23 Februari 2008

KEBIJAKAN KEWARGANEGARAAN, MODALITAS MINIMALISASI KONFLIK

JUARA II
LOMBA KARYA TULIS KECINAAN KE-5 TAHUN 2007
SINOLOGY CENTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
SUBTEMA:
”Kebijakan Kewarganegaraan Indonesia: Perekat Keindonesiaan?”


Disusun Oleh:
Husamah (04330058)



Flashback

Sejak awal berdirinya NKRI, berbagai bentuk kesenjangan antara kelompok yang disebut mayoritas dan minoritas telah menjadi realita yang cukup pelik. Kelompok minoritas memang selalu menjadi pihak terkalahkan sepanjang terjadinya konflik baik vertikal, horizontal, diagonal, maupun bersifat ringan sampai keras. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan.1 Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran.2

Sebenarnya pembicaraan tentang minoritas tidak hanya sebatas etnis Tionghoa atau keturunan Cina saja. Minoritas dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu minoritas pribumi dan minoritas non-pribumi. Minoritas pribumi diwakili oleh suku seperti Batak, Dayak, Papua dan banyak lainnya. Minoritas non-pribumi diwakili etnis Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Belanda dan sebagainya.3 Akan tetapi sangat jelas, sejarah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok adalah terkait dengan etnis Tionghoa ini.4,5 Sementara bentuk kesenjangan terhadap etnis lainnya cenderung tidak kentara dan bahkan sebagian orang menganggap mereka relatif harmonis. Dalam permasalahan tersebut Taher (1997) mencontohkan komunitas Arab. Meskipun sama-sama merupakan warga keturunan asing, komunitas Arab relatif lebih dapat diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia, paling tidak, jika diletakkan dalam konteks integrasi atau pembauran politik dan sosial-budaya.6

Seiring dengan perkembangan zaman dan bergantinya rezim, peraturan menyangkut dilema minoritas pun dikeluarkan. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diluluskan oleh DPR untuk menggantikan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 pada tanggal 11 Juli 2006 yang lalu. Praktis pengesahan ini disebut-sebut sebagai langkah paling “revolusioner”. UU Kewarganegaan baru tersebut, dianggap sebagai kebijakan kewarganegaraan Indonesia yang mampu menjadi jembatan perekat keindonesiaan serta berhasil menyingkarkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” yang selama berpuluh-puluh tahun menghantui warga negara minoritas.7
Dipandang dengan rasional, anggapan tersebut memang terlalu berlebihan atau malah menjadi euforia mengingat pengesahannya yang baru seumur jagung. Namun terlepas dari masih adanya pasal yang diprotes oleh berbagai kalangan karena dianggap kurang melindungi warga negaranya, sebagai sebuah harapan tentunya sangat wajar guna memunculkan optimisme positif pada komunitas minoritas.

Selanjutnya dengan mulai disosialisasikannya UU ini, di masyarakat Etnis Tionghoa- sebagaimana yang dituliskan Setiono (Pikiran Rakyat, 28/08/2006), timbul berbagai pertanyaan antara lain, apakah dengan adanya UU tersebut diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akan benar-benar hilang sepenuhnya dan tidak akan menjadi sasaran teror, amuk massa, dan objek pemerasan lagi? Bagaimana etnis Tionghoa harus menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru ini? Pertanyaan tersebut akan semakin lengkap jika kita menambahkan pertanyaan, bagaimanakah seharusnya pribumi menyikapi lahirnya UU Kewarganegaraan tersebut? Bijaknya, pertanyaan itu harus kita uraikan sehingga sedikit memberikan solusi konstruktif menuju minimalisasi masalah/konflik. Langkah berikut ini yang akan dilakukan adalah mencoba membedah anatomi masalah sebagai upaya logis penyelesaian secara ilmiah.

Anatomi Masalah
Setiap ahli sepakat bahwa “sesuatu” yang terjadi pada komunitas minoritas Tionghoa di Indonesia adalah diskriminasi yang berujung pada konflik. Menurut Lestariana (2006) suatu rekomendasi bagi manajemen konflik tidak mungkin dibuat tanpa mengetahui akar konflik.8 Akar konflik dapat dilihat berada di antara dua ujung pendulum. Dengan mengutip Collier dan Hoeffler dan Bank Dunia sangat jelas bahwa konflik terjadi akibat motif ekonomi perorangan atau ketamakan. Sementara J.S. Furnival melihat konflik terjadi karena eksistensi suku-suku yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat, namun tidak bercampur satu sama lain, bahkan terpisah sangat mendalam dari segi budaya. Hanya pasar yang menjadi tempat bertemu suku-suku tersebut, sehingga pengelompokan suku sering tumpang tindih dengan pengelompokan ekonomi.

Pandangan seperti di atas dikemukakan pula oleh Suryadinata (1984), sampai batas tertentu penggolongan suku sejalan dengan pengelompokan ekonomi ternyata masih berlaku karena Etnis Tionghoa sebagai kelompok, pada umumnya masih berstatus kelas menengah (middlemen) dalam masyarakat dan kawasan tempat mereka tinggal. Namun pada umumnya faktor budaya, ekonomi dan politik tidak dapat berdiri sendiri dalam menjelaskan konflik. Konflik baru terjadi bila perbedaan budaya dan ekonomi dijadikan alat politik. Suryadinata menggarisbawahi, negaralah yang paling berperan memicu konflik serius antarsuku khusunya kerusuhan anti Cina di Asia Tenggara termasuk Indonesia.3 Kondisi ini diperparah dengan adanya pola-pola keterlibatan segmen militer Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa dari Indonesia, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo.7 Adanya keterlibatan militer ini juga diduga memiliki pengaruh besar dalam menciptakan budaya kekerasan di Indonesia.9

Thesis ini didukung oleh Grace Lestariana tetapi dengan mengajukan argumen tambahan bahwa fenomena mengerasnya upaya-upaya separatisme dan sentiment SARA di Indonesia yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai “lakon” juga terkait dengan praktek kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis. Sentral dalam hal ini berarti Jawa, khusunya Jakarta, lebih khusus lagi pada jaringan bisnis birokrat sipil dan militer dengan cukong. Cukong adalah pebisnis Tionghoa yang dilindugi oleh pejabat yang berkuasa dengan imbalan memperoleh keuntungan. Jaringan bisnis birokrat dan pengusaha di Indonesia berdampak pada pelestarian korupsi dan kolusi. Cukong dianggap sebagai pemeran utama dalam jaringan bisnis ini. meskipun mereka tidak melibatkan diri dalam partai politik tertentu, namun mereka memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah.10

Dalam pandangan yang hampir mirip, Taher (1997) menyatakan adanya perasaan tertentu atau ketidaksenangan sebagian kalangan pribumi terhadap warga keturunan Cina bukan semata-mata muncul karena persoalan-persoalan yang bersifat ekonomis. Akan tetapi, adanya rasa curiga dan terbentangnya jarak sosial antara pri-nonpri yang cukup lebar. Dapat pula diakibatkan oleh berkembangnya persepsi tentang perbedaan identitas atau juga karena situasi politik. Demikian pula halnya dengan dengan predikat-predikat pejoratif yang menandai adanya karakter dan sifat anggota komunitas keturunan ini. Tidak jarang mereka dipandang sebagai Homo economicus yang tidak peduli terhadap lingkungan di mana mereka berada. Karenanya, loyalitas dan rasa kebanggsaan mereka terhadap negara masih sering digunjingkan.5 Terkadang etnis Tionghoa ini diberi julukan animal economy atau serigala ekonomi.11

Pandangan yang telah memasuki kawasan sensitif ini jelas sama sekali tidak menguntungkan. Dalam situasi tertentu, perbedaan yang dimiliki oleh dua komunitas tersebut terasa lebih tajam dan sering dijadikan alasan mengembangkan rasa kecurigaan dan tuduhan. Ketika masyarakat pribumi tidak puas terhadap situasi yang ada, komunitas keturunan dapat dengan mudah menjadi sasaran kecurigaan dan sebagainya. Sebaliknya, tuntutan keadilan ekonomi yang datang dari rakyat kecil sering ditanggapi secara dingin oleh sebagain warga keturunan yang dari segi materi memang sangat berlimpah.6

Memanfaatkan Modalitas
Berbagai uraian dalam upaya pembedahan tersebut diatas memberikan pemahaman secara komprehensif, integral dan holistik bahwa konflik, diskriminasi, dan segala bentuk yang lain, bersumber dari dua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Termasuk pula dalam pemerintah ini aparat militer. Dan termasuk dalam masyarakat tentunya etnis Tionghoa dan pribumi sendiri.
Pada awal tulisan telah kita singgung tentang disahkannya Undang-undang Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Telah dimunculkan pula berbagai pertanyaan yang mencoba “mengingatkan” kita bahwa UU tersebut bukanlah jaminan pasti penyelesaian masalah. Harapan logis adalah UU ini dijadikan sebagai stanting point, penyemangat, ataupun modal utama menuju tingkatan ideal yang diharapkan bersama.

Jelasnya permasalahan pertama yang dihadapi, prosentasenya sudah mulai berkurang. Dapat dilihat secara nyata, pemerintah sudah punya itikad baik
untuk menghapuskan diskriminasi dengan mengeluarkan berbagai aturan. Pemerintah secara tepat mengidentifikasikan bahwa upaya integrasi tetap memerlukan pendekatan politik, dalam arti kebijakan pemerintah dan pelaksanaan yang konsisten di semua lini. Berbagai kasus diskriminasi pasca pengesahan UU Kewarganegaraan memang masih dilakukan oleh jajaran pemerintah pada level bawah seperti dengan masih dipersoalkannya Surat Bukti Kewarganegraan Republik Indonesia (SKBRI).12 Namun itu semua tak perlu membuat pesimistis mengingat hanyalah menyangkut kurangnya sosialisasi yang mestinya terselesaikan seiring berjalannya waktu.

Jaminan lain masih dimiliki, mengingat ke depannya proses legislasi masih akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan Undang Undang Antidiskriminasi yang akan diprioritaskan. RUU Kependudukan dan Catatan Sipil pun kini sedang dibahas untuk menggantikan undang-undang yang berlaku sekarang. Undang-undang terkait kependudukan dan catatan sipil yang berlaku secara kolonial diakui memang bersifat rasial. Demikian pula dengan pembahasan RUU Keimigrasian. Sangat tepat mungkin apa yang dikatakan Silalahi (2006) bahwa jika ketiga RUU tersebut nantinya disahkan menjadi UU dan juga mempunyai semangat dan jiwa seperti UU Kewarganegaraan, secara yuridis formal masalah rasial di Indonesia akan teratasi dan wawasan kebangsaan akan semakin bulat.13

Permasalahan selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah respon positif dari masyarakat terhadap lahirnya berbagai kebijakan kewarganegaraan. Suparlan (2006) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat bahwa cita-cita reformasi yang diperjuangkan mati-matian adalah membangun kembali keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang selama ini telah rusak. Inti dari cita-cita reformasi tersebut membangun masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.1

Acuan utama bagi terwujudnya sebuah masyarakat multikultural Indonesia adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan. Dalam model masyarakat multikultural ditegaskan yang utama adalah menjadi warga negara dan bangsa Indonesia tanpa memperdulikan asal suku-bangsa, ras, agama, dan daerah asal. Hal yang dilihat pada seorang warga adalah kesetiaannya pada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang dapat mensejahterakan diri, komunitasnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya.

Arti dari uraian di atas, masyarakat pribumi wajib membuang stigma negatifnya terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat pribumi hendaknya dapat menerima kehadiran etnis Tionghoa secara ikhlas sebagai sesama warga sebangsa. Karena hanya dengan sikap demikian dapat dibangun nation-building Indonesia yang memenuhi tuntutan zaman modern ini dan memenuhi tuntutan hak asasi dan dasar negara hukum.13 Pribumi harus menghilangkan kecumburuan sosial-ekonomi dan sebaliknya belajar bersaing secara sehat, belajar maju dan banyak mengambil contoh, membuang metalitet kuno atau bahkan bekerjasama dengan etnis Tionghoa.6 Usulan lain dari Suparlan (2001) adalah membuang istilah orang pribumi ”asli” Indonesia karena pada dasarnya tidak ada pribumi yang asli Indonesia. Semuanya adalah keturunan dari pendatang di Kepulauan Indonesia. Hanya saja nenek moyang kita datang terlebih dahulu daripada nenek moyang etnis Tionghoa.1 Su menyarankan agar masyarakat kembali kepada ajaran agama yang menjunjung prinsip kesetaraan (egalitarianisme) dan membenci setiap bentuk diskriminasi.14

Sebaliknya, etnis Tionghoa jangan sampai mereka hanya menuntut haknya tetapi melalaikan kewajibannya. Etnis Tionghoa harus memiliki rasa senasib dan sepenanggungan serta solidaritas nasional. Etnis Tionghoa kiranya dapat membangun sikap prososial yang selama ini minim serta memunculkan inspirasi upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.15 Prinsip terpenting adalah mereka harus membuka diri menciptakan peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan pribumi. Mereka juga perlu meninggalkan kecenderungan untuk membuat kelompok-kelompok sosial tersendiri (eksklusif), dan mulai berbaur dengan masyarakat lain secara lebih intensif. Kehadiran mereka mungkin tidak hanya bersifat fisik, diupayakan keterlibatan tersebut juga menyentuh persoalan keseharian yang berkembang dalam masyarakat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membuang budaya negatif memanfaatkan kedekatan dengan aparat pemerintah untuk kepentingan pribadi.16
Epilog
Diakui ataupun tidak, konflik merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari karena konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan suatu masyarakat. Namun dalam pandangan Iskandar,2 konflik merupakan masalah sosial yang tidak diidealkan karena berlawanan dengan integrasi mampun pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rasa aman. Dengan demikian integrasi tidak boleh dianggap sebagai hal yang final dan terberi, melainkan sebagai sesuatu yang menjadi atau berproses sehingga diperlukan usaha secara terus-menerus untuk mewujudkannya.

Untuk itu perlu diambil saran Lestariana agar berbagai upaya minimalisasi konflik yang dihasilkan diatas dapat sampai kepada sasaran. Internalisasi dan sosialilasi melalui aneka jalur pendidikan (formal, nonformal dan informal), aneka wahana (politik, sosial, ekonomi, budaya), aneka media (cetak maupun elektronik), dan berbagai metode interaktif-partisipatif mutlak perlu dilakukan. 8 Semua itu, asalkan dimanfaatkan secara tepat, memiliki daya dorong yang kuat dalam mecegah konflik sekaligus membangun keharmonisan.

Akhirnya mari kita semua bahu-membahu, terus bekerja keras untuk dapat membangun kembali sebuah “Masyarakat Indonesia Baru” yang diidam-idamkan. Masyarakat Indonesia Baru ini menurut definisi Lembong (2006) ditunjukkan dengan terminimalisasinya berbagai kesenjangan di segala bidang seperti bidang pendidikan, bidang sosial, bidang ekonomi dan bidang lainnya. Harapan selanjutnya adalah tercapainya sebuah bangsa yang “Gemah ripah loh jinawi. Tata tentram kerta rahardja.”. 17

DAFTAR RUJUKAN
1 Suparlan Parsudi. 2006. Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi Warga Negara Keturunan Tionghoa di Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
2 Iskandar, Syaifuddin. Konflik Etnik dalam Masyarakat Majemuk. Malang: UM Press, 2006
3 Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafitti Press.
4Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:LP3ES
5 Mandal. Summit K. 1998. Bukan Sekedar Pembelaan. Makalah. Dipresentasikan pada peluncuran buku Hoakiau karya Pramoedya Ananta Toer yang diadakan bersama oleh Garba Budaya, Komunitas Geni Jakarta dan Jaring di Jakarta tanggal 21 Oktober 1998.
6 Taher, Tarmizi. 1997. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
7 Setiono, Benny G. 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan RI 2006, ”What Next”?. Pikiran Rakyat Edisi Senin, 28 Agustus 2006
8 Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
9 Collins, Elizabeth Fuller. 2002. Indonesia: A Violent Culture? Asian Survey, vol. xlii no. 4,  Juli/Agustus 2002, hal. 582-604.
10 Liddle, R William. 1996. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sidney: ASAA, Allen & Unwin.
11 Greif, Stuart W. 1991. “WNI”: Problematika Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta: Grafitti.
12 Arif, Azanul dan Suhirlan A. 2006. UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif?
Memupus Hantu SBKRI. Jakarta: Yayasan Solidaritas Nusabangsa.
13 Silalahi, Harry Tjan. 2006. Diskriminasi, Kata Lee Kuan Yew. Tempo, Edisi 2 Oktober 2006
14 Su, Tomy. 2007. Mengakhiri Dikotomi Islam-Tionghoa. Jawa Pos Edisi Rabu, 24 Januari 2007
15 Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia.
16 Habib, Achmad. 2006. Dinamika Hubungan Antar Etnik China dan Jawa. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Sinologi, Lembaga Kebudayaan-Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 3-4 Maret 2006.
17 Lembong, Eddie. 2006. Kewarganegaraan serta Prospek Hari Depan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan INTI.

Diskusi Agama Diwarnai Kericuhan

Penulis: Sidik Pramono (Media Indonesia)JAKARTA--MI: Kericuhan mewarnai diskusi keagamaan yang digelar dalam rangka memperingati 100 Tahun Buya Hamka, di aula Masjid Raya Al Azhar, Sentra Primer, Jakarta Timur, Sabtu (23/2).

Kericuhan dalam diskusi yang mengusung tema 'Aliran Sesat, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Solusinya' tersebut dipicu pernyataan, Ahmad Sidiq, seorang yang hadir dalam acara itu bahwa diskusi tidak berjalan imbang karena hanya menyudutkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.

"Peserta diskusi hanya mengecap umat Ahmadiyah sesat dan minta dibubarkan. Tapi, umat Ahmadiyah tidak bisa minta umat Islam lain dibubarkan," ujarnya.

Walau sudah diminta moderator untuk mengajukan pertanyaan dan bukan pernyataan, Ahmad Sidiq tetap mengungkapkan pandangannya soal Ahmadiyah. Akibatnya peserta diskusi lain marah dan berusaha menyerang Sidiq. Beruntung petugas keamanan dengan sigap menyelamatkan Sidiq.

Petugas Polsek Cakung yang bertugas dalam acara tersebut langsung mengamankan Sidiq dan ayahnya, Mustahdi yang sempat tertahan di aula masjid. (Dik/OL-06)

22 Februari 2008

Peranan Studi Genetik dalam Kegiatan Konservasi




Posted on November 2, 2007 by vetopia

Peranan Studi Genetik dalam Kegiatan Konservasi

Drh. Chandramaya Siska Damayanti, MSi

“Alam di seluruh permukaan bumi tersusun atas berbagai spesies makhluk hidup liar yang tanpa disadari telah memberikan berbagai kemudahan dan pelayanan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang bisa jadi sangat mahal atau bahkan tidak mungkin diciptakan sendiri oleh manusia. Berkurangnya jumlah spesies liar di alam dalam jangka panjang dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.”


Keanekaragaman hayati (biodiversity) dibagi menjadi tiga kategori dasar, yaitu keragaman genetik, keragaman spesies,dan keragaman ekosistem.

Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam setiap spesies yang mencakup aspek biokimia, struktur, dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA.

Keragaman spesies merupakan variasi seluruh tumbuhan, hewan, fungi, dan mikroorganisme yang masing-masing bertumbuh dan berkembangbiak sesuai dengan karakteristiknya.

Keragaman ekosistem merupakan variasi ekosistem, dimana ekosistem adalah unit ekologis yang mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan antar komponen-komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi.

Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati tersebut, dimana saat ini kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak hanya mengurangi populasi spesies hewan dan tumbuhan, tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah. Ilmu konservasi mempelajari individu dan populasi yang sudah terpengaruh oleh kerusakan habitat, eksploitasi, dan perubahan lingkungan. Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan tersebut karena, dengan studi genetik, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui.

Perkembangan teknik molekuler seperti penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai DNA hingga mencapai konsentrasi tertentu, penggunaan untai DNA lestari sebagai marker dalam proses PCR, penemuan lokus mikrosatelit yang hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA, telah menyebabkan ilmu genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi biologi suatu populasi.

Terobosan-terobosan ini, bersamaan dengan berkembangnya teknik pemodelan matematika melalui program-program komputer, telah mempermudah para peneliti untuk mendapatkan data genetik suatu populasi yang sangat berguna dalam merancang program konservasi suatu spesies tertentu. Penerapan studi genetik dalam permasalahan konservasi didasari oleh teori genetika populasi.

Genetika populasi merupakan salah satu cabang ilmu biologi populasi yang mempelajari tentang faktor-faktor yang menentukan komposisi genetik suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor tersebut berperan dalam proses evolusi. Genetika populasi juga meliputi studi terhadap berbagai faktor yang membentuk struktur genetik suatu populasi dan menyebabkan perubahan-perubahan evolusioner suatu spesies sepanjang waktu. Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi pada suatu populasi, yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi alam, genetic drift, gene flow, dan perkawinan yang tidak acak. Faktor-faktor tersebut akan memepengaruhi keragaman genetik pada suatu populasi.

Prinsip utama dalam genetik populasi adalah prinsip Hardy-Weinberg. Prinsip Hardy-Weinberg menduga bahwa, dalam kondisi tertentu, frekuensi alel dan genotipe akan tetap konstan dalam suatu populasi, dan keduanya saling berhubungan satu sama lain. Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksud dalam prinsip Hardy-Weinberg ini meliputi : 1) kawin secara seksual dan acak, 2) tidak ada seleksi alam, 3) kejadian mutasi diabaikan, 4) tidak ada individu yang masuk atau keluar dari suatu populasi, dan 5) ukuran populasi yang cukup besar. Jika kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai populasi yang berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium). Penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg ini merupakan dasar untuk mendeteksi kejadian inbreeding, fragmentasi populasi, migrasi, dan seleksi.

Memahami dan mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam. Sebagai contoh, suatu populasi dengan keragaman genetik yang rendah dapat kita umpamakan sebagai suatu kelompok individu yang saling bersaudara satu sama lain. Sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di dalam kelompok tersebut akan merupakan perkawinan antar saudara (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan menyebabkan suatu individu menjadi sensitif terhadap patogen.

Dengan mengetahui status genetik suatu populasi, kita dapat merancang program konservasi untuk menghindari kepunahan suatu spesies. Misalnya dengan memasukkan individu baru yang berasal dari populasi yang memiliki keragaman genetik yang tinggi ke dalam populasi dengan keragaman genetik yang rendah (istilahnya : memasukkan darah baru atau darah segar ke dalam suatu populasi) untuk menghindari kejadian inbreeding. Atau tindakan-tindakan konservasi lainnya seperti menjadikan wilayah yang dihuni oleh populasi spesies dengan keragaman genetik yang tinggi sebagai taman nasional? (Ahli manajemen konservasi tentu lebih paham tentang hal ini). Segala usaha yang dilakukan tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mempertahankan keragaman genetik pada suatu populasi spesies untuk mempertahankan keberadaannya di alam di masa yang akan datang.

Dari berbagai Sumber

Drh. Chandramaya Siska Damayanti, MSi

sumber foto: http://www.flickr.com/photos/

20 Februari 2008

Menggugat Animis Pantheistik Kyai



(SEBUAH PANDANGAN PRIBADI TENTANG "Dunia Pesantren")

Oleh: Husamah
(Ketua Forum Diskusi Ilmiah Unmuh Malang)

Banyak dari kita, mengenal pesantren dari kesederhanaan bangunan-bangunan fisik lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kyainya, dan dalam beberapa hal pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan. Menyoroti masalah pesantren tidak akan pernah lepas dari peran dan tindak-tanduk para kyai.

Berbagai “penampakan” kyai akhir-akhir ini dapat dilihat, mulai dari terorisme, politik, sosial kemasyarakatan, lingkungan sampai dunia ekonomi.
Kyai adalah pemimpin informal, diyakini dan dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai orang alim. Pengaruh kyai sangat diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat nasional, pejabat daerah, para pengusaha, maupun oleh masyarakat umum. Namun demikian pangaruh kyai ini tidak tergantung pada loyalitas komunitas terbatas yang didorong oleh hutang budi orang-orang tertentu atas jasanya, dan juga mereka tidak pula tergantung pada dukungan keluarga.


Demikian pentingnya posisi para kyai ini bagi pemerintah terutama dapat kita lihat dari hasil penelitian PKSK (1999) dalam Ainur Rofieq (2002) yang menunjukkan bahwa dari 2870 pondok pesantren di Jawa Timur, pesantren yang tidak pernah dikunjungi pejabat pemerintah hanya 14,52%. Sedangkan sisanya 85,48% pesantren menyatakan pernah dikunjungi pejabat pemerintahan. Bahkan dalam penelitian tersebut menunjukkan hampir 50% pesantren mengaku sering dikunjungi oleh pejabat.


Pengaruh kyai dalam masyarakat menurut Arifin (1993) lebih banyak dibentuk oleh pola kepemimpinannya di pondok pesantren. Salah satu konsep yang sangat penting adalah konsep animis pantheistik. Animis Pantheistik berarti penghormatan oleh masyarakat kepada kyai yang disebabkan masyarakat mempraktekkan kepercayaan agam terdahulu atau agama yang pertama kali datang ke Nusantara sebelum Islam. Hal ini lebih mengarah pada pengkultusan para kyai atau malah di anggap “dewa”.


Dewasa ini konsep ini lebih dominan dari pada kedua konsep lainnya yaitu Wilayatul Imam dan Sufisme. Realitanya, tanggal 15 Januari 2001, Banser yang dimotori oleh para “santri” berikrar untuk secara total melindungi Gus Dur dari serangan para pendemo yang jumlahnya (menurut media massa) mencapai ribuan. Ada rumor yang berkembang bahwa Jakarta pada waktu itu akan menjadi Malari Jilid II. Contoh lain sering kita saksikan di televisi. Para santri dan masyarakat “rela” bentrok antar sesamanya demi melindungi atau membela para kyai. Bahkan Suatu ketika di Surabaya penulis melihat Posko Jihad untuk membela seorang kyai.


Dalam hal ibadah pun posisi kyai tambah mutlak.Santri dan masyarakat biasa bertaqlid kepada para kyai. Apa yang dikatakan kyai yang berkenaan dengan agama adalah benar belaka. Mereka tidak berani bertanya soal dasar dan dalil pendapatnya. Demikian pula para kyai sendiri dalam memahami masalah fiqih bertaqlid pada imam Syafi.i dan ulama Syafi.iyyah, karena mereka mujtahid. Merujuk langsung pada al-Quran dan sunah tidak umum di kalangan mereka, masalah inilah yang ingin dirombak oleh kaum pembaharu

Sekedar melengkapi keterangan ini, simak penjelasan pengamat nahdhiyyin, Andree Feillard, .Para santri belajar pada guru-guru mereka, para kyai yan kadang-kadang juga merupakan syeikh sebuah tarekat. Sekolah-sekolah itu hidup terutama dari hasil pengelolaan tanah mereka dan sumbangan-sumbangan, bukan dari uang sekolah para santri. Biasanya para santri berasal dari pedesaan. Para kyai memegang kekuasaan yang sangat besar. Otoritasnya hanya dapat disangkal oleh seorang kyai lain yang lebih berpengaruh. Di masyarakat pedesaan ini, peran mereka sangat banyak; menjadi anutan dibidang keagamaan, memimpin upacara-upacara keagamaan, dan bahkan juga menjadi penasehat pribadi para anggota masyarakatnya.


Dalam pandangan Realitas dalam masyarakat, kiai menjelma sebagai superman atau manusia “serba guna”. Ia tidak saja melulu bergelut dengan konteks religius atau sebatas pendidikan (agama Islam) yang identik dengan kehidupanNya itu. Tetapi cukup aktif diminta dan dituntut untuk bermain dalam berbagai bidang garapan lain. Mulai berperan sebagai “psikiater” ketika diminta untuk memberi solusi persoalan pribadi atau keluarga tertentu dan seterusnya. Atau “dewan perdamaian dan pertahanan” ketika terjadi kerusuhan atau tawuran antar desa misalnya. Dan juga sering aktif bermain dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang utamanya akhir-akhir ini para kiai ngetren dengan manuver politik, meskipun sudah lazim bahwa dalam konteks politik para kiai sering hanya habis manis sepah dibuang saja.Atau menurut KH. Mustofa Bisri, ibarat pendorong mobil macet, begitu mobil jalan, maka si pendorong ditinggalkan begitu saja.

Selama ini, kiai penuh otoritas, minimalnya di dalam pesantren dan lingkungan sekitarnya. Dan otoritasnya hanya bisa diganjal oleh kiai lain yang dianggap lebih berpengaruh. Perlu disadari, dewasa ini, otoritas kiai dalam bermasyarakat, hanya akan merugikan dan membelenggu individu kiai itu sendiri. Sebab dengan semakin kompleknya pola pikir dan gaya manusia abad ini, dan dengan semakin derasnya arus-gelombang pergantian budaya. Yang dibutuhkan adalah fleksibelitas religius seorang publik figur, dalam menerapkan “budaya hukum Islam” di tengah iklim bermasyarakat (religius).


Akhirnya, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa seharusnya para kyai adalah realisasi konkret atau standar keteladanan bagi semua pemimpin umat Islam. Hal ini berarti kepemimpinan yang tidak sekedar dilandasi oleh kemampuan dalam mengelola dan menjalankan mekanisme kepemimpinannya melainkan mengangap kepemimpinan lebih dilandasi oleh nilai-nilai spiritual yang memiliki otoritas keagamaan. Kyai pun seharusnya sebagai pemimpin umat yang erat hubungannya dengan sifat-sifat transsendental, dimana pemimpin umat adalah teladan sempurna bagi semesta dan merupakan contoh hidup tentang ma’arifat. Dapat difahami mengapa posisi kyai dapat sedemikian sentralnya dalam kehidupan, manajemen hingga kurikulum pendidikan informal pesantren, dimana kekuasaan mutlak berada di genggaman kyai. Kyai bukan makhluk yang primus inter pares, melainkan sebagai pemilik tunggal. Itulah masalahnya.

Saatnya Menjadi Petani Berdasi

Geliat Agribisnis

Oleh: Husamah
(Mahasiswa Biologi UMM Magang di MAI Batu)

Sampai saat ini, profesi sebagai petani masih identik dengan ketertinggalan, kumuh, dan pakaian kotor. Masih banyak yang belum menguasai teknik pertanian modern atau ilmu pertanian apalagi teori-teori yang berkaitan dengan ilmu tumbuhan. Pertanian dilakukan secara konvensional dan tradisional. Sebagian lagi tidak memperdulikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Kondisi ini akhirnya menyebabkan profesi petani mulai banyak ditinggalkan. Lahan-lahan pertanian semakin menyusut menjadi perumahan. Bahkan anak petani pun tak mau lagi menjadi petani. Jurusan-jurusan yang berhubungan dengan pertanian dan juga biologi pun sepi dari peminat. Bertani sudah dianggap tidak menjanjikan lagi. Hal ini pastinya bertolak belakang dengan julukan Indonesia selama ini, yaitu negara agraris.

Faktanya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang dianugerahi kekayaan flora (tumbuhan) luar biasa. Indonesia telah lama dikenal sebagai lumbung plasma nutfah. Banyak species tumbuhan belakangan diketahui hanya ada di Indonesia dan tidak ditemukan di tempat lain di belahan dunia. Potensi besar ini jika tidak di manfaatkan justru akan sia-sia alias mubazir. Padahal jika mampu dimanfaatkan pastilah mampu mengangkat derajat kehidupan masyarakat dari segi ekonomi, selain juga melestarikan kehidupan flora di bumi Indonesia. Salah satu contoh dari uraian di atas adalah tanaman hias yang dapat dijadikan alternatif untuk menambah pundi-pundi pendapatan keluarga jika benar-benar ditekuni.

Pola pikir rasional, terbuka dan berusaha menggali potensi pertanian Indonesia inilah yang selalu di ajarkan oleh "duet" ahli tanaman yang mendirikan Mitra Anggrek Indonesia. Mereka adalah Drs Untung Santoso M.Si beserta istrinya Dr Ir Fatimah Nursandi MS. Keduanya merupakan staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang.

Mitra Anggrek Indonesia (MAI) dirintis oleh sejak tahun 1998, beralamat di Jl. Hasanudin I/24 Junrejo Kota Batu, Telp/Fax. 0341-463391 HP. 0811363392. Pengelolaan secara serius dimulai sejak tahun 2000 yang ditandai dengan perekrutan tenaga kerja, landscaping dan gardening khususnya budidaya anggrek dan budidaya tanaman hias khas Indonesia.

Pendirian Mitra Anggrek Indonesia didekasikan untuk melestarikan flora Indonesia sekaligus untuk mengembangkan ilmu pertanian dan tanaman. Prinsip konservasi itu tetap menjadi acuan utama dengan tidak meninggalkan aspek ekonomi. Bidang pertanian dikelola secara optimal, profesional, modern dan berkesinambungan (sustainable). Pada perkembangannya Mitra Anggrek Indonesia (MAI) telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak seperti Ikatan Pecinta Anggrek Indonesia (IPAI). Bahkan Drs Untung Santoso M.Si dan Dr Ir Fatimah Nursandi MS merupakan pengurus IPAI Pusat.

Saai ini Mitra Anggrek menempati lahan seluas 300 meter persegi dengan jumlah tenaga kerja 4 orang dan juga telah menghasilkan banyak tenaga kerja yang mandiri (menjadi pengusaha anggrek dan tanaman hias) di berbagai tempat. Pekerjanya adalah pemuda kampung yang dididik secara khusus, meskipun mereka hanya lulusan SD-SMA tetapi mampu mengusai teknik-teknik yang diajarkan di tingkat Universitas misalnya kultur jaringan.

Mahasiswa-mahasiswa magang yang datang dari berbagai universitas pun diberi "kebebasan" untuk menambah pengetahuannya, sekaligus memberikan kontribusi positif bagi dunia pertanian, ilmu pengetahuan dan tekonologi (IPTEK). Akhirnya, kita sebagai anak bangsa memiliki harapan besar bangkitnya sektor-sektor pertanian dan munculnya petani-petani berdasi layaknya petani-petani dinegara maju. Dan tentunya, salah satu yang ikut mendorong tercapainya cita-cita itu adalah bertambahnya lembaga yang memiliki misi mulia seperti Mitra Anggrek Indonesia ini.

Program VIY 2008 Setengah Hati

Oleh Husamah
(Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Malang)


(DIMUAT DI HARIAN MEDIA INDONESIA EDISI FEBRUARI 2008)

Jika sesuai dengan harapan, maka pada tahun 2008 Indonesia akan dikunjungi minimal tujuh juta wisatawan mancanegara. Bahkan untuk mencapai harapan itu pemerintah telah me-launching program Visit Indonesia Year 2008 dengan slogan penggugah Celebrating 100 years National Awakening.

Tentunya sebagi bagian dari bangsa Indonesia, kita tentu memiliki asa yang sama dengan pemerintah. Memang, seperti yang ditulis dalam Media Indonesia (Rabu, 26/12/2007), suksesnya Visit Indonesia Year 2008 akan memberi dampak pada berbagai bidang, yaitu ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, kebudayaan, pariwisata, keamanan dan lainnya.

Namun, program ini masih dilakukan setengah hati. Mengapa? Terlalu banyak fakta yang dapat kita gunakan. Misalnya, banyak maskapai penerbangan Indonesia yang dicekal oleh Negara-negara lain karena tidak memenuhi Standar International seperti keselamatan. Bandara pun ternyata masih banyak yang belum layak. Bahkan bandara yang sekelas Soekarno-Hatta harus terganggu oleh banjir sementara bandara Polonia justru terbakar.

Contoh berikutnya adalah pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Meskipun terkenal dengan bangsa kepulauan dan 2/3 wilayahnya terdiri dari laut, pelabuhan-pelabuhananya ternyata tidak memenuhi standar. Hal ini menyebabkan kapal-kapal pesiar yang mengangkut ribuan wisatawan tidak mau berlabuh di Indonesia.

Selanjutnya, lihatlah fasilitas objek wisata di daerah-daerah. Banyak fasilitas yang tidak terpelihara dengan baik, kumuh, rusak dan sebagian lagi memang tidak ada. Pengelolaan obyek wisata oleh sebagian pemerintah daerah masih setengah-setengah. Hal ini dapat dilihat dari minimnya upaya promosi dan sarana informasi wisata. Andaipun ada informasi wisata melalui media website daerah, tapi ternyata pengemasannya tidak menarik dan tidak lengkap.

Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap pusat. Kebanyakan yang dijual hanyalah Bali. Padahal daerah lain juga memiliki obyek wisata yang tidak kalah menarik, tentunya jika dikelola dengan baik dan melibatkan berbagai stakeholder.

Lalu pertanyaannya adalah apakah dengan kondisi seperti yang digambarkan di atas Indonesia akan memenuhi target 7 juta wisatawan? Jawabannya tentu tergantung pada kesigapan pemerintah dalam menanggapi permasalahan tersebut. Semoga.

Maritim-Agraris, Sisa-Sisa Kebanggaan




Oleh: Husamah
(Peserta Pelayaran Kebangsaan VII Dikti dari Biologi-Unmuh Malang)


DIMUAT DI MEDIA INDONESIA EDISI SENIN 19 FEBRUARI 2008

Sejak abad ke-15, kebesaran maritim nusantara telah dikenal luas oleh bangsa-bangsa Eropa dan Timur Tengah. Nenek moyang kita dikenal berhasil menundukkan samudera luas. Kargo yang diangkut pelaut-pelaut kita selalu dinantikan oleh bangsa-bangsa lain. Pada masa itu, penguasaan terhadap lautan luas sudah menjadi ikon perdagangan lintas bangsa atau dikenal dengan open market economy.

Namun secara nyata dan meyakinkan kejayaan maritim itu memudar. Bangsa Indonesia yang dikaruniai lautan 2/3 dari wilayah kedaulatannya atau sekitar 5,8 juta Km persegi, panjang pantai lebih dari 81.000 Km dan di dalam lautnya terkandung potensi perikanan sebanyak 6,7 juta ton per tahun justru jatuh dalam krisis multidimensional.

Fakta kemaritiman bukan kemakmuran melainkan kemiskinan, kekumuhan dan ketertinggalan nelayan serta masyarakat pesisir. Wilayah laut yang idealnya menjadi alur pelayaran dunia dan berarti ladang untuk menambah pundi-pundi devisa justru menjadi area penyelundupan dan illegal fishing. Kontribusi sektor maritim baik terhadap Produk Domestik Bruto maupun terhadap pembangunan daerah belum mampu menjadi mesin kemakmuran. Bahkan potensi minyak, gas bumi dan energi alternatif terbarukan tidak mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis energi.

Anehnya kondisi yang sama juga terjadi pada wilayah agraris Indonesia meskipun pemerintah selama beberapa dekade telah continental oriented (berorientasi ke darat). Buktinya adalah krisis dan melonjaknya harga beras, minyak goreng, kedelai, dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Masyarakat terpaksa mengonsumsi makanan tidak layak, nasi aking, nasi basi dan serangga-serangga tertentu. Anak-anak di beberapa daerah menderita busung lapar dan krisis gizi, yang pastinya berpengaruh terhadap mutu SDM mereka dan tentunya kemajuan bangsa ini kelak.

Penderitaan tidak berakhir sampai di situ. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin masih mencapai 37,17 juta tahun 2007. BPS mencatat pula bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih mencapai 9,75% dari angkatan kerja atau 10,55 juta jiwa. Nilai Human Development Index (HDI) juga jauh tertinggal dari Negara ASEAN lainnya. Angka buta aksara pun mencapai puluhan juta.

Mengapa potret buram ini di alami bangsa yang dulu dijuluki maritim dan agraris? Jawabannya tetap klasik, sama seperti dulu yaitu para pemimpin dan elit politik kita yang salah dalam mengurus negara. Dalam bidang maritim misalnya, menurut pakar ekonomi maritim Laode Kamaludin dalam bukunya Indonesia sebagai Negara Maritim dari Sudut Pandang Ekonomi (UMM Press 2005) kebijakan maritim pemerintah ternyata belum menyentuh aspek-aspek strategis yang mampu mengikat dan memayungi instrumen ekonomi maritim. Sektor martim kemudian malah menjadi sasaran pengurasan akibat adanya disorientasi kebijakan.

Sementara kemerosotan dalam sektor agraris terjadi karena pemerintah terjebak dalam misi pembangunan infrastruktur. Lahan-lahan semakin menyusut bahkan hilang tergantikan oleh bangunan-bangunan mewah, perumahan, ruko-ruko dan pusat perbelanjaan. Iming-iming globalisasi menambah penderitaan masyarakat di mana subsidi untuk para petani menyusut tajam mengakibatkan bahan baku pertanian mahal, sementara keuntungan tidak sebanding. Pemerintah pun lebih mementingkan impor dan mematikan potensi pertanian lokal.

Melihat tingkah laku pemerintah dan para elit politik saat ini, sepertinya penderitaan masyarakat belum akan berakhir. Idealisme mereka terhadap bangsa ini telah semakin memudar, jika bukan telah tenggelam. Politik yang sedianya menjadi alat pemakmuran rakyat kini menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas, serba menerabas, dan penuh kebusukan. Otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil dan tetap saja mematikan kreasi dan inisiatif lokal, sama seperti era sentralisasi.

Akhirnya, julukan Indonesia sebagai negara maritim dan agraris mungkin lebih layak disebut sebagai sisa-sisa kebanggaan. Negara maritim dan agraris hanya tinggal kenangan. Entah sampai kapan potensi kemaritiman itu kembali tergali dan memakmurkan. Mungkin 15-30 tahun lagi, ketika para pemimpin sekarang telah menghilang dan tidak berpengaruh lagi. Semoga.

Menerobos Gelapnya Labirin Disleksia

DIMUAT DI KORAN PENDIDIKAN EDISI MINGGU KEDUA FEBRUARI 2008


Judul: Living with Dyslexia: Pergulatan Ibu Melepaskan Putranya dari Derita Kesulitan Belajar
Penulis : Lissa Weinstein, Ph.D
Pengantar : Dr. Seto Mulyadi
Penerbit : Qanita Mizan
Cetakan : I/Januari 2008
Tebal : xxviii+358 halaman
Peresensi : Husamah*

Menerobos Gelapnya Labirin Disleksia

Disleksia sering dikenal dengan ketidakmampuan mengenal huruf dan suku kata dalam bentuk tertulis atau ketidakmampuan dalam membaca. Penderita disleksia mengalami kesulitan membedakan bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka dapat menangkap kata dengan indra pendengaran dan penglihatan tapi karena kelainan saraf pada otak sehingga kesulitan menuliskan huruf.
Penyebab disleksia adalah faktor genetis, yaitu dari garis keturunan orang tua. Penyakit ini terjadi pada 5%-10% seluruh anak di dunia. Meskipun mengalami kesulitan menulis huruf dan tentunya kesulitan belajar, bukan berarti disleksia merupakan ketidakmampuan intelektual.
Faktanya, penyandang disleksia adalah orang yang tajam secara visual (gambar), berdaya intuisi tinggi, dan pemikir multidimensional. Contoh konkritnya adalah orang-orang besar dunia seperti Tom Cruise, Whoopi Goldberg, Keanu Revers, Leonardo Da Vinci, Pablo Picasso, Muhammad Ali, Magic Jhonson, Hendri Ford, Walt Disney, John Lennon, Winston Churchill, Agatha Christie dan JF Kennedy. Bahkan tokoh-tokoh jenius seperti Alexander Graham Bell, Albert Einstein, dan Thomas Alfa Edison pernah menyandang disleksia.
Memang pada dasarnya setiap orang tua menginginkan anaknya tumbuh normal, baik secara fisik, emosional dan intelektual. Lalu bagaimana jika suatu ketika orang tua dihadapkan pada kondisi bahwa anaknya menderita disleksia? Apakah anak akan dibiarkan begitu saja dalam deritannya tanpa adanya perjuangan dari orang tua untuk memerdekakan dan mengubahnya?
Sebaiknya, berkacalah pada buku yang didasarkan pada kisah nyata (true story) seorang ibu bernama Lisa Weinstein ini. Lissa Weinstein, menuliskan pengalaman berharga, pahit-getir, kecemasan-kecemasan dalam menangani anaknya, David, sampai keluar dari gelap labirin disleksia dan menjadi anak yang luar biasa.
Ada beberapa nasehat bijak yang disampaikan penulis kepada para orang tua. Pertama, jangan hanya menunggu dan melihat. Segera ambil tindakan dini dan jangan dengarkan keragu-raguan dalam diri. Jika perasaan mengatakan ada sesuatu yang berbeda pada anak anda, periksalah segera. Para ibu memiliki kesadaran naluriah mengenai perilaku anak yang tidak mengikuti perkembangan umum. Tidak ada ruginya jika anak segera dites dan di-remediasi.
Kedua, percayalah pada minat anak dan jadikan andalan. Biarkan mereka bermain. Permainan adalah sarana luar biasa yang bisa dikendalikan untuk membantu pembelajaran, Bermain membantu anak mengelola trauma akibat tidak bisa membaca itu dengan mengubah kenyataan untuk membantunya menguasai keterampilan tertentu. Dengan mengandalkan minat-minat, anak meminjam energi itu untuk mengatasi kegelisahannya. Jangan sekedar berbicara dengan anak. Duduklah dilantai dan bermainlah bersama mereka.
Ketiga, membacalah untuk anak, sementara dia menatap kata-kata. Perbanyaklah membaca untuk anak. Jika, kata, bentuk, atau bunyi itu sudah pernah ditemui anak sebelumnya, si anak akan lebih mudah mengenali dari ciri-ciri atau fragmen-fragmennya, sehingga memperbesar kemungkinan bahwa anak akan bisa mengenali kata itu waktu dia melihatnya.
Keempat, jadilah teman belajar, bukan tutor. Bacalah buku yang sedang dibaca anak. Cari video buku itu untuk membantunya mengenali tokoh-tokoh dalam cerita. Anak-anak penyandang kesulitan belajar sering kali sukar "memasuk" buku karena mereka sulit mengingat nama tokohnya. Jika pertama kali memasuki saja sudah susah, mereka justru akan menggeletakkan buku.
Pelajaran lain yang dipetik yaitu terimalah keterbatasan pada diri anda. Menurut lisa, melalui keterbatasan-keterbatasan itu, kemungkinan-kemungkinan baru akan muncul. Pada halaman 338-339, Lissa menulis, "Kesulitan-kesulitannya juga memberiku kesempatan untuk menjalin hubungan yang teramat akrab dengan putraku; hubungan yang mungkin tidak akan kumiliki seandainya dia tidak menyandang disleksia. Secara paradox, menyandang kesulitan belajar adalah sumber keuletan bagi David. David, seorang pengamat diri yang hebat, memiliki kesadaran yang hebat tentang bagaimana pikirannya bekerja. ….. David juga seorang penulis yang baik, aksesnya terhadap bahan-bahan visual dan perumpamaan membuat kata-katanya terasa tepat sasaran, tidak seperti kata-kataku."
Masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah nyata buku ini, sejak bagian awal. Lissa telah menelanjangi fakta-fakta disleksia dan juga emosi-emosi manusia yang sesungguhnya di bawah label kesulitan belajar. Akhirnya, seperti yang dituturkan Dr Seto Mulyadi (Kak Seto), buku ini perlu disambut gembira. Buku ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para orang tua yang memiliki putra-putri yang menyandang kesulitan belajar. Kehadiran buku ini akan sangat membantu melengkapi pustaka kesulitan belajar, khususnya disleksia yang selama ini masih jarang.

*) Husamah
Editor Majalah "Spora" Biologi UMM dan Ketua Forum Diskusi Ilmiah (FDI)-UMM

Peristiwa Bandar Betsy


Pelda S. Soedjono Tewas, Kepalanya Dicangkul
oleh: Eko Prasetyo
(wartawan/editor di Jawa Pos, email:prasetyo_pirates@yahoo.co.id)

Pada kurun 1961-1965, banyak terjadi aksi sepihak yang dilakukan oleh ormas di bawah PKI. Di antaranya, Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerwani. Munculnya isu Dewan Jenderal yang diembuskan Politbiro PKI melalui Dr Soebandrio menambah pelik situasi politik saat itu. Ditambah, PKI ingin membentuk Angkatan ke-5 yang langsung ditentang oleh Menpangad Letjen A. Yani. Apalagi, nasakom telanjur dijadikan tameng oleh PKI untuk memuluskan dan menghalalkan segala niatnya.

Terlepas dari masih kaburnya fakta sejarah tentang G 30 S dan keterlibatan tokoh tertentu, kita musti bersyukur bahwa komunis dihancur-ratakan pasca tragedi berdarah pada subuh 1 Oktober 1965. Aksi-aksi sepihak PKI di beberapa daerah banyak menelan korban jiwa. Bahkan, pembunuhan yang mereka lakukan sudah di luar batas kemanusiaan. Salah satunya adalah peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara.

Pada 14 Juni 1965, Aksi BTI yang menanami secara sepihak di tanah perkebunan karet milik negara, Bandar Betsy, Kab. Simalungun, Sumut, ditegur oleh Pelda S. Soedjono. Soedjono adalah prajurit TNI-AD yang dikaryakan di situ. Namun, sial bagi Soedjono. Dia dituduh, dimaki, dan dicap sebagai tentara nekolim oleh massa BTI dan PR tersebut. Tidak lama kemudian, massa semakin beringas mengeroyok Soedjono. Korban yang akhirnya terjatuh dihujani pukulan dan benda-benda tumpul seperti linggis. Pelda S. Soedjono akhirnya meninggal setelah kepalanya hancur karena dicangkul.

*****

Pasca tragedi berdarah 1 Oktober 1965, ditambah propaganda media massa yang membakar menyudutkan PKI, TNI melakukan gerak cepat menyisir dan melakukan "pembersihan" tanpa sidang terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Tidak kurang dua juta orang yang dianggap PKI dibantai. Ada pula yang hilang tanpa jejak setelah "diambil" oleh TNI. Sungai-sungai sekitar Blitar bau anyir darah. Mayat-mayat berserakan di mana-mana. Dan itu terjadi tidak hanya di Pulau Jawa. Namun, "pembersihan" juga terjadi di luar Jawa. Agaknya, pembalasan terhadap peristiwa Bandar Betsy jauh lebih besar daripada tragedi tersebut.

Apa pun itu, peristiwa Kanigoro di mana Alquran diinjak-injak dan dirobek oleh massa BTI dan PR tidak membuat kita larut dalam dua sisi. Bahwa di situ ada PKI yang mengayomi ormas-ormas seperti BTI, PR, dan Gerwani. Sejarah bisa diputarbalikkan, tapi tidak untuk tertutupi selamanya. Sebab, kebenaran apa pun itu pasti akan terungkap.

berita rokok


Istana Jepang Hentikan hadiah Rokok
Implikasi Gerakan Larangan Merokok di Tempat Umum


Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 31, 2008

Tokyo, mitro online - Istana Imperial Jepang sejak tahun 2007 lalu mengakhiri tradisi membagikan hadiah berupa rokok khusus kepada para pegawai yang sudah berlangsung beberapa dekade.Istana kerajaan mengatakan keputusan itu merupakan reaksi atas menurunnya jumlah perokok di Jepang, ditengah upaya menghentikan kebiasaan itu.

Istana Imperial yang merupakan kediaman Kaisar Jepang di Tokyo tidak akan melarang kebiasaan ini di Istana dan akan terus menawarkan rokok kepada para tamu.

Rokok Imperial, yang setiap batang dicap dengan bunga krisan emas, dibuat oleh Japan Tobacco dan mulai diproduksi tahun 1934. Juru bicara Japan Tobacco mengatakan jumlah produksi rokok ini turun dari 280 juta batang tahun 1944 menjadi 1,4 juta tahun 2003.

Istana menghentikan pemberian hadiah rokok kepada para pegawai dan tenaga sukarela pada bulan April tahun 2007. Dalam beberapa tahun terakhir di Jepang muncul gerakan untuk melarang merokok di tempat umum seperti di jalan-jalan Chiyoda Ward di Tokyo, dan parlemen sedang mempertimbangkan pencetakan peringatan yang lebih keras di bungkus rokok.

Namun merokok ditoleransi di Jepang. Harga rokok pun relatif murah - rata-rata sekitar 2,8 dolar per bungkus - dan Jepang merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di antara negara maju, 30 persen orang dewasa negara itu merokok.



Absurditas Kaum Miskin

Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 30, 2008

Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang paling mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri (baca: rokok). Lihat saja hasil Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS). Data menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga miskin untuk rokok lebih besar daripada untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Tahun 1999, keluarga miskin menghabiskan 5,3 persen pengeluaran untuk rokok, sementara untuk kesehatan dan pendidikan masing-masing hanya 1,7 dan 2,9 persen.

Tahun 2002, belanja rokok untuk keluarga miskin naik menjadi 6,8 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 2,1 dan 2,5 persen. Tahun 2003, belanja rokok mencapai 7,6 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 1,9 dan 2,6 persen. Tingkat konsumsi rokok keluarga miskin dari tahun ke tahun juga terus meningkat, sementara tingkat konsumsi kebutuhan pokok cenderung menurun atau naik sedikit saja. Tak mengherankan mengapa banyak ditemukan anak yang menderita busung lapar di tengah keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok – termasuk susu — dialihkan untuk membeli rokok.

Data lain, alokasi belanja rokok kelompok masyarakat miskin juga lebih besar dari warga kaya. Tahun 2004, orang miskin mengalokasikan 10,9 persen anggarannya untuk rokok, sementara orang kaya hanya 9,7 persen. Diperkirakan pada 2007, jumlah keluarga miskin di Indonesia sebesar 19 juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2/3 laki-laki keluarga miskin merokok, sehingga diperkirakan 12 juta kepala keluarga miskin adalah perokok. Fakta lain, ternyata jumlah belanja rokok kelompok masyarakat miskin (Rp 23 triliun/tahun) lebih gede dari anggaran APBN untuk DEPKES (hanya Rp 17 triliun).

Absurditas perilaku masyarakat miskin, yang lebih mementingkan konsumsi rokok daripada kebutuhan pokok, itu masih bisa dimengerti. Maklumlah, masyarakat miskin secara umum berpendidikan rendah. La yang berpendidikan tinggi saja juga sulit melepaskan diri dari rokok – bagi mereka yang sudah ketagihan. Tampaknya kebiasaan merokok menjangkiti manusia secara lintas batas usia, latar belakang pendidikan, strata ekonomi dan lintas etnis, apalagi agama. Akal sehat dan moralitas cenderung tak berlaku dalam soal merokok.

Penyair Taufiq Ismail dalam beberapa puisinya sangat tepat menggambarkan kebiasaan buruk di kalangan masyarakat dari semua kelas sosial. Simak sebagian bait berikut: “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,…”

Bahkan dalam bait lain, Taufiq Ismail berani menyindir kalangan kiai yang umumnya menjadi teladan moral bagi masyarakat, yang tak juga lepas dari dosa merokok. Baca saja: “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita. Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan centi panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya…”

Di mata Taufiq Ismail, rokok telah menjadi tuhan baru bagi para perokok, termasuk kalangan kiai yang sehari-hari membawa 99 biji tasbeh untuk mengingat Tuhan. Jadi tak berlebihan jika kebanyakan kaum miskin pun mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri, istilah lain untuk rokok yang dipakai oleh penulis buku ini. Wusss, kruiinggg… *


Gubernur Sumsel Canangkan Kawasan Bebas Rokok


Mulai dari Kantor Gubernur, Merembet ke Kantor Instansi Lainnya.

PALEMBANG, MITRO Online - Seluruh kawasan Kantor Gubernur Sumsel di Jl Kapten A Rivai mulai 23 Agustus bebas dari asap rokok. Pencanangan kawasan bebas asap rokok itu secara berangsur juga akan ditularkan ke dinas/instansi lain di lingkungan pemerintah provinsi.

“Mulai hari ini (kemarin, red) kita menerapkan kawasan bebas rokok. Pertama di lingkungan kantor gubernur dulu. Jadi, kalau sudah masuk pagar kantor gubernur tidak boleh merokok,” ujar Gubernur, usai mengikuti opening ceremony pembukaan Kongres Nasional (Konas) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Institut Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) dan launching Kawasan Bebas Rokok di Hotel Horison.

Gubernur mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan tempat khusus bagi yang ingin merokok. “Begitu juga dengan dinas/instansi lain. Harus ada tempat khusus orang merokok. Jadi, kesehatan lebih terjaga,” tukasnya.

Apa akan diperdakan? “Tidaklah, ini hanya untuk disiplin dan niat saja. Nantinya tinggal kemauan dari PNS untuk melaksanakan instruksi ini. Untuk sanksi yang masih merokok di luar, itu nanti menjadi rahasia saya,” katanya menolak mengatakan sanksi jika kedapatan PNS masih merokok tidak pada lokasi yang disediakan.

Suami Maphilida ini mengingatkan, dirinya pernah menjadi perokok berat yang menghabiskan 6 bungkus rokok per hari. Akibat dari ini, enam bulan setelah pelantikan sebagai gubernur harus menjalani operasi jantung by pass karena mengalami penyempitan. “Jadi kalau banyak merokok dan tidak peduli kesehatan, bagi saya itu kampungan,” tuturnya sambil menginstruksikan bupati/wali kota untuk membuat kawasan bebas rokok.

Ir H Eddy Junaidi AR Msi, asisten umum dan pemberdayaan perempuan menegaskan, pihaknya juga akan menyiapkan sarana penunjang lainnya untuk membuat pemprov bebas asap rokok. “Kita akan sediakan kotak sampah dengan tulisan matikan rokok, kawasan ini bebas asap rokok. Sehingga, siapapun yang masuk kantor gubernur dan membaca tulisan akan mengerti dan mematikan rokoknya.”

Sittin, seorang PNS di Pemprov Sumsel menyambut baik rencana ini. “Kita yang perempuan di sini kalau ada yang merokok jelas terganggu dalam bekerja. Dari pada tersinggung, lebih baik kita yang menyingkir. Apalagi, kalau ruangan tertutup, yang merokok satu tetapi yang menghirup nikotinnya kan orang banyak juga. Sedangkan dampak bagi perokok pasif ini lebih besar lagi,” tandasnya. (sumeks.co.id)

PEMDA Jogja siapkan Perda Pembatasan Asap Rokok




Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 31, 2008

Setahun, Rp 23 Triliun untuk Rokok


JOGJA, MITRO Online - Sebagian besar perokok di Indonesia adalah masyarakat dengan kelas ekonomi bawah. Dari 19 juta keluarga miskin, dua per tiganya adalah perokok. Tidak tanggung-tanggung, dalam setahun mereka harus mengeluarkan biaya Rp 23 triliun untuk membeli rokok. Uang ini bisa untuk membeli 5,8 juta ton beras.

“Anggaran yang dialokasikan oleh keluarga miskin untuk membeli rokok pada 2006 juga lebih besar dari dana APBN yang digelontorkan pemerintah untuk subsidi BBM buat mereka. Ini kondisi yang sangat ironis,” jelas Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Sarimun Hadisaputro dalam seminar Studi Kelayakan Penyusunan Perda Pembatasan Asap Rokok di Jogjakarta bertempat di Hotel Novotel, kemarin.

Diungkapkan, dalam sehari keluarga miskin di Indonesia menghabiskan 10 batang rokok yang per batangnya seharga Rp 500. “Ini yang sangat ironis. Di satu sisi pemerintah mengucurkan subsidi untuk mereka. Namun di sisi lain pengeluaran keluarga miskin untuk rokok juga melebihi masyarakat kaya.”

Oleh sebab itu, pengaturan tentang asap rokok penting ditegakkan. Meski harus diakui pendapatan negara dari sektor industri rokok juga cukup tinggi. Berdasarkan data dari Apeksi, pada 2006 pendapatan APBN dari industri rokok mencapai Rp 83 triliun. “Tetapi pengaturan asap rokok jauh lebih penting untuk ditegakkan. Karena pengaturan itu bukan untuk mematikan industri rokok.” Sarimun juga mengkritik perda pengaturan perilaku merokok di tempat umum yang jalan di tempat di DIJ.

Dia menilai salah satu penyebabnya karena sebagian besar pejabat di DIJ tidak serius. “Harus diakui, masih banyak pejabat birokrasi yang juga perokok. Sehingga, mau menegakkan regulasi juga masih mikir,” tuturnya. Sementara itu berdasarkan quick survey yang dilakukan Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM kepada 300 responden menyebutkan, 82 persen mengharapkan peraturan pembatasan asap rokok dibuat secara mandiri. Artinya, tidak bergabung dengan Perda Pengendalian Pencemara Udara (PPU).

“Sebanyak 83 responden meminta dilakukan pembatasan asap rokok di tempat umum. Di antaranya di mal, bandara, kawasan Malioboro, kampus dan kantor pemerintah. Tetapi untuk stasiun dan terminal, jangan diwajibkan,” ujar Direktur PSKK Prof Dr Muhadjir Darwin. Dari 3,4 juta penduduk DIJ, sebanyak 75 persennya adalah perokok. “Namun sebagian besar responden meminta agar disediakan ruangan khusus untuk merokok. Sebab, pembatasan asap rokok bukan berarti merokok itu dilarang. Hanya jangan sampai mengganggu orang lain.” (jpnn)

Rokok, Tingkatkan Risiko Psoriasis





Ditulis oleh duniatanparokok di/pada Januari 31, 2008

78 Persen Lebih Tinggi Pada Perokok yang Masih Aktif

Psoriasis adalah sebuah penyakit lain yang dikaitkan dengan merokok. Demikian sebuah studi di Amerika Serikat yang mengkaitkan efek merokok terhadap penyakit psoriasis.

Para peneliti Amerika Serikat menemukan bahwa perokok berat mempunyai risiko lebih besar terkena kelainan kulit tersebut. Risikonya akan menurun hingga sama dengan risiko pada mereka yang bukan perokok setelah 20 tahun berhenti merokok.

Dari tahun 1991-2005, para peneliti ini telah meneliti 78.582 wanita dari Nurses’ Health Study II untuk menentukan kaitan status merokok, lama dan intensitas merokok, berhenti merokok dan paparan terhadap asap rokok secara pasif, terhadap penyakit psoriasis.

Selama 14 tahun periode studi, ditemukan terdapat 887 kasus psoriasis. Dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah merokok, risiko psoriasis 37 persen lebih tinggi pada mantan perokok dan 78 persen lebih tinggi pada perokok yang masih aktif merokok.

Para peneliti juga menemukan bahwa paparan asap rokok secara pasif selama kehamilan atau pada anak-anak dikaitkan dengan peningkatan risiko psoriasis. Jadi risiko psoriasis meningkat dengan lama, intensitas dan jumlah rokok yang dihisap dan risiko menurun dengan peningkatan lama waktu berhenti merokok.

Hasil studi yang telah dipublikasikan di American Journal of Medicine ini juga menemukan bahwa pasien psoriasis yang juga perokok, akan menderita psoriasis yang lebih berat.

Diperkirakan bahwa toksin dalam asap rokok dapat mempengaruhi sistem imun yang dikaitkan dengan psoriasis. Berhenti merokok dapat menurunkan kadar rokok yang menyebabkan inflamasi dalam tubuh dengan menurunkan kadar sel imun dalam sirkulasi.

Menurut Dr. Hyon Choi, ketua peneliti, berhenti merokok juga menyebabkan outcome klinis secara keseluruhan lebih baik pada pasien psoriasis, yang sering menderita penyakit lain. Oleh karena itu, pasien psoriasis direkomendasikan untuk berhenti merokok demi kesehatan secara umum dan untuk membantu mengurangi gejala psoriasisnya. (ITOK)

9 Februari 2008

Pecinta Anggrek, Kita Untung Alam Untung


(dimuat di Harian surya edisi Tuesday, 05 February 2008)
Oleh Husamah
Mahasiswa Magang UMM di Mitra Anggrek Indonesia, Batu
usya_bio@yahoo.


"Indonesia memiliki 5.000 spesies anggrek yang terdaftar dengan rincian 1.327 jenis tumbuh di Pulau Jawa dan selebihnya di luar Jawa."

Jika setiap orang diminta untuk menulis tanaman hias yang diketahui, maka pastilah anggrek (orchid) yang pertama ditulis. Anggrek memang luar biasa dan sangat istimewa. Keindahannya pun bahkan telah menghipnotis manusia sejak 6-7 abad Sebelum Masehi (kira-kira 2.500-3.000 tahun yang lalu).

Keragaman genetika anggrek sangat luas, terdiri atas 25.000 spesies yang tumbuh di berbagai negara tropis dan subtropis. Terdapat pula sekitar 110.000 hibrida atau hasil persilangan baru yang tercatat resmi di Royal Holticultura Society. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 3.000 hibrida baru yang dihasilkan oleh penyilangan di seluruh dunia dan didaftarkan.
Indonesia memiliki 5.000 spesies anggrek yang terdaftar dengan rincian 1.327 jenis tumbuh di Pulau Jawa dan selebihnya di luar Jawa. Kekayaan genetik anggrek Indonesia merupakan anugerah besar sebagai salah satu negara tropis yang memiliki kondisi tanah dan agroklimat optimum.

Sampai saat ini semakin banyak kolektor, pengusaha, bahkan penggemar biasa yang berburu spesies anggrek. Sebagian besar dari mereka tanpa pikir panjang membayar anggrek yang disenanginya meskipun harganya selangit.
Eksploitasi anggrek secara berlebihan dari alam bukan mustahil akan menyebabkan kepunahan anggrek. Kenyataan inilah mungkin yang menjadi salah satu alasan munculnya orchidology, sebuah ilmu yang khusus mempelajari tentang anggrek selain juga karena tuntutan eksplorasi dan seirama dengan komersialisasi komoditas anggrek.

Di Indonesia telah dibuat secara khusus kurikulum atau kisi-kisi pembelajaran tentang anggrek. Menurut Untung Santoso, Ketua Pendidikan dan Pelatihan pada Perhimpunan Anggrek Indonesia, hal-hal yang perlu dipelajari menyangkut anggrek adalah sejarah anggrek, sistem penamaan dan klasifikasi, morfologi, fisiologi, persilangan, embriologi, dan sistem perbanyakan.

Hal lain yang juga sangat penting dipelajari menurut pemilik Mitra Anggrek Indonesia (MAI) Junrejo, Batu, ini adalah ekologi, hama dan penyakit, agribisnis dan pengetahuan lain seperti etnobotani, mychoriza, anatomi tumbuhan, dan sitologi. Tentu saja mempelajari pengetahuan anggrek harus disesuaikan dengan kebutuhan, harapan, dan waktu belajar.

MAI merupakan contoh konkrit penerapan orchidology. Lembaga yang beralamat di Jl Hasanudin I/24 Junrejo, Batu, ini didedikasikan khusus untuk pendidikan dan pelatihan anggrek. Lembaga ini pun sekaligus jawaban atas kritikan bahwa para pembudidaya anggrek cenderung merusak alam. Sebaliknya ditegaskan, dengan budidaya anggrek maka kita untung dan alam pun untung. Kita untung karena mendapatkan aspek keindahan dan uang, alam untung karena tidak merusak justru melestarikan anggrek.

Akhirnya, pelajaran dari anggrek ini dapat dipetik bahwa tidak selamanya aspek ekonomi berseberangan dengan konservasi. Tidak selamanya keuntungan yang maksimal harus didapat tanpa mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan.