24 Juni 2008

Surga KKN Bernama Kejaksaan

(Dimuat di Media Indonesia 25 Juni 2008)

Oleh: Husamah

(Mahasiswa Berprestasi 2008 Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang)

Cita-cita besar bangsa Indonesia untuk terbebas dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) rasanya akan sangat sulit tercapai. Pesimisme ini muncul ketika melihat moralitas bobrok para pejabat yang selama ini justru menjadi penegak hukum (lingkungan kejaksaan agung). Salah satu contohnya adalah fakta tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan yang disuap Artalyta Suryani dalam kasus BLBI. Para penentu tertinggi di jajaran kejaksaan agung itu secara vulgar menggadaikan kebenaran dengan uang. Mereka membela dan membebaskan yang membayar dari jeratan hukum.

Kenyataan tersebut memang sangat memilukan dan melukai hati masyarakat Indonesia. Berbagai dugaan negatif publik seakan memperoleh afirmasi. Bau tak sedap yang sudah lama tercium masyarakat kini terbukti. Amat mungkin skandal ini merupakan bagian gunung es di kejaksaan dan praktik peradilan di Indonesia.

Pernyataan Wakil Ketua DPD Laode Ida (2008) dalam hal ini sangat benar. Sulit mencari sulosi terkait dengan wajah buruk kejaksaan. Mengapa? Pertama, tampaknya aparat kejaksaan telanjur terjebak orientasi materi. Situasi ini dimanfaatkan pihak luar yang berurusan dengan mereka, utamanya yang banyak uang, dengan prinsip saling menguntungkan (reprocical). Atau, oknum pejabat yang berwenang menjadikan perkaranya orang-orang berduit sebagai proyek basah.

Kedua, para pengacara dan atau perantara yang memiliki hubungan personal dengan ”orang dalam” kejaksaan berperan besar dalam proses terpeliharanya budaya korup dan orientasi materi itu. Bukan rahasia lagi jika proses hukum lebih banyak ditentukan di luar ruang sidang (pengadilan), di mana para pengacara atau perantara menegosiasikan kepentingan dua pihak atau lebih yang terkait masalah. Melalui proses di luar pengadilan itulah terjadi transaksi, bayar-membayar perkara, sekaligus mengarahkan keputusan resmi dari kejaksaan.

Ketiga, perekrutan jaksa (termasuk Jaksa Agung) memastikan aparat dari dalam (jaksa karier) yang menjadi pesertanya. Padahal, umumnya mereka sudah jauh terkontaminasi oleh kebiasaan dan orientasi materi dengan jaringan (mafia) luar (pengacara/perantara) yang sudah mapan. Dengan sendirinya, pasti akan sulit menemukan jaksa, termasuk Jaksa Agung, yang benar-benar memiliki integritas seperti diharapkan pada era reformasi ini.

Namun menurut penulis, mungkin kita masih perlu optimis. Sesungguhnya kita masih memiliki banyak jaksa yang baik, jujur dan amanah. Hanya saja pertanyaannya di manakah mereka berada? Sudahkah diberikan cukup kesempatan bagi mereka untuk menjadi seorang pengambil keputusan? Inilah pekerjaan rumah para pihak yang memiliki akses ke situ.

Kita berharap besar akan muncul tokoh kejaksaan yang bertobat dan berubah (bermetamormosis) menjadi baik. Patut dicontoh sikap yang ditunjukkan oleh seorang Antasari Azhar (mantan jaksa menjadi ketua KPK). Skeptisme masyarakat tersebut diwujudkan dengan keberanian untuk membongkar praktek penyalahgunaan kewenangan di institusi kejaksaan yang notabene adalah lembaga yang membesarkan dirinya. Dia juga berani membongkar kasus yang melibatkan orang dekat istana.

Akhirnya, seperti yang dikatakan Mexsasai Indra (2008), mudah-mudahan KPK masih mampu menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah-tengah ketidakpercayaan publik terhadap kinerja sistem peradilan pidana. Kalaulah KPK sendiri juga tersandung kasus korupsi, kita tidak tau lagi mau dibawa ke manakah negeri ini. Itu samalah artinya kita ramai-ramai merobohkan bangsa ini secara berjamaah ke tepi jurang kehancuran.

Semoga ini tidak terjadi.Tugas kita sekarang adalah harus tetap dan selalu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama. Wallahualam.

12 Juni 2008

Muhammadiyah, Persyarikatan Protestanisme Islam

(Dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Sabtu, 01 Juli 2006)

Judul: Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam
Penulis: Subhan Mas
Pengantar: Prof. Dr. Syafig A. Mughni, MA.
Penerbit: Al Hikmah/Oktober 2005
Tebal:xxxii+212 hlm

Presensi: Husamah*

Menyamakan Muhammadiyah dengan Kristen Protestan bisa jadi dalam pandangan beberapa kalangan sebagai bentuk pengaburan atau bahkan pelecehan terhadap agama khususnya Islam. Akan tetapi, jika mau terbuka, maka bisa jadi semua pihak akan kompak mengatakan bahwa itulah realita yang ada. Bedanya, mungkin dalam perkembangannya Kristen Protestan telah menjelma menjadi agama terpisah dari Agama Kristen Katolik. Semetara Muhamdiyah tetap memegang teguh bahwa mereka bukanlah agama baru melainkan bentuk pemahaman “modernism” Islam dan “realism” Islam.

Karakteristik gerakan utama Muhammadiyah adalah komitmen untuk meneguhkan semangat kemajuan rasionalitas keagamaan. Entitas seminasi disiplin “karakter reformasi” tidak lepas dari besarnya kepribadian pendirinya (Ahmad Dahlan), yang ditunjukkan dengan adanya sikap-sikap formasinya dalam mengikat identitas reformasi Islam puritan, yang pada awal berdirinya, kontinuitas kesadaran rasional itu (penduduuk Indonesia), tidak menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai supremasi untuk melakukan penetapan-penetapan citra positif kebebasan dalam mengapresiasi kawasan-kawasdan dogma sebagai produk zaman. Pada wilayah ini pula, istilah agama sebagai “candu atau agama mematikan akal” secara genetis melahirkan proyeksi sejarah reformasi gerakan Protestan Puritan dengan semangat rasionalitas keagmaannya pada abad ke-16 dan 17, menjadi ikon modernisasi agama Kristem Protestan. Dan inipun menjadi pendorong untuk memprakarsasi gerakan pemurnian dengan tokoh pembaharu Martin Luther dan Johannes Calvin.

Bentuk ijtihad ini merupakan proses yang sangat hakiki dimana, hanya Bibel sebagai sumber pemikiran, sebagimana halnya Ahmad Dahlan hanya Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber inspirasinya dalam peneguhan karakteristik dan kemajuan semangat rasionalitas keagamaan dalam Muhammadiyah. Rasionalitas itu dalam etika Calvinis maupun Dahlanis menandai babak kritsisme protestan ethic maupun Muhammadiyah ethic untuk merasionalisasi doktrin dan perilaku hidup.

Masih banyak lagi kesamaan-kesamaan yang berelasi kuat antara gerakan reformasi pemahaman Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan dengan geerakan pencerahan pemahaman Kristen Protestan yang akan kita temui dalam penjelajahan buku ini. Namun perlu diingat hal ini hanya menyangkut pada tatanan sosiologis dan bukan teologis sebagaimana komentar Prof. Dr. Syafiq Mughni dalam pengantar buku ini.

Satu fakta yang perlu dicatat,dalam buku ini tulisan Max Weber merupakan sumber kekuatan imajinatif. Dengan kata lain, buku yang terdiri dari tujuh Bab ini mencoba melihat sejauh mana teori Weber dapat berlaku pada gerakan Muhammadiyah itu. Apa yang diinginkan Weber adalah menjelaskan korealsi antara aplikasi etika Protestan dan munculnya Kapitalisme. Namun sayangnya, Weber hanya mempelajari dan mengkaji agama-agama besar dunia tapi dalam hal ini Islam merupakan pengecualian.

Untungnya, walau tidak berlebihan, karya agung intelektual The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber (1958), mampu memberi arti penting bagi literer tafsir kontemporer Islam “kemanusiaan” yang harus lebih dimodifikasi ke arah operasionalisme metodologi rahmatan lil alamin yang toleran, ramah, santun, intelektualis, dinamis, bebas, demokratis, reformis, beretos, dan berkesadaran plural, sebagai wujud senmakin cerdasnya manusia mendekati Qur’an dengan segala bentuk kreativitasnya, maka semakin cerdas pula Qur’an memberi jawaban terhadap persoalan dan dinamikanya.

Karya Subhan Mas yang tertuang dalam crisis of reformasi Islam ini tentunya mencoba mnelakukan reproduksi dengan arah baru sebagai ruang untuk menjelajah ke sebuah medan dan angkasa rasionalitas intelektualisme sebagai peneguhan kekuasaan sejarah. Penulis buku ini pun merasa bahwa munculnya fundamentalisme mitologisasi dan sakralisasi dalam Islam merupakan defensive cultural response yang seharusnya diposisikan sebagai kekayaan imajinatif terhadap semua bentuk perubahan structural dalam beragama (Islam), politik, dan juga ekonomi global. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya Islam dapat berpartisipasi untuk mensterilkan pijakan-pijakan yang sama dengan negara-negara barat bahwa jiwa Islam adalah pluralisme dan tidak menjadi penghambat bagi sekulerisasi intelektual sebagai kekuatan peradabannya.


Oleh : Husamah, Redaksi Pelaksana Majalah “Spora” Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur

7 Juni 2008

Cagub Pro Lingkungan Hidup

(Surya Edisi 4 Juni 2008)

Oleh: Husamah

(Ketua Forum Diskusi Ilmiah UMM)

Jawa Timur telah mencatat sejarah dirinya dengan berbagai kejadian bencana akibat kerusakan lingkungan. Beberapa contoh dapat kemabli kita ingat seperti banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo yang merendam beberapa kabupaten, banjir di Tulungagung, Trenggalek dan Kediri, tanah longsor di Jember, Trawas dan Ponorogo.

Jika ingin jujur, semua itu terjadi akibat lalainya para pemimpin dalam mengelolaan sumberdaya alam. Sayangnya, terlalu sering para pemimpin itu membela diri dan terkadang memunculkan opini yang justru menyesatkan masyarakat. Dampak-dampak kerusakan yang memakan korban jiwa sepertinya tidak mampu membuat pemimpin merubah pola kebijakan yang mengedepankan kepentingan ekonomi dan pemilik modal. Sulit rasanya membuat mereka sadar tentang bahaya laten kerusakan lingkungan.

Menurut Cahyadi (2008) orientasi Pemprov Jawa Timur untuk meningkatkan investasi melalui industrialisasi yang mengorbankan lingkungan sudah melenceng dari tujuan pembangunan berkelanjutan, karena seharusnya industrialisasi yang dikembangkan saat ini tidak merampas kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kualitas sumberdaya alam yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Momen pemilihan gubernur Jawa Timur bulan Juli 2008 ini semestinya menjadi ajang untuk mencari dan menyeleksi pemimpin yang pro lingkungan hidup. Hal ini harus dilakukan, seperti yang dikatakan Ketua Dewan Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur, HA Latief Burhan, bahwa Jawa Timur perlu merevitalisasi (menghidupkan kembali) komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi peduli terhadap kelestarian lingkungan atau berwawasan lingkungan.

Revitalisasi komitmen tersebut diperlukan, karena kerusakan lingkungan saat ini semakin marak, bukan hanya apa yang telah disebutkan di awal tetapi misalnya kerusakan hutan dan sumber air, ekosistem pesisir dan laut serta kerusakan lingkungan perkotaan. Lingkungan hidup merupakan aspek vital, jika rusak dampaknya sangat besar terhadap kehidupan. Sehingga untuk memperbaikinya dibutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.

Akhirnya sudah saatnya para kandidat baik dari generasi baru maupun generasi lama yang umumnya dibesarkan pada masa politik Indonesia yang menghamba pada kekuatan eksploitatif destruktif sumberdaya alam membuktikan dirinya pro lingkungan hidup. Tapi jangan pula menjadikan lingkungan hidup sebagai ajang tebar pesona dan mempolitisir lingkungan untuk menarik keuntungan dalam pemilihan gubernur (pilgub). Semoga.

Akhiri Kekerasan Berkedok Agama

Media Indonesia 6 Juni 2008

Oleh: Husamah
(Mahasiswa Biologi Universitas Muhammadiyah Malang)

Kekerasan atas nama agama rasanya tidak pernah sepi dari negara yang mengaku majemuk ini. Buktinya, kejadian terakhir yang memilukan yaitu penyerangan oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) terhadap aktivis Aliansi Kebangsaaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monumen Nasional (Monas) beberapa waktu lalu.

Tindakan tersebut jelas telah mengusik keharmonisan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Beberapa pengamat mensinyalir bahwa munculnya kekerasan sebagai dampak dari radikalisme agama yang belakangan juga kuat menggejala bahkan semakin subur.

Bagaimanapun, secara tipikal, meminjam istilah Azumardi Azra, pelaku ancaman dan kekerasan telah menganggap kelompok Islam lainnya sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif menulis bahwa seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Apakah pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.

Ironisnya, kejadian seperti ini mendorong sebagian umat Islam di Indonesia sekarang untuk memandang Islam sebagai agama yang melegitimasi dan mengajurkan tindak kekerasan. Bahkan pesantren yang sejatinya merupakan gerbang Ilmu agama Islam juga ditenggarai ikut berperan dalam membentuk sikap radikal dan melegitimasi aksi kekerasan. Beberapa pesantren justru dicurigai sebagai 'sarang' radikalisme agama dan basis latihan 'teroris'.

Tentunya kita semua mencatat bahwa tragedi kekerasan, brutalisme, barbarianisme dan apapun istilahnya ini terasa sangat naïf terjadi di negara hukum yang melindungi hak dan menjamin kebebasan keyakinan dan kepercayaan setiap warganya. Ini jelas sudah melnggar UUD 1945 dan mengarah ke kriminal.

Lalu bagaimana solusi jitu mengatasi permasalahan ini? Menurut saya, minimal ada tiga poin penting yang perlu dilakukan. Pertama, harus selalu ditanamkan konsep tunggal kebenaran dimana apapun alasannya, tindakan di atas jelas bertentangan dengan Islam rahmatan lil 'alamin. Islam yang dalam bahasa arab sendiri mengandung makna kedamaian dan ketenangan. Oleh sebab itu, Islam sangat melarang dan mencela umatnya untuk melakukan kekerasan dan perusakan di muka bumi (QS. 2:195).

Kedua, membudayakan dialog-dialog pruduktif dan konstruktif. Jangan sampai dialog hanya terjadi pada lapisan atas. Sudah saatnya para tokoh agama mulai memelopori dialog yang melibatkan menengah ke bawah (akar rumput). Belajar dari pengalaman, tindakan anarkis lebih banyak dilakukan oleh kalangan bawah yang memiliki pemahaman setengah-setengah atau bahkan dangkal, yang terkadang dengan mudah dihasut atau dipolitisir.

Ketiga, tugas negara adalah menjamin kebebasan dan melindungi warganya. Pemerintah tidak boleh ragu dan bingung menindak pelaku kekerasan. Pihak berwajib harus segera menghentikan dan memproses secara adil terhadap siapapun yang melanggar. Jika hal itu tidak di lakukan, bukan tidak mungkin tragedi-tragedi serupa akan terus berlangsung dan semakin parah. Bukan tidak mungkin pula hal ini bisa berbalik, ketika kelompok yang sekarang menjadi minoritas dikemudian hari menjadi mayoritas, mereka akan membalas. Ini sangat mengerikan. Selain itu, dengan tidak menindak pelaku berarti menghalalkan bentuk diskriminasi terhadap warga lainnya. Wallahu'alam.

Kebangkitan Harga BBM?

Dimuat Media Indonesia, Kamis, 22 Mei 2008 00:03 WIB

Oleh: Husamah
(Mahasiswa UMM, e-mail:usya_bio@yahoo.com)

Tahun 2008 ini, bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Sebagai orang bijak, idealnya Hari Kebangkitan Nasional itu dijadikan momentum untuk introspeksi.

Dulu, kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Saat ini yang perlu direnungkan adalah apakah bangsa ini benar-benar merdeka.

Faktanya, masih terlalu banyak bentuk penjajahan legal dan terstruktur di negara ini. Elite politik dari tingkat bawah sampai atas sebagian besar ternyata memiliki mental yang bobrok. Para pejabat hanya memikirkan bagaimana cara memperkaya diri.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sengaja dipolitisasi untuk menguntungkan diri, kelompok, atau partainya sendiri.

Tak dapat disangkal, akibat ulah pemimpin yang tidak amanah itu, Indonesia masih terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan. Jeritan kepedihan penderitaan rakyat tidak pernah digubris. Yang terbaru adalah arogansi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Sekilas, dengan menaikkan harga BBM, pemerintah beranggapan bahwa APBN akan aman atau tidak 'jebol'. Itulah dalih yang selalu dimunculkan oleh pemerintah jika perlu menggunakan analisis pengamat propemerintah. Pemerintah juga berinisiatif untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin. Dengan demikian, pemerintah berkesimpulan bahwa kenaikan harga BBM disertai adanya kompensasi adalah harga mati.

Dari sinilah permasalahannya terlihat. Bertitik tolak dari sejarah masa lalu, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan selalu diikuti penyimpangan dalam realisasinya. Kebijakan 'pengganti' ini pun sering kali mendapat sorotan dari masyarakat. Sampai saat ini masyarakat tidak tahu jelas masalah desain, skenario, sistematika, dan realisasi program kompensasi sosial tersebut. Evaluasi mengenai skenario penyaluran dana tersebut belum pernah dilakukan, apalagi pertanggungjawabannya. Suara-suara kritis untuk melakukan evaluasi dan memberikan
pertanggungjawaban sudah didengungkan oleh kelompok masyarakat, namun tampaknya kurang menjadi perhatian utama dari pemerintah.

Membiarkan rakyat tercekik 'kebangkitan' (kenaikan) harga pastilah akan menjadi kenyataan pemerintah kita nantinya. Namun, mereka tidak mampu menghentikan kebocoran dan perampokan dana negara oleh koruptor. Minyak-minyak dan sumber energi kita dibiarkan dinikmati perusahaan multinasional.

Kenaikan harga BBM tak lain merupakan cerminan ketidakberdayaan negara menghadapi situasi ekonomi internasional pasar bebas. Pemerintah tidak memiliki kemauan pengambil kebijakan (political will). Tidak ada orientasi pada penyelamatan bangsa dan negara atas kedaulatan sumber energinya, apalagi langkah tegas, mendasar, dan bebas dari kepentingan asing, dengan memobilisasi seluruh aset sumber daya energi bagi kebutuhan domestik untuk menjamin ketahanan energi bangsa (energy security). Akhirnya, selamat Hari Kebangkitan Nasional dan selamat menikmati kebangkitan (kenaikan) harga BBM.