19 Agustus 2009

Masyarakat Adat Dan Egoisme Ekonomi Politik Penguasa-Kapitalis

Pemenang Terbaik Lomba Opini Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat (DIADAKAN OLEH LSM JATAM-SAWIT WATCH)

Oleh : Husamah,Biologi-Universitas Muhammadiyah Malang

Wilayah operasi pertambangan yang tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. Kondisi semakin diperparah dengan pertambangan sebagai memicu terjadinya pelanggaran HAM.



***

Konon, Indonesia adalah Negara independen dan berdaulat dalam mengelola sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan, secara lestari untuk kesejahteraan rakyat. Konsekwensinya, sebagai bangsa yang bermartabat, tidak sepatutnya merasa inferior bahkan diintervensi oleh pihak manapun. Namun, lahirnya PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, menimbulkan pertanyaan apakah negara kita masih berdaulat? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah nasib dan masa depan masyarakat adat dengan adanya peraturan tersebut?

Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan perspektif ideal yaitu masa depan lingkungan hidup, karena itulah sebenarnya yang utama. Oleh karena itu, ada beberapa pokok yang perlu diuraikan yaitu kondisi Indonesia sebagai republik kapling dan posisi masyarakat adat sebagai pihak yang akan merasakan dampak pertama kali.

Republik Hutan Lindung Kapling
Dalam buku berjudul Republik Kapling (Resist Book, 2006), Tamrin Amal Tomagola menuliskan bahwa kenyataan yang telah mulai mengeras sejak masa Orde Baru adalah sesungguhnya setiap jengkal dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam suatu kaplingan ekonomi-politik dalam berbagai ukuran. Ukuran kapling tersebut sesuai dengan skala modal yang ditanam dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening pejabat Negara dan daerah serta para anggota DPR Pusat dan daerah.

Menurut Tomagola (2006:220), contoh konkrit pernyataan tersebut adalah pengkaplingan bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhoksumawe untuk Exxon Mobil, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanta, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintuni di Papua Barat untuk Britsh Petroleum (BP), Kalimanan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan.

Lahirnya PP No 2/2008 seakan membenarkan pendapat Tomagola tersebut. Sesuai dengan pendapat beberapa pengamat lingkungan, PP ini tidak lain merupakan bentuk manipulasi hokum dan persekongkolan untuk mengelabui publik. Ketidaktegasan PP yang tidak secara eksplisit menyebutkan hanya berlaku bagi 13 perusahaan membuka celah lebar terjadinya penyalahgunaan yang dapat berujung pada pengkaplingan hutan lindung secara beramai-ramai.

Pendapat Samhadi (2008) dalam hal ini mungkin sangat tepat. Ada tendensi, pemerintah sekarang ini mencari kambing hitam dari PP ke pemerintah sebelumnya, dengan menyebut PP No 2/2008 hanya tindak lanjut dari Perpu No 1/2004 yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya. Padahal, berdasarkan kalkulasi kasar Greenomics, kerugian akibat diterapkannya PP No 2008 mencapai Rp 70 triliun. Sementara dari penerapan PP No 2/2008 potensi PNBP yang diterima hanya sekitar RP 2,78 triliun, atau hanya menutup 3,96 persen dari potensi kerugian. Dari jumlah itu, yang dapat masuk ke APBN 2008 diperkirakan hanya Rp 1,5 triliun. Melihat potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan dengan adanya PP No 2/2008, tidak ada kesimpulan yang paling tepat kecuali bahwa PP dibuat hanya untuk memuaskan egoisme ekonomi politik penguasa dan para kapitalis yang berlindung di belakang mereka.

Nasib Masyarakat Adat
Wilayah operasi pertambangan yang tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. Kondisi semakin diperparah dengan pertambangan sebagai memicu terjadinya pelanggaran HAM.

Di banyak operasi pertambangan di Indonesia menurut catatan Suswono (2008), aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, seringkali terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat.
Masyarakat adat jelas bukan merupakan pihak yang diuntungkan dengan dikeluarkannya PP No 2/2008. Kehadiran kegiatan pertambangan selama ini justru melahirkan pusat kantong kemiskinan dan kehancuran ekologis di sekitarnya. Produk perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaaan dan pemanfaatan SDA di era Orde Baru dan berlanjut sampai sekarang lebih banyak ditujukan untuk memfasilitasi pertumbuhan modal. Pada saat bersamaan terjadi pengingkaran terhadap pengakuan hak-hak tenurial (tenurial right) yang berasal atau berkembang dari atau dalam komunitas masyarakat secara de jure akan dikalahkan manakala berhadapan dengan hak-hak para pemilik modal.

Masyarakat adat sebenarnya memiliki posisi penting dalam pengelolaan hutan lindung. Dengan kearifan lokalnya, mereka secara turun temurun mengabdi untuk mengabadikan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Setiap masyarakat adat memiliki yang dianggap penting guna memelihara dan memanfaatkan hutan secara baik dan benar. Pemanfaatan hutan lindung dilakukan sejalan dengan keberlangsungan dan stabilitas fungsi hutan tersebut. Tidak ada istilah memanjakan hasrat primitif yang rakus dan merusak yang mereka lakukan sebagaimana yang dilakukan oleh para kapitalis. Sayangnya, hal ini bukan menjadi hal menarik bagi penguasa, justru merupakan batu sandungan yang harus disingkirkan.

Mengakhiri Kealfaan

Akhirnya, dari uraian diatas dapat ditarik satu kesimpulan. Sudah saatnya disadari bahwa adanya subordinasi dan fragmentasi hutan menjadi bagian-bagian yang seakan-akan bisa diganti-pasang dengan yang baru melalui PP No 2/2008 adalah kata lain dari pembunuhan dan pemusnahan masyarakat adat secara legal (terencana atau terskenario), sementara kesejahteraan hanya untuk segelintir orang. Masyarakat adat dan hutannya tak lebih sebagai tumbal atau piranti untuk "menggemukkan" sebagian orang yang punya akses modal kuat dan lobi tingkat tinggi. Lingkungan (hutan) yang seharusnya barang publik telah dianggap sebagai milik individual atau sekelompok orang dengan pemanfaatan yang destruktif.

Tentunya kealfaan ini harus segera diakhiri oleh para penguasa. Toh, UUD 1945 sebagai sumber peraturan tertinggi sebenarnya menghormati secara jelas posisi masyarakat adat. Dalam Bab Pemerintah Daerah pasal 18B ayat (2) tercantum pengakuan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Dalam Bab XA tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28I ayat (3) juga tercantum tentang pengakuan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Semoga. [ ]

Tidak ada komentar: