29 Oktober 2009
SOAL ACC EKOLOGI TUMBUHAN
Diketahui bahwa rumput teki (Cyperus rotundus)memiliki zat allelopati. Dapatkah rumput teki digunakan sebagai herbisida (pembasmi gulma) alternatif pengganti herbisida sintetik/buatan? Bagaimana cara penggunaan atau aplikasinya? Jelaskan pendapatmu, gunakan literatur terkait secara cermat!
GOOD LUCK..SUKSES BUAT ANDA
NILAI ACC ONLINE
TO SEMUANYA: LAPORAN SUDAH SAYA KOREKSI...BISA DIAMBIL DILOKER..
UNTUK NILAI ACC ONLINE NILAINYA ADALAH: 23, KECUALI YANG SAYA KIRIM VIA EMAIL/FB MASING-MASING. NILAI INI DAPAT BERUBAH JIKA SUATU SAAT TERDAPAT KEKELIRUAN YANG FATAL/URGEN. SILAHKAN PRINT KOMENTAR INI SEBAGAI BUKTI.
MALANG, 13 NOVEMBER 2009
HUSAMAH (INSTRUKTUR EKTUM)
25 Oktober 2009
Meruntuhkan Mitos Keangkeran Sertifikasi
OLeh: Husamah
(Alumni Biologi-FKIP-UMM)
Menyikapi sertifikasi, minimal guru akan terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah para guru yang memang setuju, telah siap, berpengalaman, kompeten dan tentu berprestasi. Kelompok kedua pasti para guru yang menganggap sertifikasi perlu untuk menaikkan taraf hidup dan profesionalitas, tetapi merasa kesulitan karena masih banyak kekurangan. Kelompok ketiga tentu para guru yang ingin hidup layak tanpa harus bersusah-payah mengikuti sertifikasi.
Memang sulit merubah pola pikir guru, terlebih kelompok ketiga ini. Ironisnya, jumlah kelompok ketiga itu lebih dominan. Sertifikasi bagaikan momok yang menakutkan. Mereka tidak pernah memperdulikan latar belakang diadakannya sertifikasi sebagai bentuk dedikasi untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional.
Selama ini sistem telah membuat para guru begitu santai dan asal “ngajar”. Buktinya, Kebanyakan guru juga hanya sekedar masuk kelas, mengisi presensi, memberi tugas pada siswa dan sekedar menggugurkan kewajiban. Para sarjana non-kependidikan pun mudah saja beralih menjadi guru jika tidak memiliki pekerjaan. Hanya dengan menempuh Akta IV selama tiga bulan, mereka telah menjadi guru.
Tak dapat dipungkiri posisi guru sebagai ujung tombak alias pilar utama menuju kemajuan bangsa yang telah disepakati sepanjang sejarah semakin bias. Guru yang dikenal sebagai aktor dalam proses pemanusiaan dan kemanusiaan, hanya berfungsi sebagai pelengkap sekolah semata.
Potret buram dunia guru dan dunia pendidikan itu harus segera diakhiri. Perlu menjadi kesepakatan bersama bahwa sertifikasi tidak lain merupakan salah satu jawaban kongkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan. Meningkatnya mutu pendidikan kemudian harus dibarengi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Langkah paling bijak yang mendesak dilakukan adalah mengubur mitos keangkeran sertifikasi. Saatnya guru dituntut memiliki keterampilan yang memadai. Tidak hanya asal mengajar di kelas kemudian pulang. Mereka dituntut untuk berkreasi, berinovasi, mengembangkan ilmunya, dan mencontohkan kesuksesan (prestasi) dan kerja keras pada muridnya.
Pola pikir instan dan asal-asalan saatnya dibuang jauh-jauh. Budaya ilmiah dan kreatif segera dibangun, misalnya dengan giat menulis. Menulis di media massa dan lomba-lomba tentu lebih mulia dari nyambi ngojek untuk mengepulkan asap dapur. Jika budaya menulis itu dipupuk, justru akan menjadi modal guru menuju sertifikasi, selain juga mendatangkan rezeki bagi dirinya (honor dan hadiah menulis).
Sebenarnya telah banyak buku beredar yang berupaya memberikan inspirasi dan motivasi bagaimana mengoptimalkan potensi yang dimiliki guru, dan bagaimana mengelola waktu luang untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Bahkan jika “ajaran” ini diamalkan mungkin penghasilan guru bisa lebih besar dari gaji pokok sebagai guru di sekolah dengan tidak mengurangi dedikasi dan profesionalisme sebagai guru.
Buku “Siapa Bilang Jadi Guru Hidupnya Susah?” karangan Hasyim Ashari (April, 2007) misalnya. Sangat banyak ilmu yang dapat dipergunakan guru. Seperti bagaimana menulis buku, menulis di media massa dan menulis untuk lomba-lomba kepenulisan.
Menulis bukanlah bakat istimewa tetapi lebih kepada tekad yang kuat. Intinya, sediakan waktu untuk menulis dan jangan takut menulis. Pada buku ini dijelaskan pula tips bagi yang baru memulai karier sebagai penulis dan tips mengirimkan naskah ke penerbit beserta contoh-contohnya, alamat-alamat email media massa dan penerbit.
Buku yang terkait dengan karya ilmiah dan penelitian tindakan kelas juga semakin banyak. Ini dapat dijadikan rujukan mengikuti lomba-lomba kategori guru. Menurut pengalaman penulis, biasanya lomba ini minim peserta sementara hadiahnya cukup menggiurkan, sementara sertifikat pemenang dapat digunakan untuk sertifikasi.
Akhirnya, sudah saatnya sertifikasi dianggap sebagai anugerah dan tidak perlu ditakuti. Momen itu hanyalah sebuah keniscayaan menuju pengakuan dan penghargaan terhadap profesi guru. Toh, guru-guru yang telah lulus sertifikasi terdahulu telah menikmatinya. Dan berangkatlah menjadi guru bermutu dengan melakukan beberapa kegiatan di atas. Jayalah guru Indonesia.
sumber foto: http://ima.dada.net/image/14910458.jpg
Dahsyatnya Bakso Jamur Shiitake
Oleh: Husamah
(Staf Pengajar di Biologi-FKIP-Univ. Muhammadiyah Malang)
Kota Batu selama ini dikenal sebagai kota apel dan kota bunga. Selain itu kota ini juga memiliki berbagai objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Kondisi pariwisata ini semakin menarik minat karena didukung oleh suhu udara di Batu sangat dingin, karena ia berada di daerah puncak. Namun, saat ini ada hal baru dan berbeda yang menjadi daya tarik kota Batu. Ada apa?
Jika anda suatu ketika pergi ke Batu baik untuk wisata, kunjungan dinas, ataupun acara lain, maka sempatkanlah untuk lewat dan mampir di Jalan Bukit Berbunga. Di sebelah kanan jalan (jika anda datang dari arah alun-alun batu menuju Selekta) atau kiri jalan (jika anda dari arah Mojokerto, Cangar, atau Selekta), dekat dengan Pusat Informasi Wisata Batu, akan anda temui Warung Bakso Zamrud. Bakso ini khas dan bahkan jarang ditemukan ditempat lain.
Bakso biasanya terbuat dari daging. Namun, berbeda dengan bakso buatan Dra. Siti Zaenab, M.Kes, dosen ilmu pangan dan gizi, Jurusan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang. Guna meningkatkan kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi jamur obat, sekaligus tetap membudayakan melestarikan kuliner bakso yang sehat, maka Zaenab menyajikan bakso berbahan jamur obat Shiitake di Warung Zamrud.
Jamur Shiitake (Lentinula edodes) atau jamur Hioko dan sering ditulis sebagai jamur shitake adalah jamur pangan asal Asia Timur yang terkenal di seluruh dunia dengan nama aslinya dalam bahasa Jepang. Shiitake secara harafiah berarti jamur dari pohon Shii (Castanopsis cuspidata) karena batang pohonnya yang sudah lapuk merupakan tempat tumbuh jamur shiitake.
Shiitake juga dikenal dengan nama Jamur hitam China , karena aslinya memang berasal dari daratan Tiongkok dan sudah dibudidayakan sejak 1.000 tahun yang lalu. Sejarah tertulis pertama tentang budidaya shiitake ditulis Wu Sang Kuang di zaman Dinasti Song (960-1127), walaupun jamur ini sudah dimakan orang di daratan Tiongkok sejak tahun 199 Masehi. Di zaman Dinasti Ming (1368-1644), dokter bernama Wu Juei menulis bahwa jamur shiitake bukan hanya bisa digunakan sebagai makanan tapi juga sebagai obat untuk penyakit saluran nafas, melancarkan sirkulasi darah, meredakan gangguan hati, memulihkan kelelahan dan meningkatkan energi chi. Shiitake juga dipercaya dapat mencegah penuaan dini.
Di Hongkong dan Singapura, jamur jenis ini dikenal sebagai chinese black mushroom. Di Indonesia dikenal dengan nama jamur kayu cokelat atau secara umum disebut jamur Shiitake saja. Bangsa Cina percaya bahwa jamur hioko (nama jamur shiitake dalam bahasa Cina) dapat menghilangkan rasa lapar, menghangatkan tubuh saat cuaca dingin serta dapat memperlancar sirkulasi darah di dalam tubuh.
Khusus Jamur Shitake, juga dikenal sebagai bahan pangan yang mempunyai potensi sebagai obat. Untuk mengetahui khasiatnya, di Jepang telah banyak dilakukan penelitian yang intensif mengenai jamur shiitake. Diantaranya, penelitian yang diadakan pada tahun 1970 menemukan bahwa asam amino yang terkandung di dalam jamur shiitake dapat membantu memproses kolesterol di dalam hati. Jamur ini mengandung asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, yaitu; thiamin, riboflavin, niacin, serta beberapa jenis serat dan enzim. Jamur Shiitake juga mengandung ergosterol, yang akan diolah tubuh menjadi vitamin D setelah kulit terkena sinar matahari. Kandungan asam amino jamur shiitake membuatnya berfungsi meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mengatasi gangguan pencernaan, hati, meredakan serangan pilek, dan melancarkan peredaran darah.
Jamur ini dilaporkan mempunyai potensi sebagai antitumor dan antivirus karena mengandung senyawa polisakaridayang dikenal dengan sebutan lentinan. Shitake juga dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol darah dengan aktivitas eritadenin yang dimilikinya. Kandungan asam glutamat pada shitake cukup tinggi. Asam amino tersebut berhubungan dengan cita rasa yang ditimbulkan sebagai penyedap makanan. Selain mempunyai kandungan asam glutamat yang tinggi. Shitake juga mengandung 5 ribu nukleotida dalam jumlah besar 156,5 mg/100 gram.
Akhirnya, bagi anda penggemar bakso sejati, tetapi takut kadar kolesterol meningkat, maka tepat sekali jika mencoba kuliner satu ini. Juga bagi anda yang vegetarian, bakso jamur Shiitake akan menjadi solusi tepat bagi anda. Anda tertarik? Coba saja.
sumber foto: www.greenlivingnow.com/images/Shiitake-Kit-2.jpg
24 Oktober 2009
MENGHINDARI KECURANGAN (BERLAKU UNTUK EKTUM DAN PENGLING)
MENINDAKLANJUTI COMPLAIN DARI MAHASISWA ATAS SISTEM ACC VIA BLOG, TERUTAMA KARENA BANYAKNYA MAHASISWA YANG COPY PASTE & PLAGIASI/DUPLIKASI MAKA MULAI ACC MINGGU DEPAN ADA BEBERAPA HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN:
1. JAWABAN HARUS DISERTAI DAFTAR PUSTAKA: MISALNYA: (Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer. JAWABAN DIAMBIL DAN DIANALSIS DARI http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/Biologi%201.htm)
2. Jika diambil dari pustaka non digital maka tulis sesuai penulisan daftar pustaka:
Teripang telah lama menjadi komoditas perdagangan internasional atau biasa dikenal dengan istilah “beche-de-mer” (Samad, 2000). Samad, M.Y. 2000. Perbaikan Kualitas Produk Industri Kecil Teripang. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, No.3 Vol.2 Juni 2000 Hal. 52-55
3. Penggunaan pustaka yang sama maksimal hanya diperbolehkan untuk dua orang pengirim jawaban pertama, jadi jawaban-jawaban sama dengan sumber yang sama untuk pengirim ketiga dan selanjutnya tidak akan dinilai dan akan dianggap sebagai copy paste dan plagiasi. dalam hal ini, kita menggunakan istilah siapa cepat dia dapat.
4. untuk menghindari hal yang nomor 3, maka periksa dulu jawaban temannya. jangan sampai jawaban dan sumber pustaka anda sama persis.
terima kasih..mohon maaf. kami tunggu respon anda.
HUSAMAH,
1. JAWABAN HARUS DISERTAI DAFTAR PUSTAKA: MISALNYA: (Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer. JAWABAN DIAMBIL DAN DIANALSIS DARI http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/Biologi%201.htm)
2. Jika diambil dari pustaka non digital maka tulis sesuai penulisan daftar pustaka:
Teripang telah lama menjadi komoditas perdagangan internasional atau biasa dikenal dengan istilah “beche-de-mer” (Samad, 2000). Samad, M.Y. 2000. Perbaikan Kualitas Produk Industri Kecil Teripang. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, No.3 Vol.2 Juni 2000 Hal. 52-55
3. Penggunaan pustaka yang sama maksimal hanya diperbolehkan untuk dua orang pengirim jawaban pertama, jadi jawaban-jawaban sama dengan sumber yang sama untuk pengirim ketiga dan selanjutnya tidak akan dinilai dan akan dianggap sebagai copy paste dan plagiasi. dalam hal ini, kita menggunakan istilah siapa cepat dia dapat.
4. untuk menghindari hal yang nomor 3, maka periksa dulu jawaban temannya. jangan sampai jawaban dan sumber pustaka anda sama persis.
terima kasih..mohon maaf. kami tunggu respon anda.
HUSAMAH,
23 Oktober 2009
22 Oktober 2009
SOAL ASISTENSI EKOLOGI TUMBUHAN
Syarat dan ketentuan menjawab:
1. Pastikan informasi tentang anda lengkap: nama, NIM, dan kelas
2. Pastikan anda telah mengumpulkan laporan tepat waktu (letakkan diloker asisten)
3. Pastikan anda menjawab tepat waktu (sesuai deadline)
4. Waktu menjawab soal ini hanya hari Sabtu (maksimal pukul 24.00 WIB Malam). Sistem internet akan menunjukkan waktu anda menjawab, jadi segala bentuk kebohongan akan diketahui
5. Pastikan jawaban anda bukan hasil mengcopy paste dari teman
6. jawablah pertanyaan secara singkat dan jelas
7. untuk pertanggungjawaban, mahasiswa wajib melampirkan Pustaka yang menjadi acuan jawaban (silahkan tulis daftar pustaka, dan alamat website jika diambil dari internet)
SOAL ASISTENSI VIA BLOG:
1. APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN EVAPOTRANSPIRASI (NILAI; 20)
2. JELASKAN PERBEDAAN EVAPORASI, TRANSPIRASI, DAN EVAPOTRANSPIRASI (NILAI 20)
3. APAKAH YANG ANDA KETAHUI TENTANG PETA VEGETASI (NILAI 25)
4. SEBUTKAN ALAT YANG DIGUNAKAN PADA PRAKTIKUM PETA VEGETASI(SEBUTKAN SPESIFIKASI SINGKAT TENTANG ALAT, CARA PENGGUNAAN DAN FUNGSINYA) (NILAI 25)
image source:http://www.srh.noaa.gov/
UNTUK NILAI ACC VIA ONLINE NILAINYA ADALAH: 23,
NILAI INI DAPAT BERUBAH JIKA SUATU SAAT TERDAPAT KEKELIRUAN YANG FATAL/URGEN. SILAHKAN PRINT KOMENTAR INI SEBAGAI BUKTI.
MALANG, 13 NOVEMBER 2009
HUSAMAH (INSTRUKTUR)
1. Pastikan informasi tentang anda lengkap: nama, NIM, dan kelas
2. Pastikan anda telah mengumpulkan laporan tepat waktu (letakkan diloker asisten)
3. Pastikan anda menjawab tepat waktu (sesuai deadline)
4. Waktu menjawab soal ini hanya hari Sabtu (maksimal pukul 24.00 WIB Malam). Sistem internet akan menunjukkan waktu anda menjawab, jadi segala bentuk kebohongan akan diketahui
5. Pastikan jawaban anda bukan hasil mengcopy paste dari teman
6. jawablah pertanyaan secara singkat dan jelas
7. untuk pertanggungjawaban, mahasiswa wajib melampirkan Pustaka yang menjadi acuan jawaban (silahkan tulis daftar pustaka, dan alamat website jika diambil dari internet)
SOAL ASISTENSI VIA BLOG:
1. APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN EVAPOTRANSPIRASI (NILAI; 20)
2. JELASKAN PERBEDAAN EVAPORASI, TRANSPIRASI, DAN EVAPOTRANSPIRASI (NILAI 20)
3. APAKAH YANG ANDA KETAHUI TENTANG PETA VEGETASI (NILAI 25)
4. SEBUTKAN ALAT YANG DIGUNAKAN PADA PRAKTIKUM PETA VEGETASI(SEBUTKAN SPESIFIKASI SINGKAT TENTANG ALAT, CARA PENGGUNAAN DAN FUNGSINYA) (NILAI 25)
image source:http://www.srh.noaa.gov/
UNTUK NILAI ACC VIA ONLINE NILAINYA ADALAH: 23,
NILAI INI DAPAT BERUBAH JIKA SUATU SAAT TERDAPAT KEKELIRUAN YANG FATAL/URGEN. SILAHKAN PRINT KOMENTAR INI SEBAGAI BUKTI.
MALANG, 13 NOVEMBER 2009
HUSAMAH (INSTRUKTUR)
Ketika Langit berwarna Merah Mawar - Tafsir Surat Ar Rahman (55) ayat 37
Ketika Langit berwarna Merah Mawar - Tafsir Surat Ar Rahman (55) ayat 37
Sepertinya kita mesti hati-hati untuk menafsirkan kebenaran ayat al Quran dengan penemuan/data ilmiah. Takut salah...
Ini gambar yang dijadikan rujukan sebagai tafsir dari salah satu ayat dari surat Ar-Rahman:
Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
Dikatakan bahwa gambar ini, yang merupakan hasil tangkapan dari Teleskop ruang angkasa Hubble, menunjukkan bahwa jika nanti bintang meledak, maka hasilnya adalah warna merah seperti mawar. Bahkan dalam beberapa email yang beredar, dinyatakan bahwa seharusnya gambar ini, - sebuah nebula -, seharusnya dinamai 'Oily Red Rose Nebula' (Nebula Mawar Merah yang Berkilap), agar sesuai dengan arti ayat di atas.
Dalam ayat itu disebutkan langit yang terbelah. Apakah ini gambar langit? Sumber dari NASA/Hubble menyatakan bahwa itu adalah hasil ledakan sebuah bintang. Dari bumi, ia hanyalah bagian amat kecil dari langit. Bahkan hampir tak terlihat oleh mata kepala.
Ini gambar yang sama dengan skema warna yang lain. Warna ini lebih mendekati warna kalau dilihat dengan mata atau warna aslinya (referensi 1, 2). Astronomer memberi nama benda angkasa ini Cat's Eye Nebula (Nebula Mata Kucing), karena memang warnanya yang hijau dan bentuknya yang bulat seperti mata kucing.
Dalam situs web Teleskop Hubble sendiri dikatakan bahwa, warna yang tertampil dalam berbagai foto obyek angkasa dari Hubble tidak selamanya menunjukkan warna asli jika dilihat dengan mata. Hubble menggunakan warna untuk berbagai tujuan: menampakkan detail, memperlihatkan struktur tertentu yang tidak bisa dilihat mata, dsb.
"The colors in Hubble images, which are assigned for various reasons, aren't always what we'd see if we were able to visit the imaged objects in a spacecraft. We often use color as a tool, whether it is to enhance an object's detail or to visualize what ordinarily could never be seen by the human eye." (Referensi)
Nah, jadi gimana nih? Merah atau Hijau, warnanya???
Astronomer biasanya "mewarnai" hasil "tangkapan" mereka dengan warna-warna yang bermakna khusus untuk menganalisa komposisi atau struktur dari benda angkasa. Misalnya, pada gambar ini, biru adalah warna untuk pendaran atom Oksigen.
Jadi, jelaslah bahwa warna sebenarnya dari gambar nebula yang dijadikan sebagai bukti dari ayat 37 surat Ar-Rahman tersebut tidaklah merah mawar.
Banyak sekali nebula-nebula seperti ini yang telah ditemukan dan dipelajari oleh para ahli perbintangan. Warna mereka pun sangat beragam. Semuanya menunjukkan kejadian masa lalu, karena apa yang tertangkap oleh teleskop adalah cahaya yang telah mengarungi angkasa ribuan tahun cahaya lamanya. Banyak di antara mereka yang menunjukkan nasib berbagai bintang ketika menemui ajalnya. Namun tak sedikit pula nebula yang merupakan tempat lahirnya bintang-bintang baru.
Cukuplah, menurut saya, gambar ini membuktikan kebesaran Allah, dalam artian bahwa bintang-bintang nantinya akan dihancurkan. Matahari kita juga akan menemui ajalnya kelak. Mungkin dengan ledakan hebat seperti Nebula di atas. Ledakannya, boleh jadi akan melumat bumi dan isinya. Ketika itulah, mungkin, apa yang digambarkan Allah tentang terbelahnya langit terjadi. Dan hal tersebut merupakan perkara kecil dan mudah bagi Allah.
sumber:
http://www.al-habib.info/review/nebula-mawar-merah-surat-ar-rahman.htm
11 Oktober 2009
Perang Melawan Nafsu Korupsi
Oleh: Husamah S.Pd.
(Staf Pengajar Biologi UMM)
Selamat datang di medan perang! Itulah kalimat yang pantas kita kumandangkan saat ini. Tentunya bukan lagi perang melawan penjajah Belanda melainkan perang melawan korupsi.
Telah menjadi fakta yang menyakitkan bahwa pasca reformasi, Indonesia tidak pernah sepi dari pemberitaan kasus korupsi. Tindakan korupsi seperti berkejaran, berkompetisi dari satu kasus ke kasus lainnya. Jumlah kasus-kasus korupsi yang diungkap sudah melampaui kewajaran. Korupsi tidak hanya dil level atas tetapi merambah ke level bawah (grass root). Triliunan uang negara lenyap tanpa bekas.
Saat ini Indonesia telah memasuki suatu keadaan dimana korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral dan telah melewati batas-batas kenormalan. Ironis karena Indonesia mendeklarasikan diri sebagai bangsa beradab, berbasis pada agama-agama yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran.
Tak dapat dipungkiri, rakyatlah yang menjadi korban. Jutaan rakyat berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan karena dana yang sejatinya digunakan untuk kesejahteraan mereka ”dimakan” oleh para pejabat. Korupsi juga telah menjadi salah satu penghambat perkembangan ekonomi.
Menurut Andrew MacIntyre (2004: 42-43) para investor, terutama investor swasta, membutuhkan lembaga hukum yang independen dan efektif untuk membendung laju korupsi dan melindungi hak-hak kekayaan mereka. Jika kontrak-kontrak tidak bisa ditegakkan dengan cara yang konsisten dan jika pemerintah tidak bisa dihindarkan dari tindakan korup dan semena-mena, maka akan beresiko bagi investor. Lingkungan korup yang rakus lalu dimaknai oleh MacIntyre sebagai perilaku yang tidak ramah bagi investasi dan perkembangan ekonomi.
Sudah saatnya kita menggemakan kembali perang melawan korupsi. Dimulai dengan perang melawan nafsu dalam diri yang selalu membujuk untuk berbuat jahat, curang dan mengambil hak rakyat (korup).
Upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung pada sikap, mental dan kebenaran pola pikir kita. Perang melawan korupsi merupakan perluasan dari usaha melawan nafsu diri sendiri. Paling tidak konsepsi ini berangkat dari asumsi bahwa jika semua orang memulai dari dirinya untuk komitmen pada nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan, maka kejujuran itu akan menjelma menjadi kejujuran publik. Kejujuran menjadi suatu norma yang tertanam kuat dalam masyarakat, sehingga korupsi bukan hanya dinilai salah secara hukum, melainkan juga norma agama dan sosial. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Hilaly Basya (2007).
Mampukah kita melawan hawa nafsu? Pertanyaan tersebut mungkin sulit untuk kita jawab. Toh kita sebagai manusia selalu di goda oleh nafsu. Nafsu memang musuh yang terberat bagi kita, karena kita berperang dengan diri kita sendiri. Bukan dengan orang lain. Seringkali kita kalah dengan nafsu kita sendiri, sehingga kita selalu berbuat apa yang dikehendaki nafsu tersebut, seperti banyak contoh disekitar kita.
Namun, menurut hmeat penulis, asal ada niat, apapun dapat dilakukan. Marilah kita selalu menjaga nafsu agar selalu terkendali, agar bisa bermanfaat bagi kita sendiri dan tentu tidak menyakiti orang lain.
Tanamkanlah dalam hati akan makna dan guna kita hidup. Apakah setelah mati kita akan hidup di dunia yang baru lagi? Mari bersama-sama memaknai arti kehidupan ini.
Akhirnya, mari bersama berjuang membumihanguskan korupsi yang telah lama memorakporandakan pilar kehidupan bangsa, hingga kita menjadi bangsa yang terpuruk ke lembah kehinaan paling sempurna. Wallahualam bisshowab.
sumber foto: http://okaaditya.wordpress.com/2008/12/10/anto-korupsi-nge-pop-mau-kemana/
(Staf Pengajar Biologi UMM)
Selamat datang di medan perang! Itulah kalimat yang pantas kita kumandangkan saat ini. Tentunya bukan lagi perang melawan penjajah Belanda melainkan perang melawan korupsi.
Telah menjadi fakta yang menyakitkan bahwa pasca reformasi, Indonesia tidak pernah sepi dari pemberitaan kasus korupsi. Tindakan korupsi seperti berkejaran, berkompetisi dari satu kasus ke kasus lainnya. Jumlah kasus-kasus korupsi yang diungkap sudah melampaui kewajaran. Korupsi tidak hanya dil level atas tetapi merambah ke level bawah (grass root). Triliunan uang negara lenyap tanpa bekas.
Saat ini Indonesia telah memasuki suatu keadaan dimana korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral dan telah melewati batas-batas kenormalan. Ironis karena Indonesia mendeklarasikan diri sebagai bangsa beradab, berbasis pada agama-agama yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran.
Tak dapat dipungkiri, rakyatlah yang menjadi korban. Jutaan rakyat berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan karena dana yang sejatinya digunakan untuk kesejahteraan mereka ”dimakan” oleh para pejabat. Korupsi juga telah menjadi salah satu penghambat perkembangan ekonomi.
Menurut Andrew MacIntyre (2004: 42-43) para investor, terutama investor swasta, membutuhkan lembaga hukum yang independen dan efektif untuk membendung laju korupsi dan melindungi hak-hak kekayaan mereka. Jika kontrak-kontrak tidak bisa ditegakkan dengan cara yang konsisten dan jika pemerintah tidak bisa dihindarkan dari tindakan korup dan semena-mena, maka akan beresiko bagi investor. Lingkungan korup yang rakus lalu dimaknai oleh MacIntyre sebagai perilaku yang tidak ramah bagi investasi dan perkembangan ekonomi.
Sudah saatnya kita menggemakan kembali perang melawan korupsi. Dimulai dengan perang melawan nafsu dalam diri yang selalu membujuk untuk berbuat jahat, curang dan mengambil hak rakyat (korup).
Upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung pada sikap, mental dan kebenaran pola pikir kita. Perang melawan korupsi merupakan perluasan dari usaha melawan nafsu diri sendiri. Paling tidak konsepsi ini berangkat dari asumsi bahwa jika semua orang memulai dari dirinya untuk komitmen pada nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan, maka kejujuran itu akan menjelma menjadi kejujuran publik. Kejujuran menjadi suatu norma yang tertanam kuat dalam masyarakat, sehingga korupsi bukan hanya dinilai salah secara hukum, melainkan juga norma agama dan sosial. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Hilaly Basya (2007).
Mampukah kita melawan hawa nafsu? Pertanyaan tersebut mungkin sulit untuk kita jawab. Toh kita sebagai manusia selalu di goda oleh nafsu. Nafsu memang musuh yang terberat bagi kita, karena kita berperang dengan diri kita sendiri. Bukan dengan orang lain. Seringkali kita kalah dengan nafsu kita sendiri, sehingga kita selalu berbuat apa yang dikehendaki nafsu tersebut, seperti banyak contoh disekitar kita.
Namun, menurut hmeat penulis, asal ada niat, apapun dapat dilakukan. Marilah kita selalu menjaga nafsu agar selalu terkendali, agar bisa bermanfaat bagi kita sendiri dan tentu tidak menyakiti orang lain.
Tanamkanlah dalam hati akan makna dan guna kita hidup. Apakah setelah mati kita akan hidup di dunia yang baru lagi? Mari bersama-sama memaknai arti kehidupan ini.
Akhirnya, mari bersama berjuang membumihanguskan korupsi yang telah lama memorakporandakan pilar kehidupan bangsa, hingga kita menjadi bangsa yang terpuruk ke lembah kehinaan paling sempurna. Wallahualam bisshowab.
sumber foto: http://okaaditya.wordpress.com/2008/12/10/anto-korupsi-nge-pop-mau-kemana/
Me-refresh Pemahaman Bijak Agama tentang HIV/AIDS
(Tinjauan Islam menuju Anti Stigma dan Diskriminasi)
Oleh: Husamah, S.Pd
(Staf Pengajar Biologi Unmuh Malang)
Prolog
Secara global, HIV/AIDS telah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia terkecuali di Indonesia. Satu per satu manusia mati, jumlahnya tidak berkurang namun terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut UNAIDS pada akhir 2005 terdapat 40,3 juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Sebanyak 17,5 juta (43%) diantaranya perempuan dan 2,3 juta (13%) anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
Sejak tahun 2000 Indonesia termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi, yakni terdapat wilayah yang merupakan kantong-kantong dengan prevalansi HIV lebih dari 5%. Wilayah tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Riau, dan Bali (Dinayayati, 2006). UNAIDS/NAC dalam A Review of Vulnerable Populations to HIV and AIDS in Indonesia (2006) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar (73%) adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 dimana HIV/AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia, sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS dan 2.479 di antaranya telah meninggal.
Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena kurangnya pendidikan seks, ketimpangan jender, dan maraknya kasus narkotika serta obat-obat terlarang (KR, 3/05/2004). Sementara Sabrawi menengarai beberapa kondisi yang mempermudah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia antara lain meluasnya industri seks komersial, prevelensi penyakit kelamin tinggi, proses urbanisasi berlangsung cepat dan migran penduduk yang tinggi. Selain itu dipermudah pula oleh hubungan seksual premarital dan ekstramarital, sarana kesehatan tidak selalu melakukan prosedur steril dengan jarum dan peralatan lain serta tes darah transfusi yang belum memenuhi persyaratan di beberapa daerah (Sabrawi, 1999). Selain itu yang perlu menjadi perhatian bersama bahwa berbagai upaya pencegahan atau perang terhadap HIV/AIDS menjadi tidak efektif karena adanya stigma dan diskriminasi masyarakat yang merupakan hambatan terbesar.
Islam dan HIV/AIDS
Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia bahkan jumlahnya terbesar di dunia. Hal ini berarti bahwa posisi Islam sangat potensial bahkan harus terlibat dalam berbagai upaya menyangkut HIV/AIDS. Farid Essack dalam HIV/AIDS and Islam: Reflections based on Compassion, Responsibility, and Justice (2004) menyoroti sikap dan pandangan kaum Muslim pada ODHA. Menurut Essack, ada lima pandangan umum kaum Muslim. Pertama, menyangkal terjadinya kasus HIV/AIDS pada kaum muslim. Mereka ini berpegang pada Islam ideal. Mustahil seorang muslim mempraktekkan hubungan seksual di luar nikah atau menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya, dua jalur utama penularan HIV/AIDS.
Kedua, mendiamkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisional, kaum Muslim sungkan dan tabu membicarakan secara terbuka sesuatu yang terkait dengan seksualitas, termasuk HIV/AIDS.
Ketiga, bingung. Sebagian kaum Muslim bertanya, benarkah penyakit HIV/AIDS merupakan sebentuk hukuman dari Allah? Itukah harga yang harus dibayar akibat dosa-dosa yang diperbuat? Lantas, mengapa di negara-negara maju yang kemaksiatannya merajalela justru terjadi penurunan jumlah ODHA?
Keempat, menyingkirkan. Pergi jauh-jauh dari kami! Pandangan ini erat kaitannya dengan stigma bahwa ODHA adalah pelaku promiskuitas seksual.
Kelima, memberi simpati. Kaum muslim yang memilih sikap ini berpandangan bahwa infeksi HIV bukanlah akhir segalanya. Orang yang terinfeksi tetap bisa menjalani hidup. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang Muslim yang baik, sama seperti Muslim lainnya. Sayangnya, kaum Muslim yang berada pada posisi kelima ini jumlahnya sangat sedikit bahkan langka.
Pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah bagaimanakah sikap masyarakat Muslim di Indonesia? Rupanya kutukan sebagai penyakit kaum pendosa itu secara kompak diamini oleh pemuka agama Islam. Seakan menutup mata, banyak di antara pemuka agama Islam-tentunya diikuti oleh para pemeluknya-yang tetap bersikukuh menolak cara-cara pencegahan, yang disebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ironisnya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu sikap pemuka agama yang diikuti pengikutnya menambah penderitaan ODHA dan keluarganya.
Ketidaktahuan pemeluk agama menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang terutama tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi pengucilan terhadap ODHA kemungkinan karena kekhawatiran akan tertular penyakit ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini. Selain itu sebagai kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang menanggung akibat dari tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA pun dianggap sebagai bagian dari 'orang yang amoral' atau orang yang setuju dengan tindakan-tindakan amoral. Ternyata prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya muncul anggapan pemikiran bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah moral. Masalah menjadi berlarut-larut karena tokoh masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama) membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap HIV/AIDS.
Akibat aksi “penghukuman” masyarakat ini, jarang orang yang beresiko tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain. Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka.
Langkah ke Depan: Me-refresh Pemahaman
Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis sehingga lembaga-lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun terhadap masalah ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial yang penting diperhatikan sebagai upaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan ODHA. Mutlak dibutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk Islam untuk bersama-sama menghadapi masalah terkait dengan kualitas hidup manusia dan komunitasnya.
UNICEF pada 2004 telah menerbitkan buku berjudul Apa yang Dapat Diperbuat Para Pemuka Agama Terhadap Masalah HIV/AIDS? UNICEF menyatakan HIV/AIDS merupakan krisis spiritual, sosial, ekonomi dan politik yang sangat besar dan semakin menjadi permasalahan bagi kaum muda. Penanganan HIV/AIDS dan stigma yang mendorong penyebarannya merupakan salah satu tantangan terbesar dihadapi dewasa ini. Hal ini membutuhkan keberanian, komitmen dan kepemimpinan di semua tingkatan, khususnya di kalangan para pemuka agama yang dapat menggunakan kepercayaan dan wibawanya dalam komunitas mereka untuk merubah arah pandemik.
Dalam merespon tantangan ini, para pemuka agama Islam harus menyegarkan kembali (refresh) cara pandang dan pemahaman mereka dalam menghadapi krisis HIV/AIDS, agar mampu menjadi suatu kekuatan perubahan dalam upaya menyembuhkan, memberi harapan, dan mendampingi ODHA. Bukankah Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin)? Bukankah Islam memiliki seperangkat tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat?
Menurut Anshor (2004) salah satu tata nilai yang dimiliki Islam adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Dalam Al-Qur'an surat Al Isra ayat 70 disebutkan "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".
Pandangan pemuka agama Islam yang meyakini bahwa fenomena HIV/AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual (QS. Al-A'raf: 80-84 dan QS An Naml: 56) harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Pandangan kontroversial mengenai kondom yang dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya harus diakhiri. Pandangan tersebut justru tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom berarti membiarkan penularan HIV. Jika hubungan seksual dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibandingkan menggunakan kondom.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.
Selain itu, dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS karena termasuk yang rentan tertular HIV/AIDS.
Epilog
Saat ini Indonesia “mungkin” masih beruntung karena HIV/AIDS belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun, epidemi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi. Menurut estimasi nasional, orang yang tertular HIV akan menjadi jutaan orang dalam 10 tahun ke depan kalau kita tidak melakukan upaya penanggulangan yang serius serta didukung oleh semua pihak. Kondisi ini berbahaya terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan.
Jika keadaan di atas masih belum juga dianggap sebagai suatu persoalan bersama semua pihak termasuk pemeluk agama Islam maka dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa-masa mendatang. Oleh karena itu patutlah disadari dan aktualkan kembali pentingnya peran agama untuk mengatasi masalah HIV/AIDS. Tentunya semua kembali kepada itikad baik dan komitmen para pemuka agama tersebut untuk melaksanakannya. Semoga saja.
sumber foto: maziman.files.wordpress.com/.../peduli-aids.jpg
Oleh: Husamah, S.Pd
(Staf Pengajar Biologi Unmuh Malang)
Prolog
Secara global, HIV/AIDS telah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia terkecuali di Indonesia. Satu per satu manusia mati, jumlahnya tidak berkurang namun terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut UNAIDS pada akhir 2005 terdapat 40,3 juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia. Sebanyak 17,5 juta (43%) diantaranya perempuan dan 2,3 juta (13%) anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
Sejak tahun 2000 Indonesia termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi, yakni terdapat wilayah yang merupakan kantong-kantong dengan prevalansi HIV lebih dari 5%. Wilayah tersebut yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Riau, dan Bali (Dinayayati, 2006). UNAIDS/NAC dalam A Review of Vulnerable Populations to HIV and AIDS in Indonesia (2006) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar (73%) adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 dimana HIV/AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia, sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS dan 2.479 di antaranya telah meninggal.
Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena kurangnya pendidikan seks, ketimpangan jender, dan maraknya kasus narkotika serta obat-obat terlarang (KR, 3/05/2004). Sementara Sabrawi menengarai beberapa kondisi yang mempermudah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia antara lain meluasnya industri seks komersial, prevelensi penyakit kelamin tinggi, proses urbanisasi berlangsung cepat dan migran penduduk yang tinggi. Selain itu dipermudah pula oleh hubungan seksual premarital dan ekstramarital, sarana kesehatan tidak selalu melakukan prosedur steril dengan jarum dan peralatan lain serta tes darah transfusi yang belum memenuhi persyaratan di beberapa daerah (Sabrawi, 1999). Selain itu yang perlu menjadi perhatian bersama bahwa berbagai upaya pencegahan atau perang terhadap HIV/AIDS menjadi tidak efektif karena adanya stigma dan diskriminasi masyarakat yang merupakan hambatan terbesar.
Islam dan HIV/AIDS
Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia bahkan jumlahnya terbesar di dunia. Hal ini berarti bahwa posisi Islam sangat potensial bahkan harus terlibat dalam berbagai upaya menyangkut HIV/AIDS. Farid Essack dalam HIV/AIDS and Islam: Reflections based on Compassion, Responsibility, and Justice (2004) menyoroti sikap dan pandangan kaum Muslim pada ODHA. Menurut Essack, ada lima pandangan umum kaum Muslim. Pertama, menyangkal terjadinya kasus HIV/AIDS pada kaum muslim. Mereka ini berpegang pada Islam ideal. Mustahil seorang muslim mempraktekkan hubungan seksual di luar nikah atau menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya, dua jalur utama penularan HIV/AIDS.
Kedua, mendiamkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisional, kaum Muslim sungkan dan tabu membicarakan secara terbuka sesuatu yang terkait dengan seksualitas, termasuk HIV/AIDS.
Ketiga, bingung. Sebagian kaum Muslim bertanya, benarkah penyakit HIV/AIDS merupakan sebentuk hukuman dari Allah? Itukah harga yang harus dibayar akibat dosa-dosa yang diperbuat? Lantas, mengapa di negara-negara maju yang kemaksiatannya merajalela justru terjadi penurunan jumlah ODHA?
Keempat, menyingkirkan. Pergi jauh-jauh dari kami! Pandangan ini erat kaitannya dengan stigma bahwa ODHA adalah pelaku promiskuitas seksual.
Kelima, memberi simpati. Kaum muslim yang memilih sikap ini berpandangan bahwa infeksi HIV bukanlah akhir segalanya. Orang yang terinfeksi tetap bisa menjalani hidup. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang Muslim yang baik, sama seperti Muslim lainnya. Sayangnya, kaum Muslim yang berada pada posisi kelima ini jumlahnya sangat sedikit bahkan langka.
Pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah bagaimanakah sikap masyarakat Muslim di Indonesia? Rupanya kutukan sebagai penyakit kaum pendosa itu secara kompak diamini oleh pemuka agama Islam. Seakan menutup mata, banyak di antara pemuka agama Islam-tentunya diikuti oleh para pemeluknya-yang tetap bersikukuh menolak cara-cara pencegahan, yang disebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ironisnya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu sikap pemuka agama yang diikuti pengikutnya menambah penderitaan ODHA dan keluarganya.
Ketidaktahuan pemeluk agama menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang terutama tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi pengucilan terhadap ODHA kemungkinan karena kekhawatiran akan tertular penyakit ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini. Selain itu sebagai kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang menanggung akibat dari tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA pun dianggap sebagai bagian dari 'orang yang amoral' atau orang yang setuju dengan tindakan-tindakan amoral. Ternyata prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya muncul anggapan pemikiran bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah moral. Masalah menjadi berlarut-larut karena tokoh masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama) membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap HIV/AIDS.
Akibat aksi “penghukuman” masyarakat ini, jarang orang yang beresiko tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain. Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka.
Langkah ke Depan: Me-refresh Pemahaman
Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis sehingga lembaga-lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun terhadap masalah ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial yang penting diperhatikan sebagai upaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan ODHA. Mutlak dibutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk Islam untuk bersama-sama menghadapi masalah terkait dengan kualitas hidup manusia dan komunitasnya.
UNICEF pada 2004 telah menerbitkan buku berjudul Apa yang Dapat Diperbuat Para Pemuka Agama Terhadap Masalah HIV/AIDS? UNICEF menyatakan HIV/AIDS merupakan krisis spiritual, sosial, ekonomi dan politik yang sangat besar dan semakin menjadi permasalahan bagi kaum muda. Penanganan HIV/AIDS dan stigma yang mendorong penyebarannya merupakan salah satu tantangan terbesar dihadapi dewasa ini. Hal ini membutuhkan keberanian, komitmen dan kepemimpinan di semua tingkatan, khususnya di kalangan para pemuka agama yang dapat menggunakan kepercayaan dan wibawanya dalam komunitas mereka untuk merubah arah pandemik.
Dalam merespon tantangan ini, para pemuka agama Islam harus menyegarkan kembali (refresh) cara pandang dan pemahaman mereka dalam menghadapi krisis HIV/AIDS, agar mampu menjadi suatu kekuatan perubahan dalam upaya menyembuhkan, memberi harapan, dan mendampingi ODHA. Bukankah Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin)? Bukankah Islam memiliki seperangkat tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat?
Menurut Anshor (2004) salah satu tata nilai yang dimiliki Islam adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka tidak boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Dalam Al-Qur'an surat Al Isra ayat 70 disebutkan "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".
Pandangan pemuka agama Islam yang meyakini bahwa fenomena HIV/AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual (QS. Al-A'raf: 80-84 dan QS An Naml: 56) harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS supaya tidak dianggap sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Pandangan kontroversial mengenai kondom yang dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya harus diakhiri. Pandangan tersebut justru tidak menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa kondom berarti membiarkan penularan HIV. Jika hubungan seksual dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih berbahaya (madlarat) dibandingkan menggunakan kondom.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.
Selain itu, dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS karena termasuk yang rentan tertular HIV/AIDS.
Epilog
Saat ini Indonesia “mungkin” masih beruntung karena HIV/AIDS belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun, epidemi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi. Menurut estimasi nasional, orang yang tertular HIV akan menjadi jutaan orang dalam 10 tahun ke depan kalau kita tidak melakukan upaya penanggulangan yang serius serta didukung oleh semua pihak. Kondisi ini berbahaya terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan.
Jika keadaan di atas masih belum juga dianggap sebagai suatu persoalan bersama semua pihak termasuk pemeluk agama Islam maka dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa-masa mendatang. Oleh karena itu patutlah disadari dan aktualkan kembali pentingnya peran agama untuk mengatasi masalah HIV/AIDS. Tentunya semua kembali kepada itikad baik dan komitmen para pemuka agama tersebut untuk melaksanakannya. Semoga saja.
sumber foto: maziman.files.wordpress.com/.../peduli-aids.jpg
Jebakan Egoisme Kekuasaan dalam Labirin Agama
Oleh: Husamah S.Pd*)
Staf Pengajar di Pendidikan Biologi-FKIP-Unmuh Malang
Flashback
Visi NKRI seperti ditegaskan UUD 1945 adalah menjaga kesatuan wilayah tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan sosial, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi meskipun dalam bingkai kebhinnekaan. Suparlan (2002) mengingatkan pula bahwa cita-cita reformasi yang selama ini meminta ongkos mahal adalah membangun kembali tatanan kehidupan masyarakat yang telah diruntuhkan oleh Orde Baru. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah Indonesia Baru.
Namun lambat laun, visi dan cita itu semakin tergerus dan hilang. Kemaruk kekuasaan telah menguasai mental para pemimpin dan politisi sehingga memecah-belah persatuan bangsa. Hal ini mereka lakukan dengan cara memanipulasi kesenjangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan memasuki labirin agama untuk melanggengkan kekuasaan.
Inilah fakta Indonesia. Menurut Asy’arie (2003) kecenderungan egoisme politik yang semula bersifat individual seperti gelombang air bah yang sulit dibendung terus bergerak meluas pada kelompok-kelompok masyarakat. Akibatnya, aktivitas politik mengesahkan cara-cara kontra etika, seperti ancaman dan teror, fitnah, bahkan pembunuhan politik, seakan segala cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan. Agama yang semula diharapkan dapat menegakkan etika politik dan menyadarkan pemeluknya untuk menjauhi egoisme kekuasaan ternyata terseret dan terjebak. Agama dijebak dan dibajak untuk menjadi bagian realitas politik kekuasaan itu sendiri. Dalil-dalil dan identitas agama dijadikan alat untuk mensyahkan bisnis kekuasaan yang berujung pada tindak korupsi, kenyamanan dan eksistensi kelompok atau golongan.
Seiring dengan timbulnya krisis multidimensional tersebut, mencuat berbagai kritik dan sorotan menyangkut agama dalam hubungannya dengan kekuasaan. Berbicara tentang agama di Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan alasan statistik, demografis, dan sosiologis, dimana umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa keterjebakan agama oleh egoisme kekuasaan tidak lain keterjebakan agama Islam itu sendiri. Selanjutnya diskusi tentang agama dan kekusaan tidak akan terlepas dari partai politik khususnya partai politik berlabel Islam yang selama ini banyak memanfaatkan lembaga Islam, tokoh Islam, dan semua yang “berbau” Islam.
Tulisan ini hanya akan fokus pada diskusi mengenai jebakan egoisme kekuasaan partai politik berlabel Islam dalam labirin agama. Sesungguhnya, penulis menyadari keterbatasan untuk menjawab dengan baik topik tersebut. Meskipun demikian, paling tidak, tulisan ini berusaha sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah.
Jebakan Egoisme Kekuasaan
Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Invasi partai politik ke dalam agama bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya. Ada suatu asumsi yang dilandasi pemikiran kritis bahwa agama dan segala atributnya sangat laku keras dijual kepada umat. Hal ini disebabkan agama memiliki unsur sentimen kuat dalam mengikat semua aspirasi umat agar mudah dibawa kemana saja, termasuk untuk memenangkan kepentingan tertentu, dengan menggunakan pendekatan bahasa agama. Noorsena (1999) menjelaskan banyak ahli sepakat adanya kaitan sangat erat antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama tersubordinasi di bawah egoisme kekuasaan, di sana ia gagal menjalankan fungsi profetis atau kenabiannya, lalu menjelma sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu golongan.
Pada saat bersamaan pula nantinya setelah peran berhasil dimainkan, cepat atau lambat agama akan dimandulkan. Ini dilakukan agar tidak menghalangi kepentingan yaitu berusaha mengeksploitasi kemanusiaan dan selalu dilakukan politikus untuk memenuhi segala ambisi politik. Di sini sangat jelas terlihat ada kesan kuat politisasi agama untuk mencapai kepentingan tertentu. Dalam bahasa sedikit ekstrim, agama dijebak lalu “ditunggangi” untuk mencapai target tertentu yang sangat jelas tidak pernah direstui agama itu sendiri. Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, sangat potensial dijadikan legitimasi kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada ummat. Sejarah perkembangan agama-agama besar sendiri telah membuktikan hal itu.
Sebenarnya, penggunaan bahasa agama untuk kepentingan politik bukanlah hal baru. Perhelatan politik simbol juga pernah terjadi pada awal Islam. Misalnya, pada akhir pemerintahan Khulafaurrasidin, Ali Bin Abi Thalib, yaitu dalam perang antara Ali sebagai Khalifah dan Muawiyah. Ketika pasukannya terdesak, Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an dan berseru agar menjadikan Kitab Allah (Al-Qur’an) sebagai arbitrase atau tahkim. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kebenaran Ilahi dipertaruhkan dalam peperangan tersebut.
Pemaparan gamblang tentang kasus serupa bisa dilihat dalam uraian-uraian Rafiq Zakaria dalam The Struggle within Islam dan buku baru Mahmoud Ayoub, The Crisis of Muslim History; Religion and Politics in Early Islam yang menyoroti bagaimana kisruhnya suksesi di awal sejarah Islam karena memang tidak ditemukannya formula baku suksesi. Di Barat, pada abad pertengahan, pernah terjadi agama menjadi alat legitimasi kekuasaan raja-raja absolut. Untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya, raja-raja di Barat mendekati kelompok agama agar mau menjustifikasi posisinya. Dalam hal ini, terjadilah tawar-menawar antara kedua kekuasaan tersebut. Kelompok agama mendapatkan imbalan berupa sumbangan tanah untuk kepentingan keagamaan.
Agus Maftuh Abegebriel dalam Teologi Kekuasaan (2007) menegaskan politisasi agama dan politisasi religious texts tidak hanya merupakan penafikan terhadap nilai teks-teks suci agama, tetapi justru merupakan distorsi yang akan membajak dan menjebak agama jatuh pada jurang homogenisasi dan hegemonisasi. Kegelisahan yang sama juga dirasakan Khaled Abou el Fadl dalam buku With God on Our Side (2006) dimana semakin maraknya politisasi agama dan memperlakukan agama sebagai alat (tools) ideologis untuk meraih sebuah kekuasaan merupakan pemaksaan agama sebagai theology of power (teologi kekuasaan). Penggunaan isu agama yang berlebihan bisa menyeret agama ke dalam politik kepentingan tertentu. Agama menjadi alat untuk mencapai puncak kekuasaan. Agama bukan menjadi faktor penentu yang mengarahkan etika politik pihak-pihak berkepentingan. Agama yang seharusnya ditempatkan pada posisi tinggi dan terhormat terkontaminasi kepentingan-kepentingan sesaat. Hal itu tentu sangat berbahaya bagi agama tersebut.
Menurut Bahar dalam essainya Agama dan Kekuasaan (2008) dalam kacamata Islam, tidak sesuainya antara simbol yang dipakai dengan perilaku, maka dapat digolongkan sebagai perilaku munafik. Munafik berarti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Karena tidak sesuai antara perbuatan dengan niat, atau niatnya tidak seperti perbuatannya. Itulah perilaku sebagaimana dilansir dalam Al-Qur’an (63:4); “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendegarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar (diumpamakan seperti kayu yang tersandar, meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong, tidak dapat memahami kebenaran). Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)”.
Lebih lanjut Bahar (2008) menguraikan bahwa perilaku menjadikan agama sebagai simbol meraih kekuasaan adalah munafik. Islam dipahami sekedar sarana untuk meraih sesuatu dan bila sudah didapatkan, percayalah mereka mengingkarinya. Mereka mengaku Islam, diberi nama islamis, namun dalam perilakunya sering mencampur-aduk antara yang hak dengan kebatilan. Mereka-mereka yang dikagumi berkopiah, berpeci ’haji‘, berjenggot, mengucapkan puji syukur pada Allah, mengucapkan assalamualaikum dengan fasihnya, tetapi hatinya benar-benar kosong.
Titik Temu
Ada suatu teori yang dikemukakan oleh Harry J. Benda, bahwa dalam Islam batas antara agama dan politik, termasuk juga kekuasaan, sangat tipis. Pemisahan agama dan politik hanya merupakan gejala sementara, yaitu ketika Islam berada dalam masa kemerosotan atau kemundurannya. Tapi, dalam masa kebangkitan dan kejayaan Islam pemisahan antara agama dan politik tidak akan berlangsung lama. Teori ini, menurut Khozin dalam bukunya Refleksi Keberagamaan (2004) sebenarnya merupakan peringatan kepada kita bahwa umat Islam tidak akan pernah bisa dijauhkan dari urusan politik. Persoalannya, bagaimana agar setiap bentuk kedekatan dan keterlibatan umat Islam dalam politik praktis itu dapat memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan umat di negeri ini. Belajar dari sejarah, partai-partai berlabel Islam ternyata gagal memperjuangkan aspirasi umat Islam secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Dalam proses politik kenegaraan mereka juga tidak memantulkan etika dan moralitas, tidak mampu membangun image positif, kehilangan daya tarik dan dinamikanya.
Oliver Roy dalam The Failure of Political Islam telah memvonis gagal pada gerakan Islam politik, dilatarbelakangi oleh empat faktor dasar. Pertama, tidak adanya konsep yang jelas dalam penyelesaian masalah kemanusiaan (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Kedua, konsep masyarakat yang semu dan suram. Ketiga, masifikasi paham kebencian terhadap kelompok lain. Keempat, hilangnya ruang dan otentisitas keagamaan (Mizrawi; 2004). Jika karakter seperti itu masih tetap dipertahankan, maka gerakan Islam politik akan mudah terkubur oleh artikulasi politik kontemporer yang kian dimanis.
Gerbong Islam politik di Indonesia terbukti tidak mampu mengartikulasikan secara apik terkait kebijakan ideologis Islam yang mereka gunakan sebagai isu utama. Selalu saja partai politik itu berkoar-koar bahwa Islam adalah solusi. Tetapi bagaimana pola aplikasi dari kata solusi itu tetap juga tidak jelas, alias kabur. Partai politik berlabel Islam kesulitan untuk menjaga fatsoen politik di hadapan rakyat yang teraniaya. Kadar idealisme juga rapuh dan mudah dilumpuhkan oleh kepentingan- kepentingan sempit. Visi politik sebagai alat untuk mengagregasi kepentingan rakyat tampak begitu mudah terpasung oleh ambisi dan kepentingan elit. Partai politik berlabel Islam juga gemar memanfaatkan agama sebagai alat pemuas birahi kekuasaan, ketimbang sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Dalam sejumlah pengambilan kebijakan publik yang bersifat populis, mereka cenderung bersikap tidak konsisten. Saat di depan berani berkoar-koar, namun di belakang tetap bertekuk lutut di hadapan pemegang kekuasaan.
Akhirnya, partai politik berlabel Islam harus bisa merevisi politik simbol menjadi politik substansi. Upaya revitalisasi paradigma politik Islam yang lebih kontekstual dirasa kian penting agar gerbong Islam politik tidak terjebak dalam wacana politik Islam konvensional yang dijiplak dari tradisi perpolitikan Timur Tengah. Artikulasi politik substantif itu bisa dilakukan dengan menjabarkan secara jelas visi keislaman ke dalam program dan kerja politik yang relevan. Toh kerakusan dalam berpolitik justru akan menjadi boomerang yang siap menghantam bangunan karakter partai yang telah terbentuk secara mapan. Partai politik berlabel Islam harus bisa menyajikan kemungkinan lain bagi penilaian publik terhadap keberadaan mereka yang tidak sekadar menjadi subordinasi kekuasaan. Wallaahua’lam bisshowab.
sumber foto: http://www.jewishjournal.com/thegodblog/2007/12/P24/
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_speculative_fiction
Staf Pengajar di Pendidikan Biologi-FKIP-Unmuh Malang
Flashback
Visi NKRI seperti ditegaskan UUD 1945 adalah menjaga kesatuan wilayah tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan sosial, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi meskipun dalam bingkai kebhinnekaan. Suparlan (2002) mengingatkan pula bahwa cita-cita reformasi yang selama ini meminta ongkos mahal adalah membangun kembali tatanan kehidupan masyarakat yang telah diruntuhkan oleh Orde Baru. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah Indonesia Baru.
Namun lambat laun, visi dan cita itu semakin tergerus dan hilang. Kemaruk kekuasaan telah menguasai mental para pemimpin dan politisi sehingga memecah-belah persatuan bangsa. Hal ini mereka lakukan dengan cara memanipulasi kesenjangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan memasuki labirin agama untuk melanggengkan kekuasaan.
Inilah fakta Indonesia. Menurut Asy’arie (2003) kecenderungan egoisme politik yang semula bersifat individual seperti gelombang air bah yang sulit dibendung terus bergerak meluas pada kelompok-kelompok masyarakat. Akibatnya, aktivitas politik mengesahkan cara-cara kontra etika, seperti ancaman dan teror, fitnah, bahkan pembunuhan politik, seakan segala cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan. Agama yang semula diharapkan dapat menegakkan etika politik dan menyadarkan pemeluknya untuk menjauhi egoisme kekuasaan ternyata terseret dan terjebak. Agama dijebak dan dibajak untuk menjadi bagian realitas politik kekuasaan itu sendiri. Dalil-dalil dan identitas agama dijadikan alat untuk mensyahkan bisnis kekuasaan yang berujung pada tindak korupsi, kenyamanan dan eksistensi kelompok atau golongan.
Seiring dengan timbulnya krisis multidimensional tersebut, mencuat berbagai kritik dan sorotan menyangkut agama dalam hubungannya dengan kekuasaan. Berbicara tentang agama di Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan alasan statistik, demografis, dan sosiologis, dimana umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa keterjebakan agama oleh egoisme kekuasaan tidak lain keterjebakan agama Islam itu sendiri. Selanjutnya diskusi tentang agama dan kekusaan tidak akan terlepas dari partai politik khususnya partai politik berlabel Islam yang selama ini banyak memanfaatkan lembaga Islam, tokoh Islam, dan semua yang “berbau” Islam.
Tulisan ini hanya akan fokus pada diskusi mengenai jebakan egoisme kekuasaan partai politik berlabel Islam dalam labirin agama. Sesungguhnya, penulis menyadari keterbatasan untuk menjawab dengan baik topik tersebut. Meskipun demikian, paling tidak, tulisan ini berusaha sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah.
Jebakan Egoisme Kekuasaan
Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Invasi partai politik ke dalam agama bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya. Ada suatu asumsi yang dilandasi pemikiran kritis bahwa agama dan segala atributnya sangat laku keras dijual kepada umat. Hal ini disebabkan agama memiliki unsur sentimen kuat dalam mengikat semua aspirasi umat agar mudah dibawa kemana saja, termasuk untuk memenangkan kepentingan tertentu, dengan menggunakan pendekatan bahasa agama. Noorsena (1999) menjelaskan banyak ahli sepakat adanya kaitan sangat erat antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama tersubordinasi di bawah egoisme kekuasaan, di sana ia gagal menjalankan fungsi profetis atau kenabiannya, lalu menjelma sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu golongan.
Pada saat bersamaan pula nantinya setelah peran berhasil dimainkan, cepat atau lambat agama akan dimandulkan. Ini dilakukan agar tidak menghalangi kepentingan yaitu berusaha mengeksploitasi kemanusiaan dan selalu dilakukan politikus untuk memenuhi segala ambisi politik. Di sini sangat jelas terlihat ada kesan kuat politisasi agama untuk mencapai kepentingan tertentu. Dalam bahasa sedikit ekstrim, agama dijebak lalu “ditunggangi” untuk mencapai target tertentu yang sangat jelas tidak pernah direstui agama itu sendiri. Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, sangat potensial dijadikan legitimasi kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada ummat. Sejarah perkembangan agama-agama besar sendiri telah membuktikan hal itu.
Sebenarnya, penggunaan bahasa agama untuk kepentingan politik bukanlah hal baru. Perhelatan politik simbol juga pernah terjadi pada awal Islam. Misalnya, pada akhir pemerintahan Khulafaurrasidin, Ali Bin Abi Thalib, yaitu dalam perang antara Ali sebagai Khalifah dan Muawiyah. Ketika pasukannya terdesak, Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an dan berseru agar menjadikan Kitab Allah (Al-Qur’an) sebagai arbitrase atau tahkim. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kebenaran Ilahi dipertaruhkan dalam peperangan tersebut.
Pemaparan gamblang tentang kasus serupa bisa dilihat dalam uraian-uraian Rafiq Zakaria dalam The Struggle within Islam dan buku baru Mahmoud Ayoub, The Crisis of Muslim History; Religion and Politics in Early Islam yang menyoroti bagaimana kisruhnya suksesi di awal sejarah Islam karena memang tidak ditemukannya formula baku suksesi. Di Barat, pada abad pertengahan, pernah terjadi agama menjadi alat legitimasi kekuasaan raja-raja absolut. Untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya, raja-raja di Barat mendekati kelompok agama agar mau menjustifikasi posisinya. Dalam hal ini, terjadilah tawar-menawar antara kedua kekuasaan tersebut. Kelompok agama mendapatkan imbalan berupa sumbangan tanah untuk kepentingan keagamaan.
Agus Maftuh Abegebriel dalam Teologi Kekuasaan (2007) menegaskan politisasi agama dan politisasi religious texts tidak hanya merupakan penafikan terhadap nilai teks-teks suci agama, tetapi justru merupakan distorsi yang akan membajak dan menjebak agama jatuh pada jurang homogenisasi dan hegemonisasi. Kegelisahan yang sama juga dirasakan Khaled Abou el Fadl dalam buku With God on Our Side (2006) dimana semakin maraknya politisasi agama dan memperlakukan agama sebagai alat (tools) ideologis untuk meraih sebuah kekuasaan merupakan pemaksaan agama sebagai theology of power (teologi kekuasaan). Penggunaan isu agama yang berlebihan bisa menyeret agama ke dalam politik kepentingan tertentu. Agama menjadi alat untuk mencapai puncak kekuasaan. Agama bukan menjadi faktor penentu yang mengarahkan etika politik pihak-pihak berkepentingan. Agama yang seharusnya ditempatkan pada posisi tinggi dan terhormat terkontaminasi kepentingan-kepentingan sesaat. Hal itu tentu sangat berbahaya bagi agama tersebut.
Menurut Bahar dalam essainya Agama dan Kekuasaan (2008) dalam kacamata Islam, tidak sesuainya antara simbol yang dipakai dengan perilaku, maka dapat digolongkan sebagai perilaku munafik. Munafik berarti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Karena tidak sesuai antara perbuatan dengan niat, atau niatnya tidak seperti perbuatannya. Itulah perilaku sebagaimana dilansir dalam Al-Qur’an (63:4); “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendegarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar (diumpamakan seperti kayu yang tersandar, meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong, tidak dapat memahami kebenaran). Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)”.
Lebih lanjut Bahar (2008) menguraikan bahwa perilaku menjadikan agama sebagai simbol meraih kekuasaan adalah munafik. Islam dipahami sekedar sarana untuk meraih sesuatu dan bila sudah didapatkan, percayalah mereka mengingkarinya. Mereka mengaku Islam, diberi nama islamis, namun dalam perilakunya sering mencampur-aduk antara yang hak dengan kebatilan. Mereka-mereka yang dikagumi berkopiah, berpeci ’haji‘, berjenggot, mengucapkan puji syukur pada Allah, mengucapkan assalamualaikum dengan fasihnya, tetapi hatinya benar-benar kosong.
Titik Temu
Ada suatu teori yang dikemukakan oleh Harry J. Benda, bahwa dalam Islam batas antara agama dan politik, termasuk juga kekuasaan, sangat tipis. Pemisahan agama dan politik hanya merupakan gejala sementara, yaitu ketika Islam berada dalam masa kemerosotan atau kemundurannya. Tapi, dalam masa kebangkitan dan kejayaan Islam pemisahan antara agama dan politik tidak akan berlangsung lama. Teori ini, menurut Khozin dalam bukunya Refleksi Keberagamaan (2004) sebenarnya merupakan peringatan kepada kita bahwa umat Islam tidak akan pernah bisa dijauhkan dari urusan politik. Persoalannya, bagaimana agar setiap bentuk kedekatan dan keterlibatan umat Islam dalam politik praktis itu dapat memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan umat di negeri ini. Belajar dari sejarah, partai-partai berlabel Islam ternyata gagal memperjuangkan aspirasi umat Islam secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Dalam proses politik kenegaraan mereka juga tidak memantulkan etika dan moralitas, tidak mampu membangun image positif, kehilangan daya tarik dan dinamikanya.
Oliver Roy dalam The Failure of Political Islam telah memvonis gagal pada gerakan Islam politik, dilatarbelakangi oleh empat faktor dasar. Pertama, tidak adanya konsep yang jelas dalam penyelesaian masalah kemanusiaan (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Kedua, konsep masyarakat yang semu dan suram. Ketiga, masifikasi paham kebencian terhadap kelompok lain. Keempat, hilangnya ruang dan otentisitas keagamaan (Mizrawi; 2004). Jika karakter seperti itu masih tetap dipertahankan, maka gerakan Islam politik akan mudah terkubur oleh artikulasi politik kontemporer yang kian dimanis.
Gerbong Islam politik di Indonesia terbukti tidak mampu mengartikulasikan secara apik terkait kebijakan ideologis Islam yang mereka gunakan sebagai isu utama. Selalu saja partai politik itu berkoar-koar bahwa Islam adalah solusi. Tetapi bagaimana pola aplikasi dari kata solusi itu tetap juga tidak jelas, alias kabur. Partai politik berlabel Islam kesulitan untuk menjaga fatsoen politik di hadapan rakyat yang teraniaya. Kadar idealisme juga rapuh dan mudah dilumpuhkan oleh kepentingan- kepentingan sempit. Visi politik sebagai alat untuk mengagregasi kepentingan rakyat tampak begitu mudah terpasung oleh ambisi dan kepentingan elit. Partai politik berlabel Islam juga gemar memanfaatkan agama sebagai alat pemuas birahi kekuasaan, ketimbang sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Dalam sejumlah pengambilan kebijakan publik yang bersifat populis, mereka cenderung bersikap tidak konsisten. Saat di depan berani berkoar-koar, namun di belakang tetap bertekuk lutut di hadapan pemegang kekuasaan.
Akhirnya, partai politik berlabel Islam harus bisa merevisi politik simbol menjadi politik substansi. Upaya revitalisasi paradigma politik Islam yang lebih kontekstual dirasa kian penting agar gerbong Islam politik tidak terjebak dalam wacana politik Islam konvensional yang dijiplak dari tradisi perpolitikan Timur Tengah. Artikulasi politik substantif itu bisa dilakukan dengan menjabarkan secara jelas visi keislaman ke dalam program dan kerja politik yang relevan. Toh kerakusan dalam berpolitik justru akan menjadi boomerang yang siap menghantam bangunan karakter partai yang telah terbentuk secara mapan. Partai politik berlabel Islam harus bisa menyajikan kemungkinan lain bagi penilaian publik terhadap keberadaan mereka yang tidak sekadar menjadi subordinasi kekuasaan. Wallaahua’lam bisshowab.
sumber foto: http://www.jewishjournal.com/thegodblog/2007/12/P24/
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_speculative_fiction
DNA dan Jejak Kejahatan
(telah dimuat di harian Surya Edisi tgl..September 2009
Oleh: Husamah
(Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Biologi UMM)
Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) saat ini menjadi istilah yang menjadi topik pembicaraan favorit. Hal ini disebabkan berbagai kasus besar yang terjadi belakangan ini di Indonesia, sebut saja aksi terorisme dengan cara pengeboman, kasus kriminal kelas berat berupa mutilasi, dan masalah rumah tangga artis.
Pelaku Bom Bali pada tahun 2002 sampai dengan bom Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton terungkap akibat data valid tes DNA yang dilakukan aparat penegak keamanan dalam hal ini polisi. Para korban pembunuhan berantai 11 orang yang dilakukan oleh Ryan Sang Penjagal Jombang dapat di identifikasi akibat tes DNA. bahkan kasus yang menimpa dua selebriti Indonesia, Rahma Azhari dan Mayangsari, di mana keduanya diminta keluarga untuk melakukan tes DNA untuk mengetahui ayah genetis dari anak-anak yang mereka lahirkan dapat terselesaikan akibat tes DNA pula.
Berbagai contoh kasus di atas menunjukkan bahwa tes DNA telah menjadi pilihan favorit bahkan solusi terhadap berbagai kasus rumit terutama berkaitan dengan identitas manusia. Bayangkan jika polisi harus mengidentifikasi identitas korban/mayat secara fisik ataupun biometri padahal kondisi tubuh mayat yang telah rusak atau hancur. Sayangnya, masyarakat umum masih jarang yang mengerti dengan jelas tentang apa dan bagaimana tes DNA tersebut, meskipun ia lazim diucapkan.
Bagaimana DNA dapat mengungkap jejak kejahatan atau mengungkap identitas seseorang? Berbagai literatur menjelaskan bahwa tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara sederhananya adalah metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan menginventarisir file-file khas karakter tubuh.
DNA merupakan materi genetik yang bisa kita temukan dalam inti sel mahluk hidup (nukleus). Pada mamalia, termasuk manusia, rantai DNA berbentuk struktur kelompok yang disebut kromosom. Dengan pengecualian orang yang kembar, DNA setiap orang pasti berbeda dan unik.
DNA merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA-nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya.
Metode tes DNA yang umum digunakan di dunia, masih menggunakan metode konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sampel kemudian ditandai dengan film X-Ray, dimana kemudian sampel DNA yang sedang diuji akan menunjukkan pola garis-garis hitam (jejak DNA).
Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan dengan DNA. Metode ini ditemukan oleh dua orang ilmuwan Amerika Serikat yaitu Huixiang Li dan Lewis Rothberg. Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah pada kecepatan dan harganya yang jauh lebih cepat dan murah dibandingkan metode elektroforesis DNA. Tetapi karena metode ini masih tergolong baru, sehingga sampai sekarang belum dapat memanfaatkan fasilitas tersebut.
Pertanyaannya, apakah tes DNA sudah pasti akurat? Menurut Pratiwi (2008) tes DNA yang dilakukan oleh penguji belum tentu akurat 100%. Para penguji yang benar-benar ahli dan berpengalaman dalam bidang ini selama bertahun-tahun mungkin akan meminimalisir human error saat pembacaan hasil. Namun, selama tes dilakukan sesuai Standard Of Procedur yang ada dan melalui Quality Control yang baku, tingkat akurasi tes akan lebih baik dan merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Wallaahua’lam bisshowab.
Sumber foto:http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/in_depth/sci_tech/2000/human_genome/stage_1.stm
Oleh: Husamah
(Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Biologi UMM)
Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) saat ini menjadi istilah yang menjadi topik pembicaraan favorit. Hal ini disebabkan berbagai kasus besar yang terjadi belakangan ini di Indonesia, sebut saja aksi terorisme dengan cara pengeboman, kasus kriminal kelas berat berupa mutilasi, dan masalah rumah tangga artis.
Pelaku Bom Bali pada tahun 2002 sampai dengan bom Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton terungkap akibat data valid tes DNA yang dilakukan aparat penegak keamanan dalam hal ini polisi. Para korban pembunuhan berantai 11 orang yang dilakukan oleh Ryan Sang Penjagal Jombang dapat di identifikasi akibat tes DNA. bahkan kasus yang menimpa dua selebriti Indonesia, Rahma Azhari dan Mayangsari, di mana keduanya diminta keluarga untuk melakukan tes DNA untuk mengetahui ayah genetis dari anak-anak yang mereka lahirkan dapat terselesaikan akibat tes DNA pula.
Berbagai contoh kasus di atas menunjukkan bahwa tes DNA telah menjadi pilihan favorit bahkan solusi terhadap berbagai kasus rumit terutama berkaitan dengan identitas manusia. Bayangkan jika polisi harus mengidentifikasi identitas korban/mayat secara fisik ataupun biometri padahal kondisi tubuh mayat yang telah rusak atau hancur. Sayangnya, masyarakat umum masih jarang yang mengerti dengan jelas tentang apa dan bagaimana tes DNA tersebut, meskipun ia lazim diucapkan.
Bagaimana DNA dapat mengungkap jejak kejahatan atau mengungkap identitas seseorang? Berbagai literatur menjelaskan bahwa tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara sederhananya adalah metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan menginventarisir file-file khas karakter tubuh.
DNA merupakan materi genetik yang bisa kita temukan dalam inti sel mahluk hidup (nukleus). Pada mamalia, termasuk manusia, rantai DNA berbentuk struktur kelompok yang disebut kromosom. Dengan pengecualian orang yang kembar, DNA setiap orang pasti berbeda dan unik.
DNA merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA-nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya.
Metode tes DNA yang umum digunakan di dunia, masih menggunakan metode konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sampel kemudian ditandai dengan film X-Ray, dimana kemudian sampel DNA yang sedang diuji akan menunjukkan pola garis-garis hitam (jejak DNA).
Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan dengan DNA. Metode ini ditemukan oleh dua orang ilmuwan Amerika Serikat yaitu Huixiang Li dan Lewis Rothberg. Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah pada kecepatan dan harganya yang jauh lebih cepat dan murah dibandingkan metode elektroforesis DNA. Tetapi karena metode ini masih tergolong baru, sehingga sampai sekarang belum dapat memanfaatkan fasilitas tersebut.
Pertanyaannya, apakah tes DNA sudah pasti akurat? Menurut Pratiwi (2008) tes DNA yang dilakukan oleh penguji belum tentu akurat 100%. Para penguji yang benar-benar ahli dan berpengalaman dalam bidang ini selama bertahun-tahun mungkin akan meminimalisir human error saat pembacaan hasil. Namun, selama tes dilakukan sesuai Standard Of Procedur yang ada dan melalui Quality Control yang baku, tingkat akurasi tes akan lebih baik dan merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Wallaahua’lam bisshowab.
Sumber foto:http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/in_depth/sci_tech/2000/human_genome/stage_1.stm
5 Oktober 2009
Teh Hijau Cegah Ereksi?
KEMAMPUAN ereksi sering kali dijadikan ukuran kejantanan kaum pria. Terjadinya disfungsi (gangguan) ereksi (DE) bukan saja membuat kaum pria resah, tapi juga bisa stres dan kehilangan kepercayaan diri. Tidaklah mengherankan jika berbagai upaya dilakukan demi tetap terjaganya “kesinambungan” ereksi, meski untuk itu dibutuhkan biaya besar.
Disfungsi ereksi (DE) alias gangguan keperkasaan pada pria–orang lebih familiar menyebutnya impotensi–adalah ketakmampuan alat vital mencapai ereksi atau mempertahankannya untuk berhubungan seks yang memuaskan. Jika dilihat dari jangka waktu, sebuah gangguan disebut DE jika setidaknya telah berlangsung tiga bulan. Kekerapan DE untuk pria berumur 40 tahun dialami 5 persen, sedangkan pria berusia 70-an tahun mencapai 15 persen. Khusus di Indonesia, kasus DE dialami sekira 10 persen pria menikah.
Ereksi biasanya berawal dari rangsangan seksual, enzim neuronal nitric oxide (NO), dilepaskan pada ujung syaraf. DE disebabkan gangguan organik dan gangguan psikogenik, atau dua-duanya. Kendati DE sejauh ini dinyatakan bukan kondisi berbahaya bagi kesehatan, namun nyatanya dapat memengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari, interaksi sosial, rasa sehat, serta kualitas hidup seseorang, terutama perasaan kurang percaya diri atau minder.
Namun, bagi para penggemar teh, khususnya teh hijau, sepertinya ada kabar gembira berkaitan dengan gangguan DE. Sebuah penelitian yang dilakukan Dr. H. Arifin Gunawijaya, M.S., staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Trisaksi Jakarta, memperlihatkan adanya khasiat teh dalam membantu menyembuhkan DE.
Arifin yang mengambil jenjang pendidikan S-2 di Universitas Indonesia, melakukan penelitian mengenai sisi positif teh hijau sejak tahun 1988. Ia menemukan zat dalam bentuk polifenol pada teh hijau yang mampu meningkatkan kemampuan ereksi. Zat tersebut mampu merangsang fungsi endotel pada tubuh pria sehingga menambah kemampuan ereksi.
Menurut Arifin, antioksidan yang terdapat pada polifenol teh hijau, dapat menetralkan, mengurangi bahkan membantu mencegah kerusakan akibat radikal bebas. Polifenol teh mempunyai efek antioksidan lebih besar dari vitamin C (100 kali) dan 25 kali dari vitamin E. “Teh hijau mengandung 30-40 persen polifenol, sedangkan teh hitam hanya 3-10 persen polifenol. Secangkir teh hijau mengandung 50-150 mg polifenol, dengan decaifeinated 60-69 persen polifenol total,” kata Arifin. Teh hijau macam apa yang berkhasiat demikian?
Menurut Arifin, sejauh ini secara umum semua jenis teh hijau memiliki khasiat yang sama. Konsumsinya mulai dalam bentuk setengah jadi dari pabrik, teh celup, sampai teh siap minum dalam kemasan botol dan kotak yang saat ini banyak beredar di pasaran. Namun demikian, pemakaian teh hijau untuk anak-anak belum ada penelitian. Sedangkan untuk dewasa dapat diperoleh melalui tiga cangkir teh hijau per hari (3 gram teh, 240-320 gram polifenol atau 300-400 gram miligram ekstrak teh hijau/hari. Lain halnya untuk wanita hamil dan menyusui sebaiknya menghindari minum teh hijau.
Manfaat lainnya dari polifenol dalam teh hijau, tambah Arifin, adalah mampu menurunkan kolesterol tinggi, yang juga menjadi salah satu penyebab gangguan ereksi. Selain itu, mampu membuat seseorang tak cepat lapar, yang menjadi salah satu perangsang aktivitas.
Namun perlu diingat, kafein dalam teh dan kopi dapat membuat orang gelisah, susah tidur, jantung berdebar, dan pusing. Jika berlebihan, bisa kram perut, mual, muntah, sakit kepala, dan nafsu makan hilang. Jika ada gejala ini, segera hubungi dokter atau petugas kesehatan.
Tingkatkan promosi
Hanya, manfaat mengonsumsi teh hijau masih belum banyak diketahui oleh masyarakat umum. Ini tak terlepas dari perbedaan kultur konsumen di negara kita yang lebih banyak menyukai teh berkualitas ala kadarnya berharga murah, atau jenis dari teh hitam.
Padahal di berbagai negara lain, misalnya Malaysia, India, Jepang, dan Cina, produk teh hijau sudah sejak lama dikenal para konsumen negaranya. “Tak heran, manfaat dari teh hijau bagi kesehatan pun lebih mudah diketahui konsumen di negara-negara bersangkutan. Kampanye penggunaan teh hijau bagi kesehatan, juga sebagai salah satu cara efektif yang dilakukan di banyak negara yang berorientasi kembali ke alam,” ujarnya.
Keterangan serupa dilontarkan pengurus Pokja Pusat Pengembangan Komoditas Teh Jabar, Imron Rosyadi. Disebutkan, sejauh ini pun masih banyak kekurangtahuan konsumen umum atas sejauh mana kualitas teh hijau yang bagus atau tidak. Menurut dia, banyak konsumen yang menyangka, teh hijau yang baik adalah yang berwarna kecokelat-cokelatan. Ini tak terlepas dari kultur konsumen lokal atas masih tingginya selera atas teh hitam dan teh berkualitas seadanya.
Tak heran, selera dan kualitas teh di Indonesia masih sering disamaratakan dan dinilai tak berbeda jauh, termasuk dalam urusan khasiatnya. Bahkan, pabrikan dalam mengolah tehnya banyak yang ikut-ikutan membuat produknya agak kecokelat-cokelatan dengan harapan lebih diterima selera konsumen pasar lokal.
“Teh hijau berkualitas bagus secara kasat mata sudah jelas, yaitu berwarna hijau bening. Standar kualitas ini sifatnya menyeluruh, baik produk lokal maupun impor, berikut pula dengan berbagai jenisnya,” ujar Imron.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo), Nana Subarna, mengatakan, ada situasi yang juga memengaruhi secara psikis dan kultur mengapa selera atas teh hijau belum sebesar teh hijau. Ini terkesan konyol, namun nyatanya memengaruhi daya serap dan konsumsi teh hijau secara umum di Indonesia.
Semakin banyaknya masyarakat yang mengetahui khasiat teh hijau bagi kesehatan, diharapkan pula berdampak positif bagi perekonomian masyarakat daerahnya sendiri. Apalagi, produk teh hijau selama ini mayoritas diproduksi para petani teh di Jabar, walau belakangan industri besar pun tertarik memproduksi dalam bentuk kemasan.
Hanya, menurut Nana, ini pun harus disertai upaya mengubah kultur awam dan tingkat apresiasi terhadap produk teh. Langkah meningkatkan gengsi teh hijau, bukan sekadar urusan bisnis, namun juga upaya sosialisasi tentang manfaat teh bagi konsumen. Salah satu upaya promosi itu dalam bentuk Festival Teh Indonesia 2006, yang akan digelar di Ciwalk Bandung, 8-10 Desember.
Menurut Nana, dalam festival tersebut akan dibahas dan didiiskusikan mengenai seberapa jauh khasiat teh hijau bagi kesehatan. “Masih banyak orang awam beranggapan, minum teh yang kurang pekat dan berwarna hijau bening, dianggap teh murahan dan yang menyuguhkan dianggap pelit. Padahal, yang disuguhkan adalah teh berkualitas tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan,” katanya. (Kodar S/”PR”)***
Sumber : Ekaplanta
sumber foto: hariharisetelahkemarin.wordpress.com dan armansah.blogspot.com/.../manfaat-teh-hijau.html
1 Oktober 2009
Langganan:
Postingan (Atom)