8 Maret 2010

Menggugat Animis Pantheistik Kyai

Banyak dari kita, mengenal pesantren dari kesederhanaan bangunan-bangunan fisik lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kyainya, dan dalam beberapa hal pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan. Menyoroti masalah pesantren tidak akan pernah lepas dari peran dan tindak-tanduk para kyai.

Berbagai “penampakan” kyai akhir-akhir ini dapat dilihat, mulai dari terorisme, politik, sosial kemasyarakatan, lingkungan sampai dunia ekonomi.

Kyai adalah pemimpin informal, diyakini dan dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai orang alim. Pengaruh kyai sangat diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat nasional, pejabat daerah, para pengusaha, maupun oleh masyarakat umum. Namun demikian pangaruh kyai ini tidak tergantung pada loyalitas komunitas terbatas yang didorong oleh hutang budi orang-orang tertentu atas jasanya, dan juga mereka tidak pula tergantung pada dukungan keluarga.

Demikian pentingnya posisi para kyai ini bagi pemerintah, terutama dapat kita lihat dari hasil penelitian PKSK (1999) dalam Ainur Rofieq (2002) yang menunjukkan bahwa dari 2870 pondok pesantren di Jawa Timur, pesantren yang tidak pernah dikunjungi pejabat pemerintah hanya 14,52%. Sedangkan sisanya 85,48% pesantren menyatakan pernah dikunjungi pejabat pemerintahan. Bahkan dalam penelitian tersebut menunjukkan hampir 50% pesantren mengaku sering dikunjungi oleh pejabat.

Pengaruh kyai dalam masyarakat menurut Arifin (1993) lebih banyak dibentuk oleh pola kepemimpinannya di pondok pesantren. Salah satu konsep yang sangat penting adalah konsep animis pantheistik. Animis Pantheistik berarti penghormatan oleh masyarakat kepada kyai yang disebabkan masyarakat mempraktekkan kepercayaan agama terdahulu atau agama yang pertama kali datang ke Nusantara sebelum Islam. Hal ini lebih mengarah pada pengkultusan para kyai atau malah di anggap sebagai “dewa” atau minimal “manusia super”.

Dewasa ini konsep ini lebih dominan dari pada kedua konsep lainnya yaitu Wilayatul Imam dan Sufisme. Realitanya, bisa kita tengok kembali kasus 9 tahun lalu, tanggal 15 Januari 2001. Banser yang dimotori oleh para “santri” berikrar untuk secara total melindungi Gus Dur (alm) dari serangan para pendemo yang jumlahnya (menurut media massa) mencapai ribuan. Ada rumor yang berkembang bahwa Jakarta pada waktu itu akan menjadi Malari Jilid II. Contoh lain sering kita saksikan di televisi. Para santri dan masyarakat “rela” bentrok antar sesamanya demi melindungi atau membela para kyai. Bahkan Suatu ketika di Surabaya penulis melihat Posko Jihad untuk membela seorang kyai.

Dalam hal ibadah pun posisi kyai bertambah mutlak. Santri dan masyarakat biasa bertaqlid kepada para kyai. Apa yang dikatakan kyai yang berkenaan dengan agama adalah benar belaka. Mereka tidak berani bertanya soal dasar dan dalil pendapatnya. Demikian pula para kyai sendiri dalam memahami masalah fiqih umumnya bertaqlid pada imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, karena mereka mujtahid. Merujuk langsung pada al-Quran dan sunah tidak umum di kalangan mereka, masalah inilah yang mestinyadirombak oleh kaum pembaharu.

Sekedar melengkapi keterangan ini, simak penjelasan pengamat nahdhiyyin, Andree Feillard, bahwa para santri belajar pada guru-guru mereka, para kyai yang kadang-kadang juga merupakan syeikh sebuah tarekat. Para kyai memegang kekuasaan yang sangat besar. Otoritasnya hanya dapat disangkal oleh seorang kyai lain yang lebih berpengaruh. Di masyarakat pedesaan, peran mereka sangat banyak; menjadi anutan di bidang keagamaan, memimpin upacara-upacara keagamaan, dan bahkan juga menjadi penasehat pribadi para anggota masyarakatnya.

Dalam pandangan realitas dalam masyarakat, kiai menjelma sebagai superman atau manusia “serba guna”. Ia tidak saja melulu bergelut dengan konteks religius atau sebatas pendidikan (agama Islam) yang identik dengan kehidupan berketuhanan. Kyai juga cukup aktif diminta dan dituntut untuk bermain dalam berbagai bidang garapan lain. Mulai berperan sebagai “psikiater” ketika diminta untuk memberi solusi persoalan pribadi atau keluarga tertentu dan seterusnya. Atau “dewan perdamaian dan pertahanan” ketika terjadi kerusuhan atau tawuran antar desa misalnya. Dan juga sering aktif bermain dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang utamanya akhir-akhir ini para kiai ngetren dengan manuver politik, meskipun sudah lazim bahwa dalam konteks politik para kiai sering hanya habis manis sepah dibuang saja.Atau menurut KH. Mustofa Bisri, ibarat pendorong mobil macet, begitu mobil jalan, maka si pendorong ditinggalkan begitu saja.

Selama ini, kiai penuh otoritas, minimalnya di dalam pesantren dan lingkungan sekitarnya. Dan otoritasnya hanya bisa diganjal oleh kiai lain yang dianggap lebih berpengaruh. Perlu disadari, dewasa ini, otoritas kiai dalam bermasyarakat, hanya akan merugikan dan membelenggu individu kiai itu sendiri. Sebab dengan semakin kompleknya pola pikir dan gaya manusia abad ini, dan dengan semakin derasnya arus-gelombang pergantian budaya. Yang dibutuhkan adalah fleksibelitas religius seorang publik figur, dalam menerapkan “budaya hukum Islam” di tengah iklim bermasyarakat (religius).

Akhirnya, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa seharusnya para kyai adalah realisasi konkret atau standar keteladanan bagi semua pemimpin umat Islam. Hal ini berarti kepemimpinan yang tidak sekedar dilandasi oleh kemampuan dalam mengelola dan menjalankan mekanisme kepemimpinannya melainkan mengangap kepemimpinan lebih dilandasi oleh nilai-nilai spiritual yang memiliki otoritas keagamaan. Kyai pun seharusnya sebagai pemimpin umat yang erat hubungannya dengan sifat-sifat transsendental, dimana pemimpin umat adalah teladan sempurna bagi semesta dan merupakan contoh hidup tentang ma’arifat. Dapat difahami mengapa posisi kyai dapat sedemikian sentralnya dalam kehidupan, manajemen hingga kurikulum pendidikan informal pesantren, dimana kekuasaan mutlak berada di genggaman kyai. Kyai bukan makhluk yang primus inter pares, melainkan sebagai pemilik tunggal. Itulah masalahnya.

Tidak ada komentar: