11 Oktober 2009

Me-refresh Pemahaman Bijak Agama tentang HIV/AIDS

(Tinjauan Islam menuju Anti Stigma dan Diskriminasi)

Oleh: Husamah, S.Pd
(Staf Pengajar Biologi Unmuh Malang)



Prolog
Secara global, HIV/AIDS telah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia terkecuali di Indonesia. Satu per satu manusia mati, jumlahnya tidak berkurang namun terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut UNAIDS pada akhir 2005 terdapat 40,3 juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Sebanyak 17,5 juta (43%) diantaranya perempuan dan 2,3 juta (13%) anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.

Sejak tahun 2000 Indonesia termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi, yakni terdapat wilayah yang merupakan kantong-kantong dengan prevalansi HIV lebih dari 5%. Wilayah tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Riau, dan Bali (Dinayayati, 2006). UNAIDS/NAC dalam A Review of Vulnerable Populations to HIV and AIDS in Indonesia (2006) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar (73%) adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 dimana HIV/AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia, sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS dan 2.479 di antaranya telah meninggal.

Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena kurangnya pendidikan seks, ketimpangan jender, dan maraknya kasus narkotika serta obat-obat terlarang (KR, 3/05/2004). Sementara Sabrawi menengarai beberapa kondisi yang mempermudah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia antara lain meluasnya industri seks komersial, prevelensi penyakit kelamin tinggi, proses urbanisasi berlangsung cepat dan migran penduduk yang tinggi. Selain itu dipermudah pula oleh hubungan seksual premarital dan ekstramarital, sarana kesehatan tidak selalu melakukan prosedur steril dengan jarum dan peralatan lain serta tes darah transfusi yang belum memenuhi persyaratan di beberapa daerah (Sabrawi, 1999). Selain itu yang perlu menjadi perhatian bersama bahwa berbagai upaya pencegahan atau perang terhadap HIV/AIDS menjadi tidak efektif karena adanya stigma dan diskriminasi masyarakat yang merupakan hambatan terbesar.
Islam dan HIV/AIDS

Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia bahkan jumlahnya terbesar di dunia. Hal ini berarti bahwa posisi Islam sangat potensial bahkan harus terlibat dalam berbagai upaya menyangkut HIV/AIDS. Farid Essack dalam HIV/AIDS and Islam: Reflections based on Compassion, Responsibility, and Justice (2004) menyoroti sikap dan pandangan kaum Muslim pada ODHA. Menurut Essack, ada lima pandangan umum kaum Muslim. Pertama, menyangkal terjadinya kasus HIV/AIDS pada kaum muslim. Mereka ini berpegang pada Islam ideal. Mustahil seorang muslim mempraktekkan hubungan seksual di luar nikah atau menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya, dua jalur utama penularan HIV/AIDS.

Kedua, mendiamkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisional, kaum Muslim sungkan dan tabu membicarakan secara terbuka sesuatu yang terkait dengan seksualitas, termasuk HIV/AIDS.

Ketiga, bingung. Sebagian kaum Muslim bertanya, benarkah penyakit HIV/AIDS merupakan sebentuk hukuman dari Allah? Itukah harga yang harus dibayar akibat dosa-dosa yang diperbuat? Lantas, mengapa di negara-negara maju yang kemaksiatannya merajalela justru terjadi penurunan jumlah ODHA?

Keempat, menyingkirkan. Pergi jauh-jauh dari kami! Pandangan ini erat kaitannya dengan stigma bahwa ODHA adalah pelaku promiskuitas seksual.

Kelima, memberi simpati. Kaum muslim yang memilih sikap ini berpandangan bahwa infeksi HIV bukanlah akhir segalanya. Orang yang terinfeksi tetap bisa menjalani hidup. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang Muslim yang baik, sama seperti Muslim lainnya. Sayangnya, kaum Muslim yang berada pada posisi kelima ini jumlahnya sangat sedikit bahkan langka.

Pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah bagaimanakah sikap masyarakat Muslim di Indonesia? Rupanya kutukan sebagai penyakit kaum pendosa itu secara kompak diamini oleh pemuka agama Islam. Seakan menutup mata, banyak di antara pemuka agama Islam-tentunya diikuti oleh para pemeluknya-yang tetap bersikukuh menolak cara-cara pencegahan, yang disebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ironisnya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu sikap pemuka agama yang diikuti pengikutnya menambah penderitaan ODHA dan keluarganya.

Ketidaktahuan pemeluk agama menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang terutama tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi pengucilan terhadap ODHA kemungkinan karena kekhawatiran akan tertular penyakit ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini. Selain itu sebagai kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang menanggung akibat dari tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA pun dianggap sebagai bagian dari 'orang yang amoral' atau orang yang setuju dengan tindakan-tindakan amoral. Ternyata prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya muncul anggapan pemikiran bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah moral. Masalah menjadi berlarut-larut karena tokoh masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama) membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap HIV/AIDS.

Akibat aksi “penghukuman” masyarakat ini, jarang orang yang beresiko tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain. Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka.

Langkah ke Depan: Me-refresh Pemahaman
Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis sehingga lembaga-lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun terhadap masalah ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial yang penting diperhatikan sebagai upaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan ODHA. Mutlak dibutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk Islam untuk bersama-sama menghadapi masalah terkait dengan kualitas hidup manusia dan komunitasnya.

UNICEF pada 2004 telah menerbitkan buku berjudul Apa yang Dapat Diperbuat Para Pemuka Agama Terhadap Masalah HIV/AIDS? UNICEF menyatakan HIV/AIDS merupakan krisis spiritual, sosial, ekonomi dan politik yang sangat besar dan semakin menjadi permasalahan bagi kaum muda. Penanganan HIV/AIDS dan stigma yang mendorong penyebarannya merupakan salah satu tantangan terbesar dihadapi dewasa ini. Hal ini membutuhkan keberanian, komitmen dan kepemimpinan di semua tingkatan, khususnya di kalangan para pemuka agama yang dapat menggunakan kepercayaan dan wibawanya dalam komunitas mereka untuk merubah arah pandemik.

Dalam merespon tantangan ini, para pemuka agama Islam harus menyegarkan kembali (refresh) cara pandang dan pemahaman mereka dalam menghadapi krisis HIV/AIDS, agar mampu menjadi suatu kekuatan perubahan dalam upaya menyembuhkan, memberi harapan, dan mendampingi ODHA. Bukankah Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin)? Bukankah Islam memiliki seperangkat tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat?

Menurut Anshor (2004) salah satu tata nilai yang dimiliki Islam adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Dalam Al-Qur'an surat Al Isra ayat 70 disebutkan "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".

Pandangan pemuka agama Islam yang meyakini bahwa fenomena HIV/AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual (QS. Al-A'raf: 80-84 dan QS An Naml: 56) harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Pandangan kontroversial mengenai kondom yang dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya harus diakhiri. Pandangan tersebut justru tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom berarti membiarkan penularan HIV. Jika hubungan seksual dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibandingkan menggunakan kondom.

Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.

Selain itu, dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS karena termasuk yang rentan tertular HIV/AIDS.

Epilog
Saat ini Indonesia “mungkin” masih beruntung karena HIV/AIDS belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun, epidemi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi. Menurut estimasi nasional, orang yang tertular HIV akan menjadi jutaan orang dalam 10 tahun ke depan kalau kita tidak melakukan upaya penanggulangan yang serius serta didukung oleh semua pihak. Kondisi ini berbahaya terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan.

Jika keadaan di atas masih belum juga dianggap sebagai suatu persoalan bersama semua pihak termasuk pemeluk agama Islam maka dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa-masa mendatang. Oleh karena itu patutlah disadari dan aktualkan kembali pentingnya peran agama untuk mengatasi masalah HIV/AIDS. Tentunya semua kembali kepada itikad baik dan komitmen para pemuka agama tersebut untuk melaksanakannya. Semoga saja.

sumber foto: maziman.files.wordpress.com/.../peduli-aids.jpg

Tidak ada komentar: