7 Januari 2009

Lunturnya Kemahaan Mahasiswa



(TULISAN INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SURABAYA PAGI edisi senin 12 Januari 2009)
Oleh: Husamah

(Alumni Universitas Muhammadiyah Malang)

Status mahasiswa sebagai pembawa suara rakyat, kaum terpelajar dan intelektual kembali dipertanyakan. Hal ini muncul manakala kita melihat bahwa mahasiswa saat ini tidak lebih sebagai pembuat keributan, biang anarkistis, pelaku bentrokan atau pelaku kekerasan kolektif primitif.

Belum hilang dalam memori masyarakat bagaimana brutal dan arogannya mahasiswa di Jakarta, Manado, Makassar, Kendari dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, kembali mereka harus mengelus dada. Bagaimana tidak, dalam satu hari muncul dua bentrokan mahasiswa. Di Makassar mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat kepolisian, dilatarbelakangi kasus dugaan penembakan seorang mahasiswa Unismuh Makassar oleh polisi. Sementara bentrok antara para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana dengan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang menyebabkan satu orang tewas dan tujuh luka-luka. Bentrok berawal dari sikap saling ejek antara dua kelompok mahasiswa, yang kemudian dilanjutkan dengan pelemaparan batu dan benda keras lain ke arah kedua kampus.

Aksi anarkistis mahasiswa sungguh sangat disesalkan dan disayangkan. Idealnya kata “maha” yang disandang mahasiswa adalah cerminan kaum intelektual, memiliki nilai moral, kepekaan dan kesantunan tinggi. Mantan Mendikbud Juwono Sudarsono menyatakan bahwa bentrok mencerminkan belum berkembangnya budaya kompromi pada sebagian mahasiswa. Menurut Psikolog Sartono Mukadis bentrok terjadi akibat solidaritas semu di kalangan mahasiswa karena tiadanya kebanggaan, tidak berkembangnya budaya berbeda pendapat, dialog, hilangnya kepekaan, kelenturan dan kepedulian sosial.

Pertanyaannya adalah mengapa identitas “maha” itu semakin luntur bahkan hilang dari diri mahasiswa? Kiranya sudah saatnya mengakui bahwa dalam hal ini lembaga pendidikan (perguruan tinggi) kita telah mengalami kegagalan untuk meningkatkan jumlah generasi muda yang intelek. Perguruan tinggi hanya berlomba-lomba menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya, mendapatkan dana sebesar-besarnya tetapi tidak mengindahkan mutu pendidikannya. Perguruan tinggi hanya membina hard skill dan memarjinalkan soft skill. Dosen pun masih banyak yang tidak mampu mendidik (bukan mengajar) dengan baik, bahkan mereka terkadang memberikan contoh negatif kepada mahasiswanya.

Potret buram dunia mahasiswa ini harus segera kita buang. Sudah saatnya perguruan tinggi menata orientasinya. Para mahasiswa pun mesti segera berbenah diri dan memperbaiki citra di masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya menghidupkan kembali forum-forum diskusi, kelompok-kelompok kajian, dialog-dialog, penelitian-penelitian dan sejenisnya untuk mematangkan emosi, spiritual dan keilmuwan mereka.

Akhirnya, pertanyaan penulis, apakah mahasiswa akan tetap menodai perjuangan hanya karena emosi primitif yang tak terkendali dan aksi anarkistis tanpa hasil? Sadarlah bahwa nasib bangsa tidak akan berubah menjadi lebih baik jika hanya mengandalkan otot dan amarah. Semoga.

Marjinalisasi Suku Bajo Sumenep




Oleh: Moh. Sarip Hidayatullah

(Anggota UKM FDI UMM, Mahasiswa Sosiologi UMM)


Percayakah anda jika di Kabupaten Sumenep yang mayoritas suku Madura terdapat sebuah kecamatan yang justru dihuni oleh suku lain? Kecamatan tersebut bernama Sapeken, sebuah kecamatan kepulauan di Sumenep. Inilah sebuah keunikan yang justru jarang dikenal orang.

Komunitas penduduk mayoritas memang bukan Suku Madura, melainkan Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil lebih dekat ke Pulau Bali. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga.

Sekilas Kepulauan Sapeken tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau. Tanahnya gersang, sebagaimana layaknya keadaan pulau kecil lain di Indonesia. Namun walaupun kondisi alam daratannya kritis, jangan pernah meremehkan kondisi keindahan dan kekayaan pantai dan lautnya.

Kepulauan ini kaya akan terumbu karang, berbagai species ikan, kerang, teripang, kepiting dan hasil laut lainnya. Pantainya pun memiliki pasir putih yang sangat indah. Sayangnya kepulauan ini tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan.

Menurut catatan Jawa Pos (2/12/200) dan Harian Bisnis Indonesia (21/06/2003), kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil dan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS). Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil menangkap ikan tidak mau pulang ke darat.

Sayangnya, kondisi itu seakan menjadi alasan pemerintah kabupaten (pemkab) Sumenep untuk melakukan marjinalisasi. Masyarakat Kepulauan Sapeken hanya sedikit menikmati hasil kekayaan perut bumi mereka. Padahal menurut data hampir 80% PAD Sumenep diperoleh dari lapangan pengeboran minyak dan gas di Sapeken (Pulau Pagerungan Kecil dan Sepanjang).

Maka bukan rahasia lagi jika, kesehatan, transportasi, ekonomi dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Transportasi ke Jawa dan ke Madura hanya setiap minggu dengan kapal barang dan tidak manusiawi karena tidak mengindahkan keselamartan. Guru-guru sebagian besar dari kabupaten dan biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana . Pelayanan KTP pun baru selesai dalam 4 bulan.

Akhirnya, menurut hemat penulis sebagai putra asli daerah Sapeken, sudah seharusnya perlakuan tidak adil ini dihentikan. Seharusnya Pemda mengutamakan putra daerah untuk membangun kepulauan Sapeken. Sebenarnya mereka punya potensi besar tetapi akses mereka selalu di batasi. Potensi mereka tidak dapat diragukan lagi. Contoh nyata adalah Husamah, putra pulau Pagerungan Kecil yang telah menjadi Juara Mahasiswa Berprestasi se-Jawa Timur, dan banyak berjuang lewat tulisannya. Semoga