(Dimuat di Media Indonesia 25 Juni 2008)
Oleh: Husamah
(Mahasiswa Berprestasi 2008 Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang)
Cita-cita besar bangsa Indonesia untuk terbebas dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) rasanya akan sangat sulit tercapai. Pesimisme ini muncul ketika melihat moralitas bobrok para pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum (lingkungan kejaksaan agung). Salah satu contohnya adalah fakta tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani dalam kasus BLBI. Para penentu tertinggi di jajaran kejaksaan agung itu secara vulgar menggadaikan kebenaran dengan uang. Mereka membela dan membebaskan yang membayar dari jeratan hukum.
Kenyataan tersebut memang sangat memilukan dan melukai hati masyarakat Indonesia. Berbagai dugaan negatif publik seakan memperoleh afirmasi. Bau tak sedap yang sudah lama tercium masyarakat kini terbukti. Amat mungkin skandal ini merupakan bagian gunung es di kejaksaan dan praktik peradilan di Indonesia.
Pernyataan Wakil Ketua DPD Laode Ida (2008) dalam hal ini sangat benar. Sulit mencari sulosi terkait dengan wajah buruk kejaksaan. Mengapa? Pertama, tampaknya aparat kejaksaan telanjur terjebak orientasi materi. Situasi ini dimanfaatkan pihak luar yang berurusan dengan mereka, utamanya yang banyak uang, dengan prinsip saling menguntungkan (reprocical). Atau, oknum pejabat yang berwenang menjadikan perkaranya orang-orang berduit sebagai proyek basah.
Kedua, para pengacara dan atau perantara yang memiliki hubungan personal dengan ”orang dalam” kejaksaan berperan besar dalam proses terpeliharanya budaya korup dan orientasi materi itu. Bukan rahasia lagi jika proses hukum lebih banyak ditentukan di luar ruang sidang (pengadilan), di mana para pengacara atau perantara menegosiasikan kepentingan dua pihak atau lebih yang terkait masalah. Melalui proses di luar pengadilan itulah terjadi transaksi, bayar-membayar perkara, sekaligus mengarahkan keputusan resmi dari kejaksaan.
Ketiga, perekrutan jaksa (termasuk Jaksa Agung) memastikan aparat dari dalam (jaksa karier) yang menjadi pesertanya. Padahal, umumnya mereka sudah jauh terkontaminasi oleh kebiasaan dan orientasi materi dengan jaringan (mafia) luar (pengacara/perantara) yang sudah mapan. Dengan sendirinya, pasti akan sulit menemukan jaksa, termasuk Jaksa Agung, yang benar-benar memiliki integritas seperti diharapkan pada era reformasi ini.
Namun menurut penulis, mungkin kita masih perlu optimis. Sesungguhnya kita masih memiliki banyak jaksa yang baik, jujur dan amanah. Hanya saja pertanyaannya di manakah mereka berada? Sudahkah diberikan cukup kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pengambil keputusan? Inilah pekerjaan rumah para pihak yang memiliki akses ke situ.
Kita berharap besar akan muncul tokoh kejaksaan yang bertobat dan berubah (bermetamormosis) menjadi baik. Patut dicontoh sikap yang ditunjukkan oleh seorang Antasari Azhar (mantan jaksa menjadi ketua KPK). Skeptisme masyarakat tersebut diwujudkan dengan keberanian untuk membongkar praktek penyalahgunaan kewenangan di institusi kejaksaan yang notabene adalah lembaga yang membesarkan dirinya. Dia juga berani membongkar kasus yang melibatkan orang dekat istana.
Akhirnya, seperti yang dikatakan Mexsasai Indra (2008), mudah-mudahan KPK masih mampu menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah-tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja sistem peradilan pidana. Kalaulah KPK sendiri juga tersandung kasus korupsi, kita tidak tau lagi mau dibawa ke manakah negeri ini. Itu samalah artinya kita ramai-ramai merobohkan bangsa ini secara berjamaah ke tepi jurang kehancuran.
Semoga ini tidak terjadi.Tugas kita sekarang adalah harus tetap dan selalu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama. Wallahualam.
3 komentar:
kayaknya siap cetak buku neh. udah dapet pener bit belom?
waduh tulisannya kayaknya bagus-bagus, jangan lupa ajari aku janganlupajuga main-main ke blogku zaif cakep
waduh mas aku lupa ngasih tahu alamat bloku di www.huzaifahhamid.blogspot.com
Posting Komentar