19 Agustus 2009

Masyarakat Adat Dan Egoisme Ekonomi Politik Penguasa-Kapitalis

Pemenang Terbaik Lomba Opini Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat (DIADAKAN OLEH LSM JATAM-SAWIT WATCH)

Oleh : Husamah,Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang

Wilayah operasi pertambangan yang tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. Kondisi semakin diperparah dengan pertambangan sebagai memicu terjadinya pelanggaran HAM.



***

Konon, Indonesia adalah Negara independen dan berdaulat dalam mengelola sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan, secara lestari untuk kesejahteraan rakyat. Konsekwensinya, sebagai bangsa yang bermartabat, tidak sepatutnya merasa inferior bahkan diintervensi oleh pihak manapun. Namun, lahirnya PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, menimbulkan pertanyaan apakah negara kita masih berdaulat? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah nasib dan masa depan masyarakat adat dengan adanya peraturan tersebut?

Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan perspektif ideal yaitu masa depan lingkungan hidup, karena itulah sebenarnya yang utama. Oleh karena itu, ada beberapa pokok yang perlu diuraikan yaitu kondisi Indonesia sebagai republik kapling dan posisi masyarakat adat sebagai pihak yang akan merasakan dampak pertama kali.

Republik Hutan Lindung Kapling
Dalam buku berjudul Republik Kapling (Resist Book, 2006), Tamrin Amal Tomagola menuliskan bahwa kenyataan yang telah mulai mengeras sejak masa Orde Baru adalah sesungguhnya setiap jengkal dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam suatu kaplingan ekonomi-politik dalam berbagai ukuran. Ukuran kapling tersebut sesuai dengan skala modal yang ditanam dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening pejabat Negara dan daerah serta para anggota DPR Pusat dan daerah.

Menurut Tomagola (2006:220), contoh konkrit pernyataan tersebut adalah pengkaplingan bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhoksumawe untuk Exxon Mobil, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanta, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintuni di Papua Barat untuk Britsh Petroleum (BP), Kalimanan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan.

Lahirnya PP No 2/2008 seakan membenarkan pendapat Tomagola tersebut. Sesuai dengan pendapat beberapa pengamat lingkungan, PP ini tidak lain merupakan bentuk manipulasi hokum dan persekongkolan untuk mengelabui publik. Ketidaktegasan PP yang tidak secara eksplisit menyebutkan hanya berlaku bagi 13 perusahaan membuka celah lebar terjadinya penyalahgunaan yang dapat berujung pada pengkaplingan hutan lindung secara beramai-ramai.

Pendapat Samhadi (2008) dalam hal ini mungkin sangat tepat. Ada tendensi, pemerintah sekarang ini mencari kambing hitam dari PP ke pemerintah sebelumnya, dengan menyebut PP No 2/2008 hanya tindak lanjut dari Perpu No 1/2004 yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya. Padahal, berdasarkan kalkulasi kasar Greenomics, kerugian akibat diterapkannya PP No 2008 mencapai Rp 70 triliun. Sementara dari penerapan PP No 2/2008 potensi PNBP yang diterima hanya sekitar RP 2,78 triliun, atau hanya menutup 3,96 persen dari potensi kerugian. Dari jumlah itu, yang dapat masuk ke APBN 2008 diperkirakan hanya Rp 1,5 triliun. Melihat potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan dengan adanya PP No 2/2008, tidak ada kesimpulan yang paling tepat kecuali bahwa PP dibuat hanya untuk memuaskan egoisme ekonomi politik penguasa dan para kapitalis yang berlindung di belakang mereka.

Nasib Masyarakat Adat
Wilayah operasi pertambangan yang tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. Kondisi semakin diperparah dengan pertambangan sebagai memicu terjadinya pelanggaran HAM.

Di banyak operasi pertambangan di Indonesia menurut catatan Suswono (2008), aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, seringkali terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat.
Masyarakat adat jelas bukan merupakan pihak yang diuntungkan dengan dikeluarkannya PP No 2/2008. Kehadiran kegiatan pertambangan selama ini justru melahirkan pusat kantong kemiskinan dan kehancuran ekologis di sekitarnya. Produk perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaaan dan pemanfaatan SDA di era Orde Baru dan berlanjut sampai sekarang lebih banyak ditujukan untuk memfasilitasi pertumbuhan modal. Pada saat bersamaan terjadi pengingkaran terhadap pengakuan hak-hak tenurial (tenurial right) yang berasal atau berkembang dari atau dalam komunitas masyarakat secara de jure akan dikalahkan manakala berhadapan dengan hak-hak para pemilik modal.

Masyarakat adat sebenarnya memiliki posisi penting dalam pengelolaan hutan lindung. Dengan kearifan lokalnya, mereka secara turun temurun mengabdi untuk mengabadikan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Setiap masyarakat adat memiliki yang dianggap penting guna memelihara dan memanfaatkan hutan secara baik dan benar. Pemanfaatan hutan lindung dilakukan sejalan dengan keberlangsungan dan stabilitas fungsi hutan tersebut. Tidak ada istilah memanjakan hasrat primitif yang rakus dan merusak yang mereka lakukan sebagaimana yang dilakukan oleh para kapitalis. Sayangnya, hal ini bukan menjadi hal menarik bagi penguasa, justru merupakan batu sandungan yang harus disingkirkan.

Mengakhiri Kealfaan

Akhirnya, dari uraian diatas dapat ditarik satu kesimpulan. Sudah saatnya disadari bahwa adanya subordinasi dan fragmentasi hutan menjadi bagian-bagian yang seakan-akan bisa diganti-pasang dengan yang baru melalui PP No 2/2008 adalah kata lain dari pembunuhan dan pemusnahan masyarakat adat secara legal (terencana atau terskenario), sementara kesejahteraan hanya untuk segelintir orang. Masyarakat adat dan hutannya tak lebih sebagai tumbal atau piranti untuk "menggemukkan" sebagian orang yang punya akses modal kuat dan lobi tingkat tinggi. Lingkungan (hutan) yang seharusnya barang publik telah dianggap sebagai milik individual atau sekelompok orang dengan pemanfaatan yang destruktif.

Tentunya kealfaan ini harus segera diakhiri oleh para penguasa. Toh, UUD 1945 sebagai sumber peraturan tertinggi sebenarnya menghormati secara jelas posisi masyarakat adat. Dalam Bab Pemerintah Daerah pasal 18B ayat (2) tercantum pengakuan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Dalam Bab XA tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28I ayat (3) juga tercantum tentang pengakuan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Semoga. [ ]

18 Agustus 2009

Teripang, Penyembuh Mujarab


(TULISAN INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SURYA Kamis, 12 Februari 2009 | 8:34 WIB)

Oleh Moh Sarip Hidayatullah
Anggota UKM Forum Diskusi Ilmiah UMM
sya_...@yahoo.co.id




INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau serta panjang garis pantai 81.000 km. Sekitar 75 persen wilayah Indonesia terdiri laut dengan pantai kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati. Sebagai salah
satu negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang sangat besar.

Salah satu komoditi subsektor perikanan yang cukup potensial adalah teripang. Hampir semua jenis teripang dapat mudah dikenali melalui bentuk tubuhnya yang bulat memanjang seperti ketimun. Perburuan teripang oleh nelayan Madura dan Bugis bahkan sampai terumbu Ashmore di Perairan Utara Australia, paling tidak sejak awal 1700-an.

Meski sudah lama diburu, pemanfaatan teripang sebagai bahan pangan dibanding produk perikanan lainnya tergolong kurang populer. Dilihat dari bentuk fisik teripang terkesan menjijikkan.

Padahal, teripang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh atau sebagai obat/penyembuh berbagai penyakit. Teripang kering punya kadar protein tinggi, yaitu 82 persen. Di China dilaporkan, secara medis tubuh dan kulit teripang jenis Stichopus japonicas berkhasiat menyembuhkan penyakit ginjal, penyakit jantung, alergi, paru-paru basah, anemia, anti-imflamasi, dan mencegah arteriosklerosis serta penuaan jaringan tubuh (antiageing).

Ekstrak murni teripang mempunyai kecenderungan menghasilkan holotoksin yang efeknya sama dengan antimicyn dengan kadar 6,25-25 mikrogram/milliliter. Selain itu, teripang mengandung asam lemak tidak jenuh jenis omega 3 yang penting untuk kesehatan jantung. Penelitian terbaru Institut Kimia Universitas Los Banos Filipina (2006) mengungkap, teripang dapat menjadi agen antitumor dan sebagai obat HIV.

Yang paling berpengaruh adalah senyawa bernama lektin. Senyawa lektin bersifat mitogenik atau sel berkembang cepat dan antimikroba. Lektin efektif melawan kanker otot pada tikus dan kanker paru-paru manusia dengan dosis masing-masing 5 dan 50 mikrogram. Lektin berefek terapi bagi HIV karena mampu menggumpalkan sel jahat. Itu terlihat ketika diuji di laboratorium dengan menggunakan sellimfoid.

Namun hal yang perlu diperhatikan adalah keberadaan teripang di Indonesia yang saat ini sangat terancam. Sediaan stok teripang di alam menurun drastis disertai berbagai kerusakan pada habitatnya. Ini berbahaya mengingat sekali kepadatan populasi teripang turun di bawah titik kritis, sangat sulit populasi pulih kembali. Perlu usaha pelestarian dan pembudidayaan untuk mengurangi pengambilan stok alami berlebihan.

PENGANTAR EKOLOGI TUMBUHAN



Pengertian Ekologi

Ekologi merupakan salah satu cabang biologi. Yaitu ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Atau ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap jasad hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa ekologi adalah suatu ilmu yang mencoba mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang dan manusia dengan lingkungannya di mana mereka hidup, bagaimana kehidupannya dan mengapa mereka ada disitu. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya. Ekologi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan.

Menurut Odum dan Cox (1971) ekologi mutakhir adalah suatu studi yang mempelajari struktur dan fungsi ekosistem atau alam di mana manusia adalah bagian dari alam. Struktur di sini menunjukkan suatu keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu termasuk kerapatan/kepadatan, biomasa, penyebaran potensi unsur-unsur hara (materi), energi, faktor-faktor fisik dan kimia lainnya yang mencirikan keadaan sistem tersebut. Sedangkan fungsinya menggambarkan hubungan sebab akibat yang terjadi dalam sistem. Jadi pokok utama ekologi adalah mencari pengertian bagaimana fungsi organisme di alam.

Ekologi berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan kehidupan (peradaban) manusia. Seorang yang belajar ekologi sebenarnya bertanya tentang berbagai hal sebagai berikut:
1. Bagaimana alam bekerja?
2. Bagaimana suatu spesies beradaptasi dalam habitatnya.
3. Apa yang mereka perlukan dari habitatnya itu dapat dimanfaatkan guna melangsungkan kehidupan
4. Bagaimana mereka mencukupi kebutuhannya akan unsur hara (materi) dan energi
5. Bagaiman mereka berinteraksi dengan spesies lainnya
6. Bagaimana individu-individu dalam spesies itu diatur dan berfungsi sebagai populasi

Jelaslah bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari mahluk hidup dalam rumah tangganya atau ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara mahluk hidup sesamanya dan dengan komponen di sekitarnya. Dengan demikian seorang ahli ekologi juga menaruh minat kepada manusia, sebab manusia merupakan spesies lain (mahluk hidup) dalam kehidupan di Biosfer secara keseluruhan. Selanjutnya dengan adanya gerakan kesadaran lingkungan di negara maju sejak tahun 1968 sedangkan di Indonesia sejak tahun 1972, dimana setiap orang mulai memikirkan masalah pencemaran, daerah -daerah alami, hutan, perkembangan penduduk, masalah makanan, penggunaan energi, kenaikan suhu bumi karena efek rumah kaca atau pemanasan global, ozon berlubang dan lainnya telah memberikan efek yang mendalam atas teori ekologi. Ekologi merupakan disiplin baru dari biologi yang merupakan mata rantai fisik dan proses biologi serta bentuk-bentuk yang menjembatani antara ilmu alam dan ilmu sosial.

Sejarah dan Perkembangan Ekologi

Catatan Hipocrates, Aristoteles, dan filsuf lainnya merupakan naskah-naskah kuno yang berisi rujukan tentang masalah- masalah ekologi. Walaupun pada waktu itu belum diberi nama ekologi. Ekologi berhubungan dengan sistem kehidupan sehingga dalam perkembangannya erat kaitannya dengan perkembangan biologi. Sejak abad ke-16 dan 17 yang lalu biologi diperkenalkan melalui Natural History atau sejarah alam (populer dengan istilah kajian alam) pada saat manusia sadar akan pentingnya alam sekitarnya (hutan dieksploitasi dan padang dibuka menyebabkan banyak hewan yang punah). Gerakan konservasi mulai dibentuk pada tahun 1930-an, kajian tentang alam masuk dalam kurikulum sekolah (meskipun hanya konsep sederhana misalnya mewarnai gambar burung dan membuat paragraf singkat tentang alam). Pada saat itu ditulis buku-buku tentang kehidupan di alam (The Reed Bird Guides dan The Camstock Handbook of Natural Study). Namun, ternyata daerah urban lebih banyak dan daerah rural terbatas, demikian halnya dengan perhatian biologis terhadap alam menurun dan lebih fokus pada fungsi dari organisme dari pada hubungannya dengan alam sekitar.

Adanya kesalahan pola pikir seperti itu, sebagian dikarenakan oleh biologi itu sendiri. Pandangan dalam biologi tradisional selalu memulai dan mengakhiri dengan penamaan organisme hidup (bersifat deskriptif dan lemah dalam data kuantitatif sehingga tidak memiliki konsep dasar yang kuat seperti pada fisika, kimia dan matematika). Misalnya, pencinta alam amatir, pengamat burung atau insekta melakukan kegiatan tidak sampai pada tahapan identifikasi yang mendalam (kurang memahami bagaimana organisme hidup dan apa fungsinya di alam). Pada saat itu pula biologi kehilangan posisinya dalam kedudukannya sebagai ilmu.

Munculnya kesadaran akan lingkungan (1970-an) menyebabkan revolusi ekologi, dimana perhatian terhadap kajian alam meningkat (penduduk sub urban sadar akan lingkungan). Kajian lingkungan kembali dipelajari di sekolah-sekolah serta perhatian terhadap kehidupan liar (wild life) dan hutan meningkat (muncul gerakan masyarakat menentang kegiatan atau pembangunan yang merusak alam). Kajian tentang alam berkembang menjadi ekologi dan keberadaannya menjadi ilmu yang memasyarakat (pandangan lama fokus pada organisme dan pandangan baru fokus pada sistem kehidupan alam). Ekologi berperan mengungkapkan rahasia kehidupan dalam tahapan organisme/individu, populasi dan ekosistem.

Istilah ekologi pertamakali diperkenalkan oleh Ernst Haecckel (1834-1919) pada tahun 1860-an dengan pengertian bahwa ekologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi alam, suatu kajian mengenai hubungan anorganik serta lingkungan organik disekitarnya. Selanjutnya, pengertian itu diperluas menjadi kajian mengenai hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Berdasarkan pengertian itu, sebenarnya Theophrastus telah banyak menulis tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Namun, yang dianggap sebagai pemula dan mengarah pana kajian yang bersifat moderen adalah para ahli geografi tumbuhan seperti Humbolt de Candolle, Engler, Gray, dan Kerner yang menulis tentang distribusi tumbuh-tumbuhan. Dasar-dasar dalam geografi tumbuhan ini merupakan pangkal dan kemudian berkembang menjadi kajian komunitas tumbuhan atau ekologi komunitas.

Kajian ekologi komunitas berkembang dalam dua kutub, yaitu di Eropa dipolopori oleh Braun-Blanquet (1932) yang tertarik dengan komposisi, struktur, dan distribusi dari komunitas, serta di Amerika dipolopori oleh Cowles (1899), Clements (1916) dan Gleason (1926) yang mempelajari perkembangan dan dinamika tumbuhan, Shelford (1913, 1937), Adam (1909) dan Dice (1943) di Amerika serta Elton (1927) di Inggris mengungkapkan hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan hewan. Sejalan dengan itu, perhatian terhadap dinamika populasi juga banyak di kembangkan para ahli, yaitu pendekatan secara teoritis dipolopori oleh Lotka (1925) dan pendekatan secara eksperimental oleh Voltera (1926). Pada tahun 1935, Gause menemukan interaksi antara hewan pemangsa dengan mangsanya dan hubungan kompetitif diantara spesis, serta Nicholson mempelajari kompetisi intra-spesis. Selanjutnya, Andrewartha dan Birch (1954) serta Lack (1954) menemukan dasar-dasar yang luas untuk kajian regulasi populasi. Berdasarkan penemuan Darwin (1859), Mendel (1806) dan Wight (1931) berkembang bidang genetika populasi, evolusi dan adaptasi. Selanjutnya, Leibig (1840) mengawali kajian lingkungan nonbiotis dari organisme yang kemudian berkembang menjadi ekoklimatologi dan ekofisiologi.

Beberapa kajian di lingkungan perairan berkembang menjadi ekologi energetik, seperti oleh Thienemann (1920) memperkenalkan tingkat tropik, Birge dan Juday tahun 1940-an menguraikan budget energi dalam danau (produksi primer) yang berkembang sebagai konsep ekologi tentang dinamika tingkat tropik. Konsep itu diperkenalkan sebagai konsep dasar dalam ekologi modern oleh Lindemann (1942) serta diperluas oleh Hutchinson dan Odum (1950-an) sebagai polopor dalam aliran budget energi. Studi awal mengenai siklus materi atau nutrisi dilakukan oleh Ovington (1957) di Inggris dan Australia serta Basilevic dan Rodin (1967) di Rusia.

Sekitar tahun 1900, ekologi diakui sebagai ilmu dan berkembang terus dengan cepat. Apalagi disaat dunia sangat peka dengan masalah lingkungan dalam mengadakan dan memelihara mutu peradaban manusia. Ekologi merupakan cabang ilmu yang mendasarinya dan selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak satu cabang ilmupun yang dapat mengabaikan ekologi. Apalagi sejak timbulnya gerakan kesadaran lingkungan di seluruh dunia mulai tahun 1968, dituntut kesadaran lingkungan bagi setiap orang antara lain tentang penghematan sumberdaya, penghematan energi, masalah pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah dan lain sebagainya. Jelasnya adanya masalah globalisasi lingkungan akan mengakibatkan perhatian makin mendalam kepada ekologi.

Sejarah perkembangan ekologi tumbuhan

Ekologi berkembang melalui dua jalur, yaitu jalur hewan dan tumbuhan. Ekologi tumbuhan memfokuskan pada hubungan antara tumbuhan dan lingkungannya. Kajian ekologi tumbuhan sudah lama berkembang, tahun 1305 Petrus de Crescentius menulis karangan mengenai sifat persaingan hidup pada tumbuhan. Selanjutnya, King (1685) pertamakali menguraikan konsep tentang suksesi dalam komunitas tumbuhan serta Warming (1891) mengenai proses suksesi tumbuhan di bukit pasir disepanjang pantai Denmark. Saat itu ekologi tumbuhan telah diakui sebagai disiplin ilmu baru. Adapun pakar yang menjadi polopor dalam mengembangkan ekologi tumbuhan antara lain adalah Clements menulis buku ekologi tentang metode pengukuran dan pemasangan kuadrat dalam kajian ekologi lapangan. Cowles (1899) melakukan kajian tentang suksesi tumbuhan di bukit pasir sepanjang pesisir pesisir danau Michigan serta peranan iklim, fisiografi dan biota lainnya dalam suksesi tersebut. Selanjutnya, Tansley menyusun karya ilmiah berjudul The British Isles and their Vegetation.

Clements (1916 - 1928) yang menyebutkan bahwa seorang ahli yang bernama Pebus de Crecentius (1905) merupakan perintis pertama yang mengatakan adanya kompetisi pada tanaman. Kemudian disusul oleh King (1685) merupakan ahli pertama yang menjelaskan konsep suksesi pada tanaman. Dua pengertian tersebut merupakan pengertian dasar sebagai landasan ekologi tanaman. Pada waktu itu Crecentius memaparkan adanya tanaman kuat yang bersaing dengan tanaman-tanaman lain dalam praktek kehutanan. Kenyataan hidup menunjukkan bahwa akan selalu ada eksploitasi atas organisme lemah oleh organisme kuat. Sedangkan King menguraikan tentang suksesi yang terjadi pada suatu daerah sejak tanah masih tergenang air sampai terbentuk daratan bergambut yang merupakan bahan organik terbentuk oleh pembusukan bahan tanaman dalam kondisi reduktif. Sesuai dengan sifat tumbuhan tersebut maka timbul kondisi lingkungan tertentu, misalnya terjadi gambut yang asam dan sebagainya.

Warning pada tahun 1891 sudah mengemukakan uraian klasik hubungan suksesi di bukit-bukit pasir. Shumaker (Swedia) berdasarkan konsep Warning serta Cowles (1899) menerbitkan pula tulisan tentang bukit pasir di Michigan AS, sehingga pemikiran Warning, Cowles dan Clements merupakan bagian permulaan pemikiran ekologi pada abad ke-20.
Clements kemudian membuat pedoman tentang metode penelitian ekologi dan telah berhasil meletakkan dasar pengukuran dalam ekologi, antara lain pengukuran menggunakan metode kuadrat dengan alat-alat tertentu dalam menilai suatu habitat. Dengan jasa Clements ini metode pengukuran kualitatif berkembang ke metode kuantitatif. Setelah itu Clements mengemukakan konsep indikator, yaitu adanya hubungan yang khas antara lingkungan dan tumbuhan sehingga tumbuhan dapat digunakan untuk menduga sifat suatu lingkungan dan sebaliknya. Suatu tumbuhan dapat juga digunakan untuk menduga jenis tumbuhan lain yang mungkin dapat hidup di lingkungan itu. Dengan demikian ada indikator fisik, kimia dan indikator vegetasi.

Pada tanah gambut dengan pH 2,5 maka dapat digunakan untuk menduga tumbuhan apa yang dapat hidup di tempat itu atau sebaliknya. Seperti di Kalimantan bila ada pohon Purun maka diduga bahwa pH tanah disitu bersifat asam (pH 2,5). Hal-hal tersebut merupakan indikator fisik atau kimiawi. Contoh lain di Sumatra bila tumbuh pohon Nibung maka di tempat itu dapat tumbuh dengan baik pula tanaman padi. Di Jawa bila tumbuh pohon petai dengan baik, maka pohon cengkeh juga dapat tumbuh dengan baik, yang kemudian ditampakkan sebagai indikator vegetasi.

Dengan demikian suksesi, kompetisi dan indikator merupakan trilogi ekologi dalam perkembangan ekologi tanaman selanjutnya. Berkembangnya cabang-cabang ilmu lain, seperti fisiologi tumbuhan yang bersinggungan dengan ekologi tumbuhan, yaitu dibahasnya hubungan antara struktur, fungsi dan distribusi vegetasi oleh Pfefer dan Sacs (1867) makin memperkuat perkembangan ekologi modern. Demikian pula berkembangnya pengertian tanah di ilmu tanah (pertama kali dikemukakan oleh Doknchagev, 1870), yaitu tanah sebagai bagian yang mandiri sebagai hasil akhir kerjasama antara iklim, organisme, bahan induk, bentuk permukaan dan waktu.

Ekologi, fisiologi, agronomi dan pedologi berkembang bersama-sama saling berinteraksi sehingga melahirkan pandangan bahwa organisme dengan lingkungan merupakan sistem yang kompleks. Akhirnya dari interaksi tersebut, kecuali ilmu itu berkembang sendiri-sendiri juga melahirkan kelompok perkembangan seperti: kelompok klasifikasi yang membahas hubungan tumbuhan dengan geografi dan taksonominya, kelompok ekofisiologi yang membahas proses fisiologi hubungannya dengan ekologi dan kelompok pendekatan ekosistem yang membahas tumbuhan/tanaman hubungannya dengan lingkungan secara holistik.

Prinsip-prinsip Ekologi Tumbuhan


Terdapat berbagai sistem ekologi atau ekosistem di biosfer atau ekosfera bumi pada lingkungan terestris atau lingkungan akuatik yang menjadi habitat makhluk hidup (tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mikrobiota) tinggal dan melaksanakan kehidupannya berinteraksi dengan lingkungan hidupnya.

Proses kehidupan yang berlangsung dalam sistem ekologi atau ekosistem tersebut pada dasarnya memiliki prinsip-prinsip ekologi yang menjadi dasar interaksi atau hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem.

Dalam ekologi tumbuhan prinsip-prinsip ekologi tersebut berkaitan dengan jenis dan struktur ekosistem, komponen-komponen penyusunnya, fungsi ekosistem, habitat atau tempat tinggal tumbuhtumbuhan dan biota lainnya, serta relung ekologi (fungsi makhluk hidup di habitatnya), macam-macam interaksi yang berlangsung dalam ekosistem, dan sebagainya.

Komponen penyusun ekosistem antara lain, terdiri dari komponen biotik (makhluk hidup) dan komponen abiotik (habitat dan lingkungan) atau menurut komponen makhluk hidup sebagai penyusun ekosistem antara lain dapat digolongkan menurut perolehan energi menjadi komponen ototrof (tumbuhan hijau) dan komponen heterotrof (hewan dan mikrobiota) atau menurut jenisnya dikenal ekosistem terestris (darat) dan akuatik (perairan: perairan tawar dan laut).

Dalam ekosistem tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang penting, antara lain dapat mengubah kondisi habitat dan lingkungannya, seperti mengurangi radiasi sinar matahari, mengatur iklim, atau membentuk humus mengikat energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis dan menjadi menjadi sumber energi dan sumber nutrisi dengan adanya kandungan unsurunsur organik maupun anorganik, energi yang berguna untuk makhluk hidup lainnya.

Seluruh unsur makhluk hidup dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, hewan atau mikrobiota dalam sistem ekologi membentuk suatu komunitas. Suatu komunitas tumbuh-tumbuhan adalah sekelompok individu (jenis) tumbuhan yang menempati habitat tertentu.Penelaahan ekologi komunitas diperlukan untuk memahami berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem, misalnya terbentuknya suatu komunitas rumput, komunitas paku-pakuan atau komunitas hutan.

Konsep komunitas tumbuhan penting dalam penelitian ekologi, karena apa yang terjadi dalam suatu komunitas akan mempengaruhi makhluk hidup lainnya dalam komunitas tersebut. Misalnya dalam pemberantasan gulma di perkebunan yang menjadi saingannya bagi tanaman budidaya.

Dalam ekologi tumbuhan secara umum yang dimaksud dengan populasi adalah sekelompok individu tumbuh-tumbuhan sejenis, seperti pohon karet yang ditanam di perkebunan, tanaman padi di sawah, dan lain lain. Dalam ekosistem, populasi tumbuhan tidaklah statis karena dipengaruhi oleh pertambahan atau pengurangan anggota populasi sepanjang waktu. Perubahan populasi dapat diketahui dari berbagai sifat populasi yang mejadi ciri-ciri populasi, seperti kerapatan populasi, natalitas, mortalitas, pertumbuhan atau persebaran populasi. Salah satu sifat populasi yang bersifat numeric dan struktural adalah kerapatan jenis, yaitu jumlah individu tumbuhan per satuan luas. Dengan kerapatan dapat ditentukan perkembangan populasi dan sifat persebarannya.


Integrasi dan Pendekatan Ekologi Tumbuhan


Ekologi tumbuhan berusaha menerangkan rahasia kehidupan pada tahapan individu, populasi dan komunitas, ketiga tingkatan utama itu membentuk sistem ekologi yang dikaji dalam ekologi tumbuhan. Setiap tingkatan bersifat nyata dan tidak bersifat hipotetik seperti spesis, jadi dapat diukur serta diobservasi struktur dan operasionalnya. Individu dan populasi tidak terpisah-pisah keduanya membentuk asosiasi dan organisasi dalam pemanfaatan energi dan materi membentuk suatu masyarakat atau komunitas dan berintegrasi dengan faktor lingkungan disekitarnya membentuk ekosistem.

Berdasarkan tingkatan integrasinya, secara ilmu kajian ekologi tumbuhan dibagi dalam dua pendekatan, yaitu sinekologi dan autekologi. Sinekologi, falsafah dasarnya adalah tumbuhan secara keseluruhan merupakan kesatuan yang dinamis. Masyarakat tumbuhan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu keluar masuknya unsur-unsur tumbuhan dan turun naiknya berbagai variabel lingkungan hidup. Komunitas tumbuhan (vegetasi) dianggap suatu organisme utuh yang bisa lahir, tumbuh, matang dan akhirnya mati. Bidang kajian utamanya adalah klasifikasi komunitas tumbuhan dan analisis ekosistem. Autekologi, falsafah dasar dasarnya adalah tumbuhan sebagai ukuran yang menggambarkan kondisi lingkungan sekitarnya. Menurut Clements setiap tumbuhan merupakan alat pengukur keadaan lingkungan hidup sekitarnya, khususnya iklim dan tanah. Bidang tersebut melahirkan kajian tentang tumbuhan sebagai indikator alam atau lingkungan hidup dan dikenal dengan ekologi fisiologi (ekofisiologi).

Autekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbale balik suatu jenis organism dengan lingkungannya yangpada umumnya bersifat eksperimental dan induktif. Conoh studi autekologi dapat kita lihat pada telaah ekologi tikus atau hewan-hewan yang hanya terdapat pada lingkungan tertentu saja.

Sinekologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kelompok-kelompok organism sebagai satu kesatuan yang lebih bersifat deskriptif, deduktif dan filosofis. Contoh sinekologi adalah telaah ekologi hutan tropika humida yang ternyata isinya tidak hanya didiami oleh satu jenis makhluk hidup saja. Sinekologi dapat dibedakan lagi, antara lain menjadi ekologi perairan tawar, ekologi daratan, dan ekologi lautan.
Dalam Ekologi Tumbuhan kadang-kadang kajian tentang aspek ekologinya hanya pada tingkat populasi tumbuh-tumbuhannya saja. Kajian tersebut dinamakan autekologi (ekologi populasi), misalnya tentang aspek tahap-tahap kehidupannya atau respon dan penyesuaian diri terhadap faktor lingkungan. Jika kajiannya meliputi berbagai populasi tumbuhan dari bermacam-macam jenis (masyarakat tumbuhan) maka kajiannya disebut sinekologi (ekologi komunitas), misalnya interaksi tumbuh- tumbuhan satu sama lain dalam memanfaatkan air dan nutrien atau persebarannya.

Potensi Ekologi Tumbuhan dan Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan


Ekologi Tumbuhan sebagai ilmu pengetahuan alam yang masih baru memerlukan ilmu pengetahuan lainnya sebagai alat untuk dapat menjelaskan interaksi tumbuh-tumbuhan dengan lingkungan biotic dan abiotiknya.

Ekologi Tumbuhan sebagai ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan dan diterapkan bagi kehidupan manusia, misalnya untuk eksploitasi sumber daya alam, pengaruh kerusakan vegetasi hutan terhadap ekosistem bumi, kerusakan lingkungan akibat pencemaran terhadap tumbuhan, dan sebagainya, yang memerlukan ilmu pengetahuan lain untuk menunjangnya.

Ekologi tumbuhan sebagai cabang ekologi memiliki cakupan yang luas, kajian dan penelaahannya dapat meliputi berbagai tingkatan dalam organisasi biologi makhluk hidup, yang mencakup berbagai jenis, populasi, komunitas tumbuhan, dan ekosistemnya.
Untuk memahami interaksi antara komponen biotik dan komponen abiotik dalam ekosistem tersebut memerlukan disiplin ilmu pengetahuan lain yang berkaitan dengan nama tumbuh-tumbuhan dan habitatnya, tanah dan sifat-sifat kimiawinya, pengaruh iklim, berbagai proses fisiologi dan metabolisme, reproduksi, dan pola sebaran tumbuh-tumbuhannya.

Untuk dapat memahami dan menjelaskan hal-hal tersebut diperlukan berbagai disiplin ilmu baik di dalam maupun di luar ilmu biologi dan ilmu pengetahuan alam lainnya seperti ilmu tanah, geologi dan geomorfologi, klimatologi, dan lain lain.
Ilmu pengetahuan alam selain biologi dan ekologi, seperti fisika, kimia, dan matematika sangat membantu ekologi tumbuhan dalam menjelaskan berbagai komponen biotik maupun komponen abiotik berdasarkan struktur fisik, kimia maupun pengukuran dan pembobotan secara matematis.

Ilmu biologi lain selain ekologi dapat dimanfaatkan dalam ekologi tumbuhan untuk memahami jenis tumbuh-tumbuhan dan komposisinya, sebaran dan keaneka-ragamannya, berbagai proses fisiologi dan reproduksinya melalui pendekatan ilmu pengetahuan tentang struktur tumbuhan taksonomi tumbuhan, fisiologi dan genetik serta biogeografi.

Klimatologi sangat penting bagi ekologi tumbuhan. Tumbuhan sebagai makhluk hidup yang bersifat menetap sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di sekelilingnya, di antaranya adalah iklim. Faktor iklim dapat menentukan jenis-jenis ekosistem yang ada, komunitas dan jenis-jenis tumbuhan, serta pola sebarannya. Beragai faktor lain yang dapat mempengaruhi iklim, misalnya cahaya matahari, suhu lingkungan, curah hujan, kelembaban udara, dan angin.