memasuki labirin agama untuk melanggengkan kekuasaan.
Inilah fakta Indonesia. Menurut Asy’arie (2003) kecenderungan egoisme politik yang semula bersifat individual seperti gelombang air bah yang sulit dibendung terus bergerak meluas pada kelompok-kelompok masyarakat. Akibatnya, aktivitas politik mengesahkan cara-cara kontra etika, seperti ancaman dan teror, fitnah, bahkan pembunuhan politik, seakan segala cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan. Agama yang semula diharapkan dapat menegakkan etika politik dan menyadarkan pemeluknya untuk menjauhi egoisme kekuasaan ternyata terseret dan terjebak. Agama dijebak dan dibajak untuk menjadi bagian realitas politik kekuasaan itu sendiri. Dalil-dalil dan identitas agama dijadikan alat untuk mensyahkan bisnis kekuasaan yang berujung pada tindak korupsi, kenyamanan dan eksistensi kelompok atau golongan.
Seiring dengan timbulnya krisis multidimensional tersebut, mencuat berbagai kritik dan sorotan menyangkut agama dalam hubungannya dengan kekuasaan. Berbicara tentang agama di Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan alasan statistik, demografis, dan sosiologis, dimana umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa keterjebakan agama oleh egoisme kekuasaan tidak lain keterjebakan agama Islam itu sendiri. Selanjutnya diskusi tentang agama dan kekusaan tidak akan terlepas dari partai politik khususnya partai politik berlabel Islam yang selama ini banyak memanfaatkan lembaga Islam, tokoh Islam, dan semua yang “berbau” Islam.
Tulisan ini hanya akan fokus pada diskusi mengenai jebakan egoisme kekuasaan partai politik berlabel Islam dalam labirin agama. Sesungguhnya, penulis menyadari keterbatasan untuk menjawab dengan baik topik tersebut. Meskipun demikian, paling tidak, tulisan ini berusaha sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah.
Jebakan Egoisme Kekuasaan
Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Invasi partai politik ke dalam agama bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya. Ada suatu asumsi yang dilandasi pemikiran kritis bahwa agama dan segala atributnya sangat laku keras dijual kepada umat. Hal ini disebabkan agama memiliki unsur sentimen kuat dalam mengikat semua aspirasi umat agar mudah dibawa kemana saja, termasuk untuk memenangkan kepentingan tertentu, dengan menggunakan pendekatan bahasa agama. Noorsena (1999) menjelaskan banyak ahli sepakat adanya kaitan sangat erat antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama tersubordinasi di bawah egoisme kekuasaan, di sana ia gagal menjalankan fungsi profetis atau kenabiannya, lalu menjelma sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu golongan.
Pada saat bersamaan pula nantinya setelah peran berhasil dimainkan, cepat atau lambat agama akan dimandulkan. Ini dilakukan agar tidak menghalangi kepentingan yaitu berusaha mengeksploitasi kemanusiaan dan selalu dilakukan politikus untuk memenuhi segala ambisi politik. Di sini sangat jelas terlihat ada kesan kuat politisasi agama untuk mencapai kepentingan tertentu. Dalam bahasa sedikit ekstrim, agama dijebak lalu “ditunggangi” untuk mencapai target tertentu yang sangat jelas tidak pernah direstui agama itu sendiri. Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, sangat potensial dijadikan legitimasi kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada ummat. Sejarah perkembangan agama-agama besar sendiri telah membuktikan hal itu.
Sebenarnya, penggunaan bahasa agama untuk kepentingan politik bukanlah hal baru. Perhelatan politik simbol juga pernah terjadi pada awal Islam. Misalnya, pada akhir pemerintahan Khulafaurrasidin, Ali Bin Abi Thalib, yaitu dalam perang antara Ali sebagai Khalifah dan Muawiyah. Ketika pasukannya terdesak, Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an dan berseru agar menjadikan Kitab Allah (Al-Qur’an) sebagai arbitrase atau tahkim. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kebenaran Ilahi dipertaruhkan dalam peperangan tersebut.
Pemaparan gamblang tentang kasus serupa bisa dilihat dalam uraian-uraian Rafiq Zakaria dalam The Struggle within Islam dan buku baru Mahmoud Ayoub, The Crisis of Muslim History; Religion and Politics in Early Islam yang menyoroti bagaimana kisruhnya suksesi di awal sejarah Islam karena memang tidak ditemukannya formula baku suksesi. Di Barat, pada abad pertengahan, pernah terjadi agama menjadi alat legitimasi kekuasaan raja-raja absolut. Untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya, raja-raja di Barat mendekati kelompok agama agar mau menjustifikasi posisinya. Dalam hal ini, terjadilah tawar-menawar antara kedua kekuasaan tersebut. Kelompok agama mendapatkan imbalan berupa sumbangan tanah untuk kepentingan keagamaan.
Agus Maftuh Abegebriel dalam Teologi Kekuasaan (2007) menegaskan politisasi agama dan politisasi religious texts tidak hanya merupakan penafikan terhadap nilai teks-teks suci agama, tetapi justru merupakan distorsi yang akan membajak dan menjebak agama jatuh pada jurang homogenisasi dan hegemonisasi. Kegelisahan yang sama juga dirasakan Khaled Abou el Fadl dalam buku With God on Our Side (2006) dimana semakin maraknya politisasi agama dan memperlakukan agama sebagai alat (tools) ideologis untuk meraih sebuah kekuasaan merupakan pemaksaan agama sebagai theology of power (teologi kekuasaan). Penggunaan isu agama yang berlebihan bisa menyeret agama ke dalam politik kepentingan tertentu. Agama menjadi alat untuk mencapai puncak kekuasaan. Agama bukan menjadi faktor penentu yang mengarahkan etika politik pihak-pihak berkepentingan. Agama yang seharusnya ditempatkan pada posisi tinggi dan terhormat terkontaminasi kepentingan-kepentingan sesaat. Hal itu tentu sangat berbahaya bagi agama tersebut.
Menurut Bahar dalam essainya Agama dan Kekuasaan (2008) dalam kacamata Islam, tidak sesuainya antara simbol yang dipakai dengan perilaku, maka dapat digolongkan sebagai perilaku munafik. Munafik berarti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Karena tidak sesuai antara perbuatan dengan niat, atau niatnya tidak seperti perbuatannya. Itulah perilaku sebagaimana dilansir dalam Al-Qur’an (63:4); “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendegarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar (diumpamakan seperti kayu yang tersandar, meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong, tidak dapat memahami kebenaran). Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)”.
Lebih lanjut Bahar (2008) menguraikan bahwa perilaku menjadikan agama sebagai simbol meraih kekuasaan adalah munafik. Islam dipahami sekedar sarana untuk meraih sesuatu dan bila sudah didapatkan, percayalah mereka mengingkarinya. Mereka mengaku Islam, diberi nama islamis, namun dalam perilakunya sering mencampur-aduk antara yang hak dengan kebatilan. Mereka-mereka yang dikagumi berkopiah, berpeci ’haji‘, berjenggot, mengucapkan puji syukur pada Allah, mengucapkan assalamualaikum dengan fasihnya, tetapi hatinya benar-benar kosong.
Titik Temu
Ada suatu teori yang dikemukakan oleh Harry J. Benda, bahwa dalam Islam batas antara agama dan politik, termasuk juga kekuasaan, sangat tipis. Pemisahan agama dan politik hanya merupakan gejala sementara, yaitu ketika Islam berada dalam masa kemerosotan atau kemundurannya. Tapi, dalam masa kebangkitan dan kejayaan Islam pemisahan antara agama dan politik tidak akan berlangsung lama. Teori ini, menurut Khozin dalam bukunya Refleksi Keberagamaan (2004) sebenarnya merupakan peringatan kepada kita bahwa umat Islam tidak akan pernah bisa dijauhkan dari urusan politik. Persoalannya, bagaimana agar setiap bentuk kedekatan dan keterlibatan umat Islam dalam politik praktis itu dapat memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan umat di negeri ini. Belajar dari sejarah, partai-partai berlabel Islam ternyata gagal memperjuangkan aspirasi umat Islam secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Dalam proses politik kenegaraan mereka juga tidak memantulkan etika dan moralitas, tidak mampu membangun image positif, kehilangan daya tarik dan dinamikanya.
Oliver Roy dalam The Failure of Political Islam telah memvonis gagal pada gerakan Islam politik, dilatarbelakangi oleh empat faktor dasar. Pertama, tidak adanya konsep yang jelas dalam penyelesaian masalah kemanusiaan (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Kedua, konsep masyarakat yang semu dan suram. Ketiga, masifikasi paham kebencian terhadap kelompok lain. Keempat, hilangnya ruang dan otentisitas keagamaan (Mizrawi; 2004). Jika karakter seperti itu masih tetap dipertahankan, maka gerakan Islam politik akan mudah terkubur oleh artikulasi politik kontemporer yang kian dimanis.
Gerbong Islam politik di Indonesia terbukti tidak mampu mengartikulasikan secara apik terkait kebijakan ideologis Islam yang mereka gunakan sebagai isu utama. Selalu saja partai politik itu berkoar-koar bahwa Islam adalah solusi. Tetapi bagaimana pola aplikasi dari kata solusi itu tetap juga tidak jelas, alias kabur. Partai politik berlabel Islam kesulitan untuk menjaga fatsoen politik di hadapan rakyat yang teraniaya. Kadar idealisme juga rapuh dan mudah dilumpuhkan oleh kepentingan- kepentingan sempit. Visi politik sebagai alat untuk mengagregasi kepentingan rakyat tampak begitu mudah terpasung oleh ambisi dan kepentingan elit. Partai politik berlabel Islam juga gemar memanfaatkan agama sebagai alat pemuas birahi kekuasaan, ketimbang sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Dalam sejumlah pengambilan kebijakan publik yang bersifat populis, mereka cenderung bersikap tidak konsisten. Saat di depan berani berkoar-koar, namun di belakang tetap bertekuk lutut di hadapan pemegang kekuasaan.
Akhirnya, partai politik berlabel Islam harus bisa merevisi politik simbol menjadi politik substansi. Upaya revitalisasi paradigma politik Islam yang lebih kontekstual dirasa kian penting agar gerbong Islam politik tidak terjebak dalam wacana politik Islam konvensional yang dijiplak dari tradisi perpolitikan Timur Tengah. Artikulasi politik substantif itu bisa dilakukan dengan menjabarkan secara jelas visi keislaman ke dalam program dan kerja politik yang relevan. Toh kerakusan dalam berpolitik justru akan menjadi boomerang yang siap menghantam bangunan karakter partai yang telah terbentuk secara mapan. Partai politik berlabel Islam harus bisa menyajikan kemungkinan lain bagi penilaian publik terhadap keberadaan mereka yang tidak sekadar menjadi subordinasi kekuasaan. Wallaahua’lam bisshowab.
sumber foto: http://www.jewishjournal.com/thegodblog/2007/12/P24/
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_speculative_fiction
Tidak ada komentar:
Posting Komentar